Pendidikan Islam: Antara Cita dan
Fakta
A. Pendahuluan
Pendidikan
pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi
penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus
untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka
diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa
lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik
kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secra ekstrim bahkan
dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu
masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang
dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Dalam konteks tersebut, maka kemajuan
peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari
peran-peran pendidikannya.
Pendidikan
pada hakikatnya merupakan proses pematangan kualitas hidup. Melalui proses
pendidikan, manusia diharapkan dapat memahami apa arti dan hakikat hidup, untuk
apa dan bagaimana menjalani kehidupan secara baik dan benar.[1]
Pendidikan menjadikan manusia lebih matang dalam emosional (kedewasaan),
berilmu, serta membangun peradaban manusia. Oleh karena itu, pendidikan
diharapkan membantu manusia untuk melepaskan dari kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan.
Diskursus
pendidikan sampai kapanpun masih relevan untuk diperbicangkan, termasuk di
dalamnya pendidikan Islam. Ada beberapa pertimbangan mengapa pendidikan
memiliki ruang untuk dikaji bahkan ditinjau ulang, yaitu: 1) pendidikan tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia merupakan makhluk yang dinamis,
senantiasa berubah dalam menyikapi maupun merencanakan kehidupan; 2)
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut perlunya inovasi; 3)
Globalisasi sebagai sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Globalisasi
melebur sekat-sekat agama, ras, budaya, bahkan falsafah sebuah bangsa.[2]
Islam
merupakan agama yang tidak hanya memuat ajaran pada aspek ritual, tetapi juga
mencakup aspek peradaban. Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit
dalpat merambah dalam ranah kehidupan apapun, termasuk dalam ranah pendidikan.
Ketika Islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan, minimal berpijak pada
tiga hal yaitu 1) ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong sebagai ilmu
normatif, karena terkait oleh norma-norma tertentu; 2) Dalam menganalisis
masalah pendidikan, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan
acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan;[3] 3)
Menjadikan Islam sebagai paradigma, maka pendidikan memiliki ruh yang dapat
menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Islam sebagai
paradigma ilmu pendidikan dapat dipahami sebagai suatu konstruksi pengetahuan
yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana Islam
memahaminya. Konstruksi pengetahuan dibangun oleh nilai-nilai Islam. Maka
paradigma Islam harus memiliki desain tentang ontologi, epistemologi dan
aksiologi pendidikan.
Islam
sebagai paradigma ilmu pendidikan memiliki arti konstruksi sistem pendidikan
yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini berpijak
pada prinsip-prinsip yang hakiki, yaitu prinsip al-Tauhid, prinsip kesatuan
makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Prinsip-prinsip tersebut
diturunkan sebagai cara pandang Islam terhadap elemen-elemen pendidikan. Dalam Education Theory: A Qur’anic Outlock,
Abd al Rahman Salih Abd Allah menyatakan bahwa perumusan sistem pendidikan Islam
dapat dilakukan melalui dua corak, 1) adanya keterbukaan terhadap pandangan
hidup dan kehidupan non muslim; 2. Berusaha mengangkat pesan Ilahi ke dalam
kerangka pemikiran pendidikan.[4]
Sistem
pendidikan Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan. Meskipun harus di
akui, sebagai salah satu model pendidikan yang sudah lama (baca: Masjid; Dayah;
Surau; Pesantren dan lain-lain), perkembangan pendidikan Islam saat ini belum
sesuai harapan umat Islam di Indonesia. Permasalahan pada pendidikan Islam di
Indonesia sangat kompleks, baik dalam aspek kebijakan-struktural; sumber daya
manusia, kurikulum dan lain sebagainya.
Berdasarkan
pemaparan di atas, sangat menarik mengkaji pendidikan Islam: antara cita dan
fakta yang ada di Indonesia. Pemikiran pendidikan Islam yang bermacam-macam, mengacu
pada sumber ajaran Islam dan tidak terlepas dari persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat ketika itu.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana permasalahan
(fakta) pendidikan Islam di Indonesia?
2.
Bagaimana konsep
(cita) terhadap permasalahan pendidikan Islam di Indonesia?
3.
Bagaimana solusi
alternatif dalam permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia?
C. Tujuan
Penelitian
1.
Untuk mengetahui
permasalahan (fakta) pendidikan Islam di Indonesia.
2.
Untuk memahami konsep
(cita) terhadap permasalahan pendidikan Islam di Indonesia.
3.
Untuk mencari
solusi alternatif dalam permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia.
D. Pembahasan
Pendidikan
Agama Islam semakin mendapat posisi yang penting dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada beberapa pasal dalam undang-undang
tersebut yang menyinggung pendidikan Islam. Setidaknya ada tiga hal yang
terkait dengan Pendidikan Islam; pertama,
kelembagan formal, nonformal dan informal dengan didudukkannya madrasah sebagai
pendidikan formal yang setara dengan lembaga pendidikan sekolah. Dalam
pendidikan nonformal, majelis taklim diakui keberadaannya dan Raudatul Athfal
(RA) dimasukkan sebagai Pendididikan formal
dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta pesantren dimasukkan dalam
lembaga keagamaan.[5]
Kedua, Pendidikan Agama Islam menjadi
mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis
dan jenjang pendidikan. Ketiga,
Pendidikan Islam sebagai nilai, yaitu adanya nilai-nilai Islam dalam Sistem
Pendidikan Nasional.[6]
1.
Fakta
(Persoalan) Pendidikan Islam
Kajian pendidikan Islam
senantiasa bertolak pada problem yang ada di dalamnya, kesenjangan antara fakta
dan realita, kontroversi antara teori dan empiris. Maka dari itulah, wilayah
kajian pendidikan Islam bermuara pada tiga problem pokok, antara lain:
a)
Foundational
problems, yang terdiri dari atas religious foundation and
philosophic foundational problems, empiric fondational problems (masalah
dasar, fondasi agama dan masalah landasan filosofisempiris) yang didalamnya
menyangkut dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep pendidikan yang bersifat
universal, seperti hakikat manusia, masyarakat, akhlak, hidup, ilmu
pengetahuan, iman, ulul albab dan lain sebagainya. Yang semuanya bersumber dari
kajian fenomena qauliyah dan fenomena kauniyah yang membutuhkan
pendekatan filosofis.
b)
Structural
problems (masalah struktural). Ditinjau dari struktur
demografis dan geografis bisa dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa
dan desa terpencil. Dari struktur perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan
ke dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan manula. Dari struktur ekonomi
dikategorikan ke dalam masyarakat kaya, menengah dan miskin. Dari struktur
rumah tangga, terdapat rumah tangga karier dan non karier. Dari struktur
jenjang pendidikan bisa dikategorikan ke dalam pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
c)
Operational
problem (masalah operasional). Secara mikro akan berhubungan
dengan berbagai komponen pendidikan Islam, misalnya hubungan interaktif lima
faktor pendidikan yaitu tujuan pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan,
peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam (kurikulum, metodologi, manajemen,
administrasi, sarana dan prasarana, media, sumber dan evaluasi) dan lingkungan
atau konteks pendidikan. Atau bisa bertolak dari hubungan input, proses dan
output. Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan Islam dengan
sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik yang bersifat Nasional dan
Internasional.[7]
a.
Aspek
Pemikiran/Nilai Pendidikan Islam
Permasalahan
yang ada dalam pendidikan Islam sangat kompleks, seperti:
1)
Pendidikan Islam
seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan konservatif, hal
ini wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam dihinggapi
oleh lemahnya penggunaan metodologi pembelajaran yang cenderung tidak menarik
perhatian dan memberdayakan.
2)
Pendidikan Islam
terasa kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan
agama yang bersifat kognitif menjadi suatu “makna dan nilai” yang perlu di
internalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media dan forum.
3)
Metodologi
pengajaran agama berjalan secara konvensional-tradisional, yakni
menitikberatkan pada aspek korespondensi tekstual yang lebih menekankan yang
sudah ada pada kemampuan anak didik untuk menghafal teks-teks keagamaan
daripada isu-isu sosial keagamaan yang dihadapi pada era modern seperti
kriminalitas, kesenjangan sosial dan lain lain.
4)
Pengajaran agama
yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat statis
indoktrinatif-doktriner.[8]
5)
Tujuan
pendidikan Islam kurang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan masa yang akan
datang, belum mampu menyiapkan generasi yang sesuai dengan kemajuan zaman.
6)
Pendidik dan
tenaga pendidikannya mulai memudar dengan doktrin awal pendidikan Islam tentang
konsep nilai ibadah dan dakwah syiar Islam. Pendidik juga disibukkan dengan
hal-hal teknis seperti tunjangan honor, tunjangan fungsional dan tunjangan
sertifikasi.
7)
Di kalangan
peserta didikpun dalam menuntut ilmu cenderung mengesampingkan nilai-nilai
ihsan, kerahmatan dan amanah dalam mengharap ridha Allah.
Selain itu, permasalahan yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan Islam desawa ini pada
umumnya adalah :
1) Dichotomi keilmuan. Masalah yang cukup serius dalam
dunia pendidikan Islam adalah adanya dichotomi keilmuan yaitu antara ilmu
agama dengan ilmu umum, antara wahyu dengan akal serta antara wahyu dengan
alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya menampilkan dua
wajah pendidikan Islam dewasa ini. Yakni pendidikan Islam yang hanya bisa
menerima kebenaran dan pengetahuan dalam perspektif agama (Islam) dan
pendidikan Islam yang berusaha untuk lebih bersifat general dan inovatif dengan
menerima kebenaran dalam ranah study yang mempunyai paradigma modern.
2) To General Knoweldge, Kelemahan yang kedua bahwa
pendidikan Islam dengan sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/
umum dan kurang memperhatikan pada upaya penyelesaian (Problem solving). Produk-produk keilmuan
yang dihasil kan cenderung kurang membumi (landing) dan kurang selaras
dengan dinamika masyarakat dari sisi kontekstualisasinya.
3) Lack of spirit inquiry, Persoalan lainnya yang menjadi
faktor penghambat kemajuan pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk
melakukan penelitian ataupun penyelidikan.
4) Memorisasi. Dalam masyarakat Muslim dimana
lembaga-lembaga pendidikannya masih sibuk dengan cara belajar hafalan (study teks) akan tetapi bukan bagaimana
melakukan kajian yang integratif untuk mendefinisikan sebuah tema kajian yang
lebih kritis dan paradigmatif-dinamis.
5) Certificate oriented. Adanya kecenderungan pergeseran
orientasi dari knoweledge oriented
menuju certificate oriented semata.
Mencari ilmu hanya sebuah jalan untuk mendapatkan ijazah semata,
sedangkan semangat dan kwalias keilmuan menempati prioritas berikutnya.
b.
Aspek
Kelembagaan
Dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan Islam ada beberapa
macam bentuk. Pertama, lembaga pendidikan formal (MI, MTs, MA-MAK,
Perguruan Tinggi); kedua, Lembaga Pendidikan Nonformal (lembaga kursus,
pelatihan, majlis taklim dan lain sebagainya); ketiga, Lembaga
Pendidikan Informal (kegiatan kependidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri); keempat, Pendidikan anak
usia dini (TK, RA); kelima, Pendidikan keagamaan (Madrasah Diniyah,
Pesantren).
Menurut Menteri Agama,
Lukman Hakim Saefuddin, bahwa kementrian agama mencatat jumlah lembaga pendidikan
Islam sebanyak 300.270 tersebut, meliputi 717 perguruan tinggi, termasuk
sebanyak 55 perguruan tinggi berstatus negeri. Di tambah Madrasah dari berbagai
tingkatan, yaitu mulai dari diniyah hingga aliyah, dengan total berjumlah
75.199 lembaga. Serta Pondok Pesantren sekitar 27.290 yang ada di nusantara.[9]
Lembaga pendidikan Islam
yang sangat banyak memang menjadi keuntungan, tetapi ada beberapa persoalan
antara lain, pertama, lembaga pendidikan Islam berada di bawah naungan
kementrian agama sehingga kurang efektif, karena banyaknya lembaga pendidikan, apalagi
ada desentralisasi pendidikan ditingkat propinsi dan kabupaten atau kota; kedua,
manajemen kelembagaan, terutama yang swasta belum ada stadarisasi yang jelas.
Sebagian besar masih menggunakan kepemimpinan kharismatik atau tradisional; ketiga,
beberapa lembaga pendidikan Islam, belum dipertimbangkan secara strategis dan
signifikan dalam sistem pendidikan nasional.[10]
c.
Aspek
Kurikulum/Materi
Pengembangan
pendidikan agama Islam pada sekolah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk
pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur
pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi
pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan
keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren
yang diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal.
Kurikulum pendidikan Islam
adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman
yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam
adalah semua aktivitasi, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan
secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan
pendidikan Islam.
Pada kenyataannya,
pendidikan Islam hanya didasarkan oleh pemahaman pendidikan Islam yang hanya
mementingkan aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi,
atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Oleh karena
itu, akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan
bukan agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara
pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai
cara pandang dikotomi.
Kuriulum PAI yang
digunakan disekolah cenderung memiliki kompetensi yang tidak terlalu luas,
lebih-lebih lagi guru PAI seringkali terpaku pada kurikulum yang tidak terlalu
komprehensif tersebut. Selain itu, kurikulum PAI lebih cenderung menjelaskan
persoalan-persoalan teoretis agama yang bersifat kognitif dan amalan-amalan
ibadah praktis. Padahal PAI seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata
sehari-hari.[11]
2.
Konsep
(cita) Pendidikan Islam sebagai Tawaran Solusi
Pemaknaan
Pendidikan Agama Islam (PAI) sering dipahami dan ditekankan pada aspek normatif
dalam pelajaran agama Islam, apabila terkait dengan aspek aktifitas dan
institusi, umumnya dipakai kata pendidikan Islam.[12]
Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang
berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh-suburkan hubungan yang harmonis
setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta.[13]
Dalam kurikulum PAI, Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati
penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama
hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.[14]
a.
Aspek
Pemikiran Pendidikan Islam
Pendidikan [Islam]
pada periode awal [masa Nabi Muhammad saw] misalnya, tampak bahwa usaha
pewarisan nilai-nilai diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas
dari belenggu aqidah sesat yang dianut oleh sekolompok masyarakat elite Quraisy
yang banyak dimaksudkan sebagai sarana pertahanan mental untuk mencapai status
quo, yang melestarikan kekuasaan dan menindas orang-orang dari kelompok lain
yang dipandang rendah derajatnya atau menentang kemauan kekuasaan mereka.
Gagasan-gagasan baru yang kemudian dibawa dalam proses pendidikan Nabi, yaitu
dengan menginternalisasi nilai-nilai keimanan baik secara individual maupun
kolektif, bermaksud menghapus segala keperyaan jahiliyah yang telah ada pada
saat itu. Dalam batas yang sangat meyakinkan, pendidikan Nabi dinilai sangat
berhasil dan dengan pengorbanan yang besar, jahiliyahisme masa itu secara
berangsur-angsur dapat dibersihkan dari jiwa mereka, dan kemudian menjadikan
tauhid sebagai landasan moral dalam kehidupan manusia. Proses pendidikan yang
dilakukan Nabi, yang aksentuasinya sangat tertuju pada penanaman nilai aqidah
[ketauhidan], keberhasilan yang dicapainya memang sangat ditunjang oleh metode
yang digunakannya. Pada proses pendidikan awal itu, Nabi lebih banyak
menggunakan metode pendekatan personal-individual. Dalam meraih perluasan dan
kemajuaannya, baru kemudian diarahkan pada metode pendekatan keluarga, yang
pada gilirannya meluas ke arah pendekatan masyarakat [kolektif].
Pengembangan
pendidikan Islam yang telah ada itu, yang pada awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan
aqidah, diupayakan Nabi dengan menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat
penting, yang tercermin dalam usaha Nabi dengan menggalakkan umat melalui wahyu
agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid,
pada periode awal itu, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu dan pendidikan,
sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan
sirah Nabi. Disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika,
dan astrologi kemudian juga berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum
formal. Semua disiplin ini diajarkan atas dasar kesadaran orang tua untuk
mencarikan guru demi kemajuan anaknya.
Pendidikan Islam
dapat dirumuskan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam
kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan,
pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan
dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[15]
Untuk menelaah tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga (3) pendekatan,
yaitu 1) pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi; 2) pendidikan
dipandang sebagai pewarisan budaya; 3) pendidikan dipandang sebagai interaksi
antara pengembangan potensi dan pewarisan budaya.[16]
Menurut Abdul Mujib, ada tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu al-Fitrah, al-Hayah (vitality), al-Khuluq (Karakter), al-Thab’u
(tabiat), al-Sajiyah (bakat), al-Sifat dan al-Amal. Sedangkan fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan
segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan Islam tercapai dan
berjalan dengan lancar. Fungsi pendidikan Islam juga dapat dibagi dua (2),
yaitu 1) alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat
kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan
bangsa; 2) alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan melalui
pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia
yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.[17]
Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan
yang meliputi beberapa aspeknya, seperti 1) tujuan dan tugas hidup manusia; 2)
memperhatikan sifat-sifat dasar manusia; 3) tuntutan masyarakat; 4)
Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, seperti kesejahteraan, kebahagiaan serta
keseimbangan dan keserasian kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.
b.
Aspek
kelembagaan
Adapun
prinsip-prinsip dalam pembentukan lembaga pendidikan Islam adalah:
1)
Prinsip
pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia masuk
neraka;
2)
Prinsip
pembinaan umat manusia;
3)
Prinsip
pembentukan pribadi manusia;
4)
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar
5)
Prinsip
pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa sehingga menciptakan peserta
didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsa.
Menurut Sidi Gazalba,
yang menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah: 1) rumah tangga; 2) sekolah;
3) kesatuan sosial.[18]
Adapun wujud lembaga pendidikan Islam seperti 1) masjid (surau, langgar,
musalah, meunasah); 2) madrasah dan pondok pesantren (kuttab); 3) pengajian dan penerangan Islam (majlis taklim); 4)
kursus-kursus keIslaman; 5) badan-badan pembinaan ruhani (biro pernikahan, biro
konsultasi keagamaan; 6) MTQ.
Sebagai
warisan (legacy) Islam yang sangat penting, pendidikan Islam Indonesia
mengalami pertumbuhan signifikan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
pendidikan Islam sebagai lembaga atau program. Dalam praktiknya, pendidikan Islam
kategori ini mencakup setidaknya 6 (enam) jenis lembaga/program, yaitu:
1.
Pondok Pesantren
dan Diniyah (Ula, Wustha, ’Ulya) dan Ma’had ’Aly (Pesantren Luhur) dengan
segala variasi dan kualitasnya. Lembaga/program ini telah memperoleh kedudukan
yang semakin kokoh melalui UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan
PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
2.
Madrasah (MI,
MTs, MA) yang disebut sebagai ‘pendidikan umum berciri khas Islam’ yang dalam
praktiknya ‘sama tapi tak sebangun’ dengan sekolah;
3.
Perguruan tinggi
Islam dengan keragamannya seperti Sekolah Tinggi, Institut (negeri dan swasta)
dan Universitas (UIN) yang memperoleh kedudukan khusus dalam UU no 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi;
4.
Pendidikan usia
dini/TK/RA/BA yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan
yayasan dan organisasi Islam;
5.
Pelajaran agama Islam
(PAI) di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran, mata
kuliah, dan/atau sebagai program studi; dan
6.
Pendidikan Islam
dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, forum-forum kajian keIslaman,
majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya yang digalakkan masyarakat,
atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan non formal dan informal.
c.
Aspek
Kurikulum/Materi
Dalam
kurikulum PAI, Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati
penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama
hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.[19]
Komponen
kurikulum dalam pendidikan sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi
tujuan yang dicita-citakan. Komponen kurikulum setidaknya mencakup tujuan,
struktur program, strategi pelaksanaan, penilaian hasil belajar,
bimbingan-penyuluhan, administrasi dan supervisi pendidikan. Menurut Muhaimin,
komponen kurikulum setidaknya mencakup empat (4) klaster, yaitu: 1) klaster
komponen dasar, yang mencakup dasar tujuan, prinsip-prinsip, pola organisasi,
kriteria keberhasilan, orientasi pendidikan dan sistem evaluasi; 2) klaster
komponen pelaksana, seperti materi, sistem penjenjangan, sistem penyampaian,
proses pelaksanaan dan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar; 3)
klaster komponen pelaksana dan pendukung kurikulum, seperti pendidik, peserta
didik, bimbingan konseling, administrasi pendidikan, sarana prasarana dan biaya
pendidikan; 4) klaster komponen usaha pengembangan.[20]
Adapun
dasar pokok kurikulum pendidikan Islam, al-Syaibani menetapkan empat (4) dasar,
yaitu 1) Dasar religi; 2) Dasar falsafah; 3) Dasar psikologis; 4) Dasar
sosiologis dan organisatoris.[21]
Beliau menambahkan prinsip utama dalam kurikulum pendidikan Islam adalah, 1)
Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilainya; 2) Prinsip menyeluruh;
3) prinsip keseimbangan antara tujuan dan kandungan kurikulum; 4) prinsip
interaksi antara kebutuhan peserta didik dengan masyarakat; 5) prinsip
pemeliharaan antara perbedaan individu; 6) prinsip perkembangan dan perubahan;
7) prinsip integritas antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas
kurikulum dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan tuntutan zaman.[22]
Adapun
orientasi kurikulum pendidikan Islam meliputi: 1) orientasi pada pelestarian
nilai; 2) orientasi pada kebutuhan sosial (social
demand); 3) orientasi pada tenaga kerja; 4) orientasi pada peserta didik;
5) orientasi pada masa depan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengenai
isi kurikulum, sebagian besar pemikir pendidika Islam masih mencerminkan
dikotomi ilmu pengetahuan.[23]
Padahal, secara epistemologi Islam dinyatakan bahwa semua ilmu itu merupakan
produk dan milik Allah, sedangkan manusia sebagai penemu dan
menginterpretasikannya. Berdasarkan QS. Fussilat: 53, Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir menyatakan ada tiga isi kurikulum, yaitu: 1) Isi kurikulum yang
berorientasi pada “ketuhanan”; 2) Isi kurikulum yang berorientasi pada
“kemanusiaan”; dan 3) Isi kurikulum yang berorientasi pada “kealaman”`[24]
Kurikulum
adalah salah satu komponen operasional pendidikan agama Islam sabagai sistem
materi atau disebut juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi yang
disampaikan oleh pendidikan (khususnya pendidik agama Islam) hendaknya mampu
menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus
ditunjang oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik tidak
sempit.
Disamping
itu materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik
dan tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Nur Uhbiyati mengenai
definisi kurikulum, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pembelajaran,
kebudayaan sosial, olah raga dan kesenian yang tersedia di sekolah bagi anak didik
dan tujuan didik di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya
untuk perkembangan menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka
sesuai dengan tujuan pembelajaran.[25]
Dalam
perkembangannya kurikulum pendidikan Islam juga harus menyesuakan
prinsip-prinsip kurikulum secara umum, sebagai berikut:
1)
Berpusat pada
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik
memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan
kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan,
dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
2)
Menyeluruh dan
berkesinambungan. Kesinambungan disini dimaksudkan adalah saling hubungan atau
jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan. Substansi
kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan
mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan
antarsemua jenjang pendidikan.
3)
Tanggap terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum disesuaikan
dengan minat dan bakat anak didik sehingga terjadi interaktif anatara
pengajaran denagan daya berpikir anak. Kurikulum dikembangkan atas dasar
kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis,
dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk
mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
4)
Relevan dengan
kebutuhan kehidupan. Prinsip relevensi adalah kesesuaian, keserasian pendidikam
dengan tuntutan masyarakat. Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk
menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5)
Beragam dan
terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik
peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa
membedakan suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan
gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan
lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan
dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
6)
Belajar
sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan
informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu
berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. Sekolah tidak saja
memberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik
tamat dari sekolah namun juga memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuh
kembangkan dirinya di luar sekolah dan berjalan terus menerus sepanjang hayat.
7)
Seimbang antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan
kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto
Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kurikulum Pendidikan Islam bertujuan menanamkan kepercayaan dalam pemikiran dan
hati genarasi muda, pemulihan akhlak dan membangunkan jiwa rohani. Ia juga
bertujuan untuk memperoleh pengetahuan secara berterusan, gabungan pengetahuan
dan kerja, kepercayaan dan akhlak dan penerapan amalan teori dalam hidup.
3.
Solusi
Alternatif (Rekomendasi)
a.
Dimensi
ontologis mengarahkan kurikulum agar lebih banyak memberi peserta didik untuk
berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta berkaitan dengan pelajaran
yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi kerja. Dimensi ini menghasilkan
verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data
dan informasi yang harus dipelajari dan di hafalkan. Dimensi ini diambil dari
proses pembelajaran yang dilakukan oleh Allah SWT. kepada Nabi Adam, dengan
mengajarkan nama-nama benda, seperti termaktub dalam firman Allah:
N¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Terjemahnya: dan Dia mengajarkan kepada
Adam nama-nama (bendabenda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. al-Baqarah: 31).
b.
Implikasi
dimensi ontologi dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa pengalaman yang
ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik tapi juga
alam tak terbatas. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah atau
spiritual, yang mengantarkan manusia pada keabadian. Di samping itu, perlu juga
ditanamkan pengetahuan tentang hukum dan sistem kesemestaan yang melahirkan
perwujudan harmoni dalam alam semesta yang
menentukan kehidupan manusia di masa depan. Menghilangkan paradigma
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas
untuk dinilai. Itulah sebabnya diperlukan adanya pencerahan dalam mengupayakan
integralisasi keilmuan.[26]
c.
Merubah pola
pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid.
Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis,
inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula
mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan
epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam
proses belajar mengajar.[27]
d.
Merubah
paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah
SWT. Sebab, paradigma ideologis ini –karena otoritasnya – dapat mengikat
kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma
ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas
bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan
keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi,
dan menemukan ilmu pengetahuan dengan petunjuk wahyu Allah SWT. Dan paradigma
ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu,
agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak
pada wahyu Allah.
e.
Guna menopang
dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi
kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum
yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil
penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap
ayat qauliyah atau naqliyah (al-Qur’an dan al-Sunnah) merupakan
ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah.
Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki
pengetahuan yang komprehensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana
untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum
pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan
transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan.
Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi,
psikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar
pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan
pengalaman empiris.
f.
Epistemologi
pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan
wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang
integral antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi ini bergerak saling
melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu
menelorkan manusia paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman
spiritual, keluasan ilmu pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang
berpijak pada “semua bersumber dari Allah, semua milik Allah,
difungsikan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah dan sebagai
abdullah, dan akan kembali kepada Allah (mentauhidkan Allah)”.
g.
Konsekuensi yang
lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada
pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus
menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang
diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah
seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT.
h.
Adanya
peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Sehingga
dengan pemenuhan kompetensi inilah, seorang tenaga pendidik mampu menemukan
metode yang diharapkan sebagaimana harapan dalam kajian epistemologis.
Ada
beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu
Pendidikan Islam, yaitu:
a.
Nilai ibadah,
yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam segala proses dan
berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah.
b.
Nilai ihsan,
yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya dikembangkan atas dasar
berbuat baik terhadap sesama. Allah berfirman:
c.
Nilai masa
depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan
yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang hidup dengan
tantangan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan sumber
daya manusia yang cakap, terampil dan profesional.
d.
Nilai
kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan
dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta.
e.
Nilai dakwah,
yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud
penyebaran syiar Islam,
E. Penutup
1.
Adapun persoalan
(fakta) pendidikan Islam dalam aspek pemikiran/nilai adalah tujuan pendidikan
Islam kurang berorientasi masa depan, dikotomi ilmu pengetahuan, kurang nya
penelitian, krisis nilai-nilai ihsan dan rahmat. Sedangkan pada aspek
kelembagaan yaitu banyaknya lembaga pendidikan Islam dan semua dibawah naungan
kementrian agama, belum ada standarisasi pengelolaan; dan aspek
kurikulum/materi masih terkesan sempit (urusan akhirat) dan berkutat pada aspek
kognitif.
2.
Adapun tawaran
idealitas pendidikan Islam dalam aspek pemikiran/nilai bahwa Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai
proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik
melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan
pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di
dunia dan akhirat; aspek kelembagaan prinsip-prinsip dalam pembentukan lembaga
pendidikan Islam adalah Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang
menjerumuskan manusia masuk neraka; Prinsip pembinaan umat manusia; Prinsip
pembentukan pribadi manusia; Prinsip amar
ma’ruf nahi munkar; Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa
sehingga menciptakan peserta didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya
cipta, rasa dan karsa. Sedangkan aspek kurikulum/materi adalah Komponen
kurikulum dalam pendidikan sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi
tujuan yang dicita-citakan. Kurikulum adalah salah satu komponen operasional
pendidikan agama Islam sabagai sistem materi atau disebut juga sebagai
kurikulum. Jika demikian, maka materi yang disampaikan oleh pendidikan
(khususnya pendidik agama Islam) hendaknya mampu menjabarkan seluruh materi
yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus ditunjang oleh buku
pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik tidak sempit.
3.
Solusi
alternatifnya seperti:
a.
Adanya verbal
learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data dan
informasi yang harus dipelajari dan di hafalkan.
b.
Pengalaman yang
ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik tapi juga
alam tak terbatas.
c.
Merubah pola
pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid.
d.
Merubah
paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah
SWT.
e.
Rekonstruksi
kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual, menjadi kurikulum yang
berbasis tauhid.
f.
Orientasi
pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang integral antara iman, ilmu,
amal, dan akhlak.
g.
Merubah
pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual
atau aplikatif.
h.
Adanya
peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
i.
Ada beberapa
nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan Islam,
yaitu: nilai ibadah, nilai ihsan, nilai masa depan, nilai kerahmatan, nilai
dakwah.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Abrasyi,
Muhammad Athiyah. Ruh al Tarbiyah wa
Ta’lim. Saudi Arabiyah: Dar al-Ahya`, t.t.
Arifin
HM. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan
Umum. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
al-Ghazali,
Abu Hamid Muhammad. Ihya’ Ulum al-Din, terj.
Ismail Ya’qub. Semarang: Faizan, 1979.
Jalal,
Abd Fatah. Min al-Ushul al Tarbiyah fi
al-Islam. Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1977.
Langgulung,
Hasan. Beberapa Pemikiran tentang
Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1980.
-----------.
Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta:
al-Husna, 1998.
Muhaimin.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam;
di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Press, 2005.
---------. Konsep Pendidikan Islam,
sebuah telaah komponen Dasar Kurikulum. Solo: Romadhoni, 1991.
Mujib,
Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2010.
Mulyasana,
Dedi. Pendidikan Bermutu dan Berdaya
Saing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Ramayulis.
Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta:
Kalam Mulia, 1990.
Shaleh,
Abd al-Rahman Abd Allah. Teori-teori
Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, terj. Arifin HM. Jakarta: Rineka Cipta,
1991.
al-Syaibani,
Umar Muhammad al-Thaumi. Filsafat
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Tafsir,
Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
Tim
Depag RI. Islam untuk Disiplin Ilmu
Pendidikan. Jakarta: PPPAI-PTU, 1984.
Zuhairini,
dkk.. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya:
Usaha Nasional, 1981.
[1] Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011). h. 2.
[2] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir,
Ilmu Pendidikan Islam, dalam
“pengantar penulis” (Jakarta: Kencana, 2010).
[3] Dalam konteks pendidikan, para
ahli mempunyai kecendrungan mengambil teori-teori dan falsafah pendidikan
Barat. Falsafah pendidikan Barat lebih bercorak “sekuler”, yang memisahkan
dimensi kehidupan (dunia-akhirat; umum-agama; ruh-badan/gejala tubuh).
Masyarakat Indonesia mayoritas mempunyai kecendrungan lebih “religius”.
[4] Corak pertama bersifat
pragmatis, yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Artinya,
sistem pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan kontempore Barat
yang mapan dan tentu telah mendapatkan legalitas-justifikasi dari al-Qur’an dan
Sunnah. Corak kedua bersifat idealistis, yang memformulasikan sistem pendidikan
islam digali dari ajaran Islam. Corak ini menggunakan pola pikir deduktif.
[5] Lebih jelasnya lihat pasal 26,
28 dan 30 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[6]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan
Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 9.
[7] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi
Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Perss, 2011), h. 45.
[8] Mujtahid, Reformulasi
Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Paradigma Unggul (Malang:
UIN-Maliki Press, 2011), h. 37.
[9]http://www.kabarpas.com/menag-ri-jumlah-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia-terbesar-di-dunia
[10] Hal ini terlihat ketika
dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum, meskipun sudah ada legitimasi
madrasah diniyah formal, pengakuan ma’had aly.
[11] Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam;Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum
Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009),
242.
[12]
Abd. Rachman Assegaf, Politik
Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), h. 104.
[13] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h. 31.
[14] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 130.
[15] Ibid., h. 28.
[16] Menurut Hasan Langgulung, ketiga
pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, karena satu keutuhan. Tetapi
dalam pelaksanaannya, ada yang lebih dominan daripada yang lainnya. Baca: Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi
Abad 21, (Jakarta: al-Husna, 1988).
[17] Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h.
20.
[18] Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah terbesar
Kurun Kini Menentukan Nasib Umat (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 27.
[19] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam, h. 130.
[20] Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, sebuah telaah komponen Dasar Kurikulum,
(Solo: Romadhoni, 1991), h. 12.
[21] Umar Muhammad al-Thaumi
al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam,
terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 532.
[22] Ibid., h. 522`
[23] Beberapa tokoh seperti Ibnu Jama’ah, al-Qabisi, al-Ghazali,
al-Zarnuji dan lain sebagainya.
[24]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu
Pendidikan Islam, h. 154.
[25] Nur Uhbiyati, Ilmu
Pendidikan Islam, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, , 1997), h. 75.
[26] Muhammad In’am
Esha, Institusional Transformation, Reformasi dan Modernisasi Pendidikan
Tinggi Islam (Malang: UIN-Malang Press), h. 81.
[27] Sutrisno, Pembaharuan
Dan Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Fadilatama, 2011), h. 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar