Jumat, 23 September 2016

Pendidikan Islam: Antara Cita dan Fakta



Pendidikan Islam: Antara Cita dan Fakta
A.      Pendahuluan
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secra ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Dalam konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pematangan kualitas hidup. Melalui proses pendidikan, manusia diharapkan dapat memahami apa arti dan hakikat hidup, untuk apa dan bagaimana menjalani kehidupan secara baik dan benar.[1] Pendidikan menjadikan manusia lebih matang dalam emosional (kedewasaan), berilmu, serta membangun peradaban manusia. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan membantu manusia untuk melepaskan dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Diskursus pendidikan sampai kapanpun masih relevan untuk diperbicangkan, termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Ada beberapa pertimbangan mengapa pendidikan memiliki ruang untuk dikaji bahkan ditinjau ulang, yaitu: 1) pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia merupakan makhluk yang dinamis, senantiasa berubah dalam menyikapi maupun merencanakan kehidupan; 2) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut perlunya inovasi; 3) Globalisasi sebagai sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Globalisasi melebur sekat-sekat agama, ras, budaya, bahkan falsafah sebuah bangsa.[2]
Islam merupakan agama yang tidak hanya memuat ajaran pada aspek ritual, tetapi juga mencakup aspek peradaban. Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dalpat merambah dalam ranah kehidupan apapun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan, minimal berpijak pada tiga hal yaitu 1) ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong sebagai ilmu normatif, karena terkait oleh norma-norma tertentu; 2) Dalam menganalisis masalah pendidikan, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan;[3] 3) Menjadikan Islam sebagai paradigma, maka pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan dapat dipahami sebagai suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan dibangun oleh nilai-nilai Islam. Maka paradigma Islam harus memiliki desain tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi pendidikan.
Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini berpijak pada prinsip-prinsip yang hakiki, yaitu prinsip al-Tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Prinsip-prinsip tersebut diturunkan sebagai cara pandang Islam terhadap elemen-elemen pendidikan. Dalam Education Theory: A Qur’anic Outlock, Abd al Rahman Salih Abd Allah menyatakan bahwa perumusan sistem pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak, 1) adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan non muslim; 2. Berusaha mengangkat pesan Ilahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan.[4]   
Sistem pendidikan Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan. Meskipun harus di akui, sebagai salah satu model pendidikan yang sudah lama (baca: Masjid; Dayah; Surau; Pesantren dan lain-lain), perkembangan pendidikan Islam saat ini belum sesuai harapan umat Islam di Indonesia. Permasalahan pada pendidikan Islam di Indonesia sangat kompleks, baik dalam aspek kebijakan-struktural; sumber daya manusia, kurikulum dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas, sangat menarik mengkaji pendidikan Islam: antara cita dan fakta yang ada di Indonesia. Pemikiran pendidikan Islam yang bermacam-macam, mengacu pada sumber ajaran Islam dan tidak terlepas dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ketika itu.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana permasalahan (fakta) pendidikan Islam di Indonesia?
2.      Bagaimana konsep (cita) terhadap permasalahan pendidikan Islam di Indonesia?
3.      Bagaimana solusi alternatif dalam permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia?

C.      Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui permasalahan (fakta) pendidikan Islam di Indonesia.
2.      Untuk memahami konsep (cita) terhadap permasalahan pendidikan Islam di Indonesia.
3.      Untuk mencari solusi alternatif dalam permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia.

D.      Pembahasan
Pendidikan Agama Islam semakin mendapat posisi yang penting dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada beberapa pasal dalam undang-undang tersebut yang menyinggung pendidikan Islam. Setidaknya ada tiga hal yang terkait dengan Pendidikan Islam; pertama, kelembagan formal, nonformal dan informal dengan didudukkannya madrasah sebagai pendidikan formal yang setara dengan lembaga pendidikan sekolah. Dalam pendidikan nonformal, majelis taklim diakui keberadaannya dan Raudatul Athfal (RA) dimasukkan sebagai Pendididikan formal  dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta pesantren dimasukkan dalam lembaga keagamaan.[5] Kedua, Pendidikan Agama Islam menjadi mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai, yaitu adanya nilai-nilai Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional.[6]
1.        Fakta (Persoalan) Pendidikan Islam
Kajian pendidikan Islam senantiasa bertolak pada problem yang ada di dalamnya, kesenjangan antara fakta dan realita, kontroversi antara teori dan empiris. Maka dari itulah, wilayah kajian pendidikan Islam bermuara pada tiga problem pokok, antara lain:
a)        Foundational problems, yang terdiri dari atas religious foundation and philosophic foundational problems, empiric fondational problems (masalah dasar, fondasi agama dan masalah landasan filosofisempiris) yang didalamnya menyangkut dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep pendidikan yang bersifat universal, seperti hakikat manusia, masyarakat, akhlak, hidup, ilmu pengetahuan, iman, ulul albab dan lain sebagainya. Yang semuanya bersumber dari kajian fenomena qauliyah dan fenomena kauniyah yang membutuhkan pendekatan filosofis.
b)        Structural problems (masalah struktural). Ditinjau dari struktur demografis dan geografis bisa dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa dan desa terpencil. Dari struktur perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan ke dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan manula. Dari struktur ekonomi dikategorikan ke dalam masyarakat kaya, menengah dan miskin. Dari struktur rumah tangga, terdapat rumah tangga karier dan non karier. Dari struktur jenjang pendidikan bisa dikategorikan ke dalam pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
c)        Operational problem (masalah operasional). Secara mikro akan berhubungan dengan berbagai komponen pendidikan Islam, misalnya hubungan interaktif lima faktor pendidikan yaitu tujuan pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam (kurikulum, metodologi, manajemen, administrasi, sarana dan prasarana, media, sumber dan evaluasi) dan lingkungan atau konteks pendidikan. Atau bisa bertolak dari hubungan input, proses dan output. Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik yang bersifat Nasional dan Internasional.[7]

a.        Aspek Pemikiran/Nilai Pendidikan Islam
Permasalahan yang ada dalam pendidikan Islam sangat kompleks, seperti:
1)        Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan konservatif, hal ini wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodologi pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan.
2)        Pendidikan Islam terasa kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi suatu “makna dan nilai” yang perlu di internalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media dan forum.
3)        Metodologi pengajaran agama berjalan secara konvensional-tradisional, yakni menitikberatkan pada aspek korespondensi tekstual yang lebih menekankan yang sudah ada pada kemampuan anak didik untuk menghafal teks-teks keagamaan daripada isu-isu sosial keagamaan yang dihadapi pada era modern seperti kriminalitas, kesenjangan sosial dan lain lain.
4)        Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat statis indoktrinatif-doktriner.[8]
5)        Tujuan pendidikan Islam kurang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan masa yang akan datang, belum mampu menyiapkan generasi yang sesuai dengan kemajuan zaman.
6)        Pendidik dan tenaga pendidikannya mulai memudar dengan doktrin awal pendidikan Islam tentang konsep nilai ibadah dan dakwah syiar Islam. Pendidik juga disibukkan dengan hal-hal teknis seperti tunjangan honor, tunjangan fungsional dan tunjangan sertifikasi.
7)        Di kalangan peserta didikpun dalam menuntut ilmu cenderung mengesampingkan nilai-nilai ihsan, kerahmatan dan amanah dalam mengharap ridha Allah.
Selain itu, permasalahan yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan Islam desawa ini pada umumnya adalah :
1)      Dichotomi keilmuan. Masalah yang cukup serius dalam dunia pendidikan Islam adalah adanya dichotomi keilmuan  yaitu antara ilmu agama dengan ilmu umum, antara wahyu dengan akal serta antara wahyu dengan alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya menampilkan dua wajah pendidikan Islam dewasa ini. Yakni pendidikan Islam yang hanya bisa menerima kebenaran dan pengetahuan dalam perspektif agama (Islam) dan pendidikan Islam yang berusaha untuk lebih bersifat general dan inovatif dengan menerima kebenaran dalam ranah study yang mempunyai paradigma modern.
2)      To General Knoweldge, Kelemahan yang kedua bahwa pendidikan Islam dengan sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/ umum dan kurang  memperhatikan pada upaya penyelesaian (Problem solving). Produk-produk keilmuan yang dihasil kan cenderung kurang membumi (landing) dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat dari sisi kontekstualisasinya.
3)      Lack of spirit inquiry, Persoalan lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian ataupun penyelidikan.
4)      Memorisasi. Dalam masyarakat Muslim dimana lembaga-lembaga pendidikannya masih sibuk dengan cara belajar hafalan (study teks) akan tetapi bukan bagaimana melakukan kajian yang integratif untuk mendefinisikan sebuah tema kajian yang lebih kritis dan paradigmatif-dinamis.
5)      Certificate oriented. Adanya kecenderungan pergeseran orientasi dari knoweledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya sebuah jalan untuk mendapatkan ijazah semata, sedangkan  semangat dan kwalias keilmuan menempati prioritas berikutnya.

b.        Aspek Kelembagaan
Dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan Islam ada beberapa macam bentuk. Pertama, lembaga pendidikan formal (MI, MTs, MA-MAK, Perguruan Tinggi); kedua, Lembaga Pendidikan Nonformal (lembaga kursus, pelatihan, majlis taklim dan lain sebagainya); ketiga, Lembaga Pendidikan Informal (kegiatan kependidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri); keempat, Pendidikan anak usia dini (TK, RA); kelima, Pendidikan keagamaan (Madrasah Diniyah, Pesantren).
Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa kementrian agama mencatat jumlah lembaga pendidikan Islam sebanyak 300.270 tersebut, meliputi 717 perguruan tinggi, termasuk sebanyak 55 perguruan tinggi berstatus negeri. Di tambah Madrasah dari berbagai tingkatan, yaitu mulai dari diniyah hingga aliyah, dengan total berjumlah 75.199 lembaga. Serta Pondok Pesantren sekitar 27.290 yang ada di nusantara.[9]
Lembaga pendidikan Islam yang sangat banyak memang menjadi keuntungan, tetapi ada beberapa persoalan antara lain, pertama, lembaga pendidikan Islam berada di bawah naungan kementrian agama sehingga kurang efektif, karena banyaknya lembaga pendidikan, apalagi ada desentralisasi pendidikan ditingkat propinsi dan kabupaten atau kota; kedua, manajemen kelembagaan, terutama yang swasta belum ada stadarisasi yang jelas. Sebagian besar masih menggunakan kepemimpinan kharismatik atau tradisional; ketiga, beberapa lembaga pendidikan Islam, belum dipertimbangkan secara strategis dan signifikan dalam sistem pendidikan nasional.[10]  

c.         Aspek Kurikulum/Materi
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal.
Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam adalah semua aktivitasi, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan pendidikan Islam.
Pada kenyataannya, pendidikan Islam hanya didasarkan oleh pemahaman pendidikan Islam yang hanya mementingkan aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Oleh karena itu, akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomi.
Kuriulum PAI yang digunakan disekolah cenderung memiliki kompetensi yang tidak terlalu luas, lebih-lebih lagi guru PAI seringkali terpaku pada kurikulum yang tidak terlalu komprehensif tersebut. Selain itu, kurikulum PAI lebih cenderung menjelaskan persoalan-persoalan teoretis agama yang bersifat kognitif dan amalan-amalan ibadah praktis. Padahal PAI seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.[11]
2.        Konsep (cita) Pendidikan Islam sebagai Tawaran Solusi
Pemaknaan Pendidikan Agama Islam (PAI) sering dipahami dan ditekankan pada aspek normatif dalam pelajaran agama Islam, apabila terkait dengan aspek aktifitas dan institusi, umumnya dipakai kata pendidikan Islam.[12] Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh-suburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta.[13] Dalam kurikulum PAI, Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.[14]
a.        Aspek Pemikiran Pendidikan Islam
Pendidikan [Islam] pada periode awal [masa Nabi Muhammad saw] misalnya, tampak bahwa usaha pewarisan nilai-nilai diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas dari belenggu aqidah sesat yang dianut oleh sekolompok masyarakat elite Quraisy yang banyak dimaksudkan sebagai sarana pertahanan mental untuk mencapai status quo, yang melestarikan kekuasaan dan menindas orang-orang dari kelompok lain yang dipandang rendah derajatnya atau menentang kemauan kekuasaan mereka. Gagasan-gagasan baru yang kemudian dibawa dalam proses pendidikan Nabi, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai keimanan baik secara individual maupun kolektif, bermaksud menghapus segala keperyaan jahiliyah yang telah ada pada saat itu. Dalam batas yang sangat meyakinkan, pendidikan Nabi dinilai sangat berhasil dan dengan pengorbanan yang besar, jahiliyahisme masa itu secara berangsur-angsur dapat dibersihkan dari jiwa mereka, dan kemudian menjadikan tauhid sebagai landasan moral dalam kehidupan manusia. Proses pendidikan yang dilakukan Nabi, yang aksentuasinya sangat tertuju pada penanaman nilai aqidah [ketauhidan], keberhasilan yang dicapainya memang sangat ditunjang oleh metode yang digunakannya. Pada proses pendidikan awal itu, Nabi lebih banyak menggunakan metode pendekatan personal-individual. Dalam meraih perluasan dan kemajuaannya, baru kemudian diarahkan pada metode pendekatan keluarga, yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan masyarakat [kolektif].
Pengembangan pendidikan Islam yang telah ada itu, yang pada awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah, diupayakan Nabi dengan menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, yang tercermin dalam usaha Nabi dengan menggalakkan umat melalui wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal itu, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi. Disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan anaknya.
Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[15] Untuk menelaah tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga (3) pendekatan, yaitu 1) pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi; 2) pendidikan dipandang sebagai pewarisan budaya; 3) pendidikan dipandang sebagai interaksi antara pengembangan potensi dan pewarisan budaya.[16] Menurut Abdul Mujib, ada tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu al-Fitrah, al-Hayah (vitality), al-Khuluq (Karakter), al-Thab’u (tabiat), al-Sajiyah (bakat), al-Sifat dan al-Amal. Sedangkan fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan Islam tercapai dan berjalan dengan lancar. Fungsi pendidikan Islam juga dapat dibagi dua (2), yaitu 1) alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa; 2) alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.[17] Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, seperti 1) tujuan dan tugas hidup manusia; 2) memperhatikan sifat-sifat dasar manusia; 3) tuntutan masyarakat; 4) Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, seperti kesejahteraan, kebahagiaan serta keseimbangan dan keserasian kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.

b.        Aspek kelembagaan
Adapun prinsip-prinsip dalam pembentukan lembaga pendidikan Islam adalah:
1)        Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia masuk neraka;
2)        Prinsip pembinaan umat manusia;
3)        Prinsip pembentukan pribadi manusia;
4)        Prinsip amar ma’ruf nahi munkar
5)        Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa sehingga menciptakan peserta didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsa.
Menurut Sidi Gazalba, yang menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah: 1) rumah tangga; 2) sekolah; 3) kesatuan sosial.[18] Adapun wujud lembaga pendidikan Islam seperti 1) masjid (surau, langgar, musalah, meunasah); 2) madrasah dan pondok pesantren (kuttab); 3) pengajian dan penerangan Islam (majlis taklim); 4) kursus-kursus keIslaman; 5) badan-badan pembinaan ruhani (biro pernikahan, biro konsultasi keagamaan; 6) MTQ.
Sebagai warisan (legacy) Islam yang sangat penting, pendidikan Islam Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. pendidikan Islam sebagai lembaga atau program. Dalam praktiknya, pendidikan Islam kategori ini mencakup setidaknya 6 (enam) jenis lembaga/program, yaitu:
1.        Pondok Pesantren dan Diniyah (Ula, Wustha, ’Ulya) dan Ma’had ’Aly (Pesantren Luhur) dengan segala variasi dan kualitasnya. Lembaga/program ini telah memperoleh kedudukan yang semakin kokoh melalui UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
2.        Madrasah (MI, MTs, MA) yang disebut sebagai ‘pendidikan umum berciri khas Islam’ yang dalam praktiknya ‘sama tapi tak sebangun’ dengan sekolah;
3.        Perguruan tinggi Islam dengan keragamannya seperti Sekolah Tinggi, Institut (negeri dan swasta) dan Universitas (UIN) yang memperoleh kedudukan khusus dalam UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
4.        Pendidikan usia dini/TK/RA/BA yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam;
5.        Pelajaran agama Islam (PAI) di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran, mata kuliah, dan/atau sebagai program studi; dan
6.        Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, forum-forum kajian keIslaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya yang digalakkan masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan non formal dan informal.
c.         Aspek Kurikulum/Materi
Dalam kurikulum PAI, Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.[19]
Komponen kurikulum dalam pendidikan sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan. Komponen kurikulum setidaknya mencakup tujuan, struktur program, strategi pelaksanaan, penilaian hasil belajar, bimbingan-penyuluhan, administrasi dan supervisi pendidikan. Menurut Muhaimin, komponen kurikulum setidaknya mencakup empat (4) klaster, yaitu: 1) klaster komponen dasar, yang mencakup dasar tujuan, prinsip-prinsip, pola organisasi, kriteria keberhasilan, orientasi pendidikan dan sistem evaluasi; 2) klaster komponen pelaksana, seperti materi, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan dan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar; 3) klaster komponen pelaksana dan pendukung kurikulum, seperti pendidik, peserta didik, bimbingan konseling, administrasi pendidikan, sarana prasarana dan biaya pendidikan; 4) klaster komponen usaha pengembangan.[20]
Adapun dasar pokok kurikulum pendidikan Islam, al-Syaibani menetapkan empat (4) dasar, yaitu 1) Dasar religi; 2) Dasar falsafah; 3) Dasar psikologis; 4) Dasar sosiologis dan organisatoris.[21] Beliau menambahkan prinsip utama dalam kurikulum pendidikan Islam adalah, 1) Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilainya; 2) Prinsip menyeluruh; 3) prinsip keseimbangan antara tujuan dan kandungan kurikulum; 4) prinsip interaksi antara kebutuhan peserta didik dengan masyarakat; 5) prinsip pemeliharaan antara perbedaan individu; 6) prinsip perkembangan dan perubahan; 7) prinsip integritas antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas kurikulum dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan tuntutan zaman.[22]
Adapun orientasi kurikulum pendidikan Islam meliputi: 1) orientasi pada pelestarian nilai; 2) orientasi pada kebutuhan sosial (social demand); 3) orientasi pada tenaga kerja; 4) orientasi pada peserta didik; 5) orientasi pada masa depan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengenai isi kurikulum, sebagian besar pemikir pendidika Islam masih mencerminkan dikotomi ilmu pengetahuan.[23] Padahal, secara epistemologi Islam dinyatakan bahwa semua ilmu itu merupakan produk dan milik Allah, sedangkan manusia sebagai penemu dan menginterpretasikannya. Berdasarkan QS. Fussilat: 53, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir menyatakan ada tiga isi kurikulum, yaitu: 1) Isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan”; 2) Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”; dan 3) Isi kurikulum yang berorientasi pada “kealaman”`[24]
Kurikulum adalah salah satu komponen operasional pendidikan agama Islam sabagai sistem materi atau disebut juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi yang disampaikan oleh pendidikan (khususnya pendidik agama Islam) hendaknya mampu menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus ditunjang oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik tidak sempit.
Disamping itu materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik dan tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Nur Uhbiyati mengenai definisi kurikulum, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pembelajaran, kebudayaan sosial, olah raga dan kesenian yang tersedia di sekolah bagi anak didik dan tujuan didik di dalam dan  di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk perkembangan menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pembelajaran.[25]
Dalam perkembangannya kurikulum pendidikan Islam juga harus menyesuakan prinsip-prinsip kurikulum secara umum, sebagai berikut:
1)        Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
2)        Menyeluruh dan berkesinambungan. Kesinambungan disini dimaksudkan adalah saling hubungan atau jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
3)        Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik sehingga terjadi interaktif anatara pengajaran denagan daya berpikir anak. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4)        Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Prinsip relevensi adalah kesesuaian, keserasian pendidikam dengan tuntutan masyarakat.  Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5)        Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
6)        Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. Sekolah tidak saja memberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik tamat dari sekolah namun juga memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuh kembangkan dirinya di luar sekolah dan berjalan terus menerus sepanjang hayat.
7)        Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kurikulum Pendidikan Islam bertujuan menanamkan kepercayaan dalam pemikiran dan hati genarasi muda, pemulihan akhlak dan membangunkan jiwa rohani. Ia juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan secara berterusan, gabungan pengetahuan dan kerja, kepercayaan dan akhlak dan penerapan amalan teori dalam hidup.

3.        Solusi Alternatif (Rekomendasi)
a.       Dimensi ontologis mengarahkan kurikulum agar lebih banyak memberi peserta didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta berkaitan dengan pelajaran yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi kerja. Dimensi ini menghasilkan verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data dan informasi yang harus dipelajari dan di hafalkan. Dimensi ini diambil dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh Allah SWT. kepada Nabi Adam, dengan mengajarkan nama-nama benda, seperti termaktub dalam firman Allah:

N¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ  
Terjemahnya: dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (bendabenda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. al-Baqarah: 31).
b.      Implikasi dimensi ontologi dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik tapi juga alam tak terbatas. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah atau spiritual, yang mengantarkan manusia pada keabadian. Di samping itu, perlu juga ditanamkan pengetahuan tentang hukum dan sistem kesemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta yang  menentukan kehidupan manusia di masa depan. Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai. Itulah sebabnya diperlukan adanya pencerahan dalam mengupayakan integralisasi keilmuan.[26]
c.       Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.[27]
d.      Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini –karena otoritasnya – dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, dan menemukan ilmu pengetahuan dengan petunjuk wahyu Allah SWT. Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah.
e.       Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap ayat qauliyah atau naqliyah (al-Qur’an dan al-Sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, psikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.
f.       Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang integral antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada semua bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali kepada Allah (mentauhidkan Allah)”.
g.      Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT.
h.      Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Sehingga dengan pemenuhan kompetensi inilah, seorang tenaga pendidik mampu menemukan metode yang diharapkan sebagaimana harapan dalam kajian epistemologis.
Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan Islam, yaitu:
a.       Nilai ibadah, yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam segala proses dan berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah.
b.      Nilai ihsan, yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya dikembangkan atas dasar berbuat baik terhadap sesama. Allah berfirman:
c.       Nilai masa depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang hidup dengan tantangan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan sumber daya manusia yang cakap, terampil dan profesional.
d.      Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta.
e.       Nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud penyebaran syiar Islam,

E.       Penutup
1.      Adapun persoalan (fakta) pendidikan Islam dalam aspek pemikiran/nilai adalah tujuan pendidikan Islam kurang berorientasi masa depan, dikotomi ilmu pengetahuan, kurang nya penelitian, krisis nilai-nilai ihsan dan rahmat. Sedangkan pada aspek kelembagaan yaitu banyaknya lembaga pendidikan Islam dan semua dibawah naungan kementrian agama, belum ada standarisasi pengelolaan; dan aspek kurikulum/materi masih terkesan sempit (urusan akhirat) dan berkutat pada aspek kognitif.
2.      Adapun tawaran idealitas pendidikan Islam dalam aspek pemikiran/nilai bahwa  Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat; aspek kelembagaan prinsip-prinsip dalam pembentukan lembaga pendidikan Islam adalah Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang menjerumuskan manusia masuk neraka; Prinsip pembinaan umat manusia; Prinsip pembentukan pribadi manusia; Prinsip amar ma’ruf nahi munkar; Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa sehingga menciptakan peserta didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya cipta, rasa dan karsa. Sedangkan aspek kurikulum/materi adalah Komponen kurikulum dalam pendidikan sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan. Kurikulum adalah salah satu komponen operasional pendidikan agama Islam sabagai sistem materi atau disebut juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi yang disampaikan oleh pendidikan (khususnya pendidik agama Islam) hendaknya mampu menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus ditunjang oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik tidak sempit.
3.      Solusi alternatifnya seperti:
a.         Adanya verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data dan informasi yang harus dipelajari dan di hafalkan.
b.         Pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik tapi juga alam tak terbatas.
c.         Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid.
d.        Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT.
e.         Rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid.
f.          Orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang integral antara iman, ilmu, amal, dan akhlak.
g.         Merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif.
h.         Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
i.           Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan Islam, yaitu: nilai ibadah, nilai ihsan, nilai masa depan, nilai kerahmatan, nilai dakwah.



DAFTAR PUSTAKA

al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Ruh al Tarbiyah wa Ta’lim. Saudi Arabiyah: Dar al-Ahya`, t.t.

Arifin HM. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya’ Ulum al-Din, terj. Ismail Ya’qub. Semarang: Faizan, 1979.

Jalal, Abd Fatah. Min al-Ushul al Tarbiyah fi al-Islam. Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1977.

Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1980.

-----------. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: al-Husna, 1998.

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Press, 2005.

---------. Konsep Pendidikan Islam, sebuah telaah komponen Dasar Kurikulum. Solo: Romadhoni, 1991.

Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2010.

Mulyasana, Dedi. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Ramayulis. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1990.

Shaleh, Abd al-Rahman Abd Allah. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, terj. Arifin HM. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

al-Syaibani, Umar Muhammad al-Thaumi. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.

Tim Depag RI. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan. Jakarta: PPPAI-PTU, 1984.

Zuhairini, dkk.. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1981.


[1] Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011). h. 2.
[2] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, dalam “pengantar penulis” (Jakarta: Kencana, 2010).
[3] Dalam konteks pendidikan, para ahli mempunyai kecendrungan mengambil teori-teori dan falsafah pendidikan Barat. Falsafah pendidikan Barat lebih bercorak “sekuler”, yang memisahkan dimensi kehidupan (dunia-akhirat; umum-agama; ruh-badan/gejala tubuh). Masyarakat Indonesia mayoritas mempunyai kecendrungan lebih “religius”.
[4] Corak pertama bersifat pragmatis, yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Artinya, sistem pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan kontempore Barat yang mapan dan tentu telah mendapatkan legalitas-justifikasi dari al-Qur’an dan Sunnah. Corak kedua bersifat idealistis, yang memformulasikan sistem pendidikan islam digali dari ajaran Islam. Corak ini menggunakan pola pikir deduktif.
[5] Lebih jelasnya lihat pasal 26, 28 dan 30 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[6]  Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9.
[7]  Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Perss, 2011), h. 45.
[8] Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Paradigma Unggul (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), h. 37.

[9]http://www.kabarpas.com/menag-ri-jumlah-lembaga-pendidikan-islam-di-indonesia-terbesar-di-dunia
[10] Hal ini terlihat ketika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum, meskipun sudah ada legitimasi madrasah diniyah formal, pengakuan ma’had aly.
[11] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam;Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009), 242.
[12]  Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), h. 104.
[13] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h. 31.
[14] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 130.
[15] Ibid., h. 28.
[16] Menurut Hasan Langgulung, ketiga pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, karena satu keutuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya, ada yang lebih dominan daripada yang lainnya. Baca: Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (Jakarta: al-Husna, 1988).
[17] Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 20.
[18] Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam: Masalah terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 27.
[19] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam, h. 130.
[20] Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, sebuah telaah komponen Dasar Kurikulum, (Solo: Romadhoni, 1991), h. 12.
[21] Umar Muhammad al-Thaumi al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 532.
[22] Ibid., h. 522`
[23] Beberapa tokoh seperti  Ibnu Jama’ah, al-Qabisi, al-Ghazali, al-Zarnuji dan lain sebagainya.
[24]  Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, h. 154.
[25] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, , 1997), h. 75.
[26] Muhammad In’am Esha, Institusional Transformation, Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam (Malang: UIN-Malang Press), h. 81.
[27] Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Fadilatama, 2011), h. 105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar