Minggu, 18 September 2016

KERANGKA BERFIKIR IRFANI: DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT



KERANGKA BERFIKIR IRFANI:
DASAR-DASAR FALSAFI AH}WA<L DAN MAQA>MAT
A.   Pendahuluan
1.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang lengkap, tidak hanya berorientasi pada aspek akhirat saja, tetapi juga mengatur aspek dunia. Diskurus Islam juga dikaji secara normatif (teks-ajaran) dan historis. Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui naskah-naskah yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam dan diantara tema yang banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam Islam. Adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan. Dalam islam kita mengenal beberapa aliran tasawuf, diantaranya aliran tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.
Diskursus tasawuf tidak bisa dilepaskan tentang ketuhanan (al-ma’arif al-Ilahiyah). Biasanya pengetahuan tersebut tidak menggunakan ilmu dan pembuktian ilmiah, tetapi dengan jalan penyaksian esoterik. Hal ini menunjukkan pentingnya hati manusia agar dapat menyingkap tirai dan menangkap hakikat. Dengan hati yang suci, seseorang dapat melihat esensi ketuhanan, asma-asma-Nya, dan sifat-sifat-Nya.
Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah (thariqat). Jalan ini dimulai dengn latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan Maqa>m (tingkatan) dan h}al (keadaan), yang berakhir dengan ma’rifat kepada Allah.[1] Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tetentu yang disebut tariqat[2] dalam rangka mencapai ma’rifat. Wilayah atau lingkup perjalanan menuju ma’rifat ini yang berlaku dikalangan sufi disebut sebagai kerangka ‘irfani. Dalam tasawuf, manusia akan mengetahui Allah dengan melakukan perjalanan. Apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah, maka sangat sulit untuk mencapainya, meskipun manusia tersebut beriman secara aqliyah.[3]
Lingkup ‘irfani dalam rangka mencapai ma’rifat harus melalui proses yang panjang. Dalam konteks tasawuf, proses ini dinamakan sebagai Ah}wa>l (jamak dari h}al) dan Maqa>mat (jamak dari Maqa>m). Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang Ah}wa>l dan Maqa>mat serta kerangka berfikir atau metode ‘irfani.

2.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Maqa>mat dalam tasawuf?
2.      Bagaimana Ah}wa>l dalam perjalanan kaum sufi?
3.      Bagaimana Kerangka berfikir  `irfani?

3.  Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah:
Dalam maklah ini, penulis merumuskan beberapa persoalan, yaitu:
1.      Untuk mengetahui Maqa>mat dalam tasawuf.
2.      Untuk mengetahui Ah}wa>l dalam perjalanan kaum sufi.
3.      Untuk mengetahui Kerangka berfikir  `irfani.


B.  Maqa>mat dan Ah}wal
1.  Pengertian Maqa>mat
Maqa>mat merupakan jamak dari kata Maqa>m, secara bahasa berarti tempat berpijak atau pangkat yang mulia.[4] Sedangkan dalam ilmu tasawuf, Maqa>mat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui riyadlah, ibadah, maupun mujahadah.[5] Maqa>m  adalah tingkatan, artinya tingkatan seorang hamba di hadapan-Nya dalam h}al ibadah dan latihan-latihan (riyadhah) jiwa yang dilakukannya.[6]  Maqa>m dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlh kwajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai Maqa>m berikutnya, sebelum menyempurnakan Maqa>m sebelumnya.[7] Dalam kalangan sufi, urutan Maqa>m ini berbeda-beda. Sebagian mereka merumuskan Maqa>m dengan sederhana seperti, tanpa qanaah, tawakal tidak akan tercapai; tanpa tawakal , taslim tidak  akan tercapai; sebagaimana tanpa tobat, inabah tidak akan ada; tanpa wara’, zuhud tidak akan ada.
Al-Ghazali merumuskan Maqa>m seperti berikut ini: tobat, sabar, syukur, khauf, raja’, tawakkal, mahabbah, ridla, ikhlas, muhasabah, dan muraqabah. Al-Kalabadzi seperti dikutip Rosihon Anwar menyebutkan Maqa>m yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual, yaitu taubat, al zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al khauf, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, yakin, zikir, uns, qarb dan mahabbah, dan al-ma’rifah.[8]
2.   Pengertian Ah}wal
Secara bahasa, Ah}wa>l merupakan jamak dari h}al yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani).[9] Menurut Syeikh Abu Nashr al Sarraj, h}al adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama.[10] Sedangkan Harun Nasution mengartikan bahwa h}al sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.[11] Dari beberapa defenisi tersebut,  yang dimaksud dengan h}al adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai tingkatan tertentu.[12] Al-Qusyairi dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, berkata, h}al adalah makna yang datang pada qalbu tanpa disengaja. H}al diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa  harap. [13]  H}al tidak bisa diperoleh lewat cara perjuangan spiritual, ibadah, pelatihan spiritual sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Maqa>mat. Akantetapi h}al adalah seperti muraqabah, qurbah, mahabah, khauf, dan lain-lain.[14] Apabila Maqa>m diperoleh dengan daya dan upaya, maka h}al akan datang dengan sendirinya. Orang yang meraih Maqa>m dapat tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih h}al justru akan mudah lepas dari dirinya.[15]
Antara Maqa>m dan h}al tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antara keduanya dapat dapat dilihat dalam kenyataan bahwa Maqa>m menjadi prasyarat menuju Tuhan, bahwa dalam Maqa>m akan ditemukan kehadiran h}al. Sebaliknya, h}al yang telah ditemukan dalam Maqa>m akan mengantarkan seseorang untuk mendaki Maqa>m selanjutnya.[16]

3.  Maqa>m-Maqa>m Dalam Tasawuf
Seperti disinggung diatas bahwa Maqa>m (jamaknya Maqa>mat) yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, tawakal, Mah}abbah, dan ma’rifat.
a.  Tobat
Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan al Susi berkata kedudukan spiritual (Maqa>m) pertama dari beberapa Maqa>m spiritual adalah tobat. Hakikat tobat secara bahasa adalah kembali.[17] Tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (syari’at) untuk menuju pada apa yang dipuji oleh ilmu.[18] Tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat terendah , tobat menyangkut dosa yang dilakukan anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, selain menyangkut dosa yang dilakukan jasad juga menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti iri, dengki, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah.[19] Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah. Menurut al Sarraj, ada dua tipe hamba yang bertobat, pertama orang yang bertobat dari segala dosa dan kesalahan. Sedangkan kedua, orang yang bertobat dari kegelinciran dan kelalaian, dan bertobat dari melihat kebaikan dan ketaatan yang ia lakukan. Sehingga tobat akan mengharuskan wara’.[20]
b.  Zuhud
Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap ketergantungan kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.  Zuhud merupakan tapak kaki awal bagi mereka yang hendak menuju Allah, yang mencurahkan segala-galanya hanya untuk Allah, yang ridla dengan segala ketentuan dan mereka yang bergantung (tawakal) kepada Allah.[21] Al-Ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan pada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Sekarang kami mempersingkat pada keutamaan dunia, karena membenci dunia itu termasuk yang dapat menyelamatkan dari siksaan.[22] Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rezeki yang diterimanya. Hasan al-Bashri mengatakan zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya seperti ular , licin apabila dipegang, tetapi racunnya dapat membunuh. [23]
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi atas  tiga tingkatan. Pertama, menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhkan dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada  Allah. Orang yang berada pada tingkat ketiga ini akan memandang segala sesuatu tidak ada arti apa-apa kecuali Allah.[24]
c.   Faqr (Fakir)
Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Ibrahim bin Ahmad al-Khawwash berkata, “kefakiran itu selendang kemuliaan, pakaian para rasul, jubah orang-orang saleh, mahkota orang-orang yang bertakwa, perhiasan orang-orang mukmin, harta jarahan perang orang-orang arif, harapan para murid, benteng orang-orang yang taat, penjara orang-orang yang berdosa, penghapus kejelekan, pelipatganda kebaikan, pengangkat derajat, penyampai pada tujuan, ridla-Nya, kemuliaan bagi orang-orang baik yang menjadi wali-Nya.[25]  Sikap fakir selanjutnya akan memunculkan sikap wara’. Menurut para sufi, wara’ adalah sikap berhati-hati ddalam menghadapi sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan yang tidak jelas hukumnya  atau tidak jelas asal-usulnya lebih baik untuk meninggalkannya.[26]
Orang-orang fakir memiliki tiga tingkatan: pertama, orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apapun kepada seseorang, baik secara lahir maupun batin. Kedua,orang yang tidak memiliki apapu , namun ia tidak meminta siapapun, tidak mencari, dan juga tidak memberi isyarat atas kefakirannya. Ketiga, orang yang tidak memiliki apa-apa. Jika ia membutuhkan sesuatu ia akan mengungkapkannya kepada sebagian temannya yang ia kenal, dan ia merasa senang mengungkapkannya. Maka penebus permintaannya adalah sedekah.[27]
d.  Sabar
Sabar secara bahasa berarti tabah hati.[28] Sedangkan secara istilah adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.[29]  Sabar ialah tahan menderita, berhati-hati atau selektif dalam bertindak. Sabar jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).[30] Kesabaran sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
e.  Syukur
Syukur adalah menerima nikmat dengan membesarkan Allah SWT. Syukur diperlukkan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Menurut Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh kepada syariat-Nya. Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah-Nya. Ketiga,syukur dengan hati.[31]


f.  Rela (Rida)
Rida berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Hanyalah para ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.[32]
Menurut Abdul H}alim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.[33]
g.  Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT,[34] membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam h}al ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.[35]
Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakkal terdiri dari tiga tingkatan yaitu:
a.    Tawakkal, yaitu hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan Allah. Tawakkal ini merupakan Maqa>m bidayah, yakni sifat bagi orang mukmin yang awam.
b.   Taslim, merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya. Sikap seperti ini merupakan Maqa>m mutawasit}, yang menjadi sifat orang khawas.
c.    Tafwit, yaitu orang yang telah rida menerima ketentuan/takdir Allah. Sikap seperti ini adalah sikap orang yang sudah mencapai Maqa>m nihayah yakni orang-orang muwahhidin, seperti Nabi Muhammad SAW.[36]
Tanda-tanda tawakal ada tiga: 1. Menyingkirkan sikap ketergantungan; 2. Menghilangkan bujukan yang berkaitan dengan tabiat; 3. Berpedoman pada kebenaran dalam mengikuti tabiat.[37]

h. Mah}abbah
Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
a.    Mencintai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya;
b.    Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi (Tuhan);
c.    Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi.
Ath-Thusi membagi mahabbah menjadi 3 tingkatan, yaitu:
a.    Mah}abbah Biasa, munculnya karena kebaikan Allah kepada seorang hamba. Mahabbah (cinta) ini diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang kekasih seiring dengan mengingat asma-Nya secara terus-menerus. Sebab siapa yang mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
b.    Mah}abbah S}adiqi>n, yaitu membersit karena pengenalan yang mendalam atas kebesaran, ilmu, dan kekuasan Allah.
c.    Mah}abbah ’An, yaitu cinta hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta seperti ini, yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai.[38]
i.  Ma’rifat
Makrifat dalam pengertian sufisme adalah gnosis dari teosufi hellenistik, yaitu pengetauan langsung dari Tuhan berdasarkan ilham atau petunjuk-Nya. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, ada tiga macam ma’rifat, yaitu:
a.    Ma’rifat orang awam, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat dan taqlid.
b.   Ma’rifat para mutakallimi>n dan filosof, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan melalui logika dan penalaran.
c.   Ma’rifat para awliya>’ dan muqarrabi>n, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan perantaraan sanubari atau kalbu.[39]
Menurut Dzun Nun Al-Mishri dan beberapa sufi-sufi yang lain, ma’rifah dalam arti yang pertama dan kedua belum merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ’ilm, bukan ma’rifat. Ma’rifat dalam arti ketigalah yang merupakan pengenalan hakiki tentang Tuhan, dan inilah yang disebut ma’rifat, yakni pengenalan yang tertinggi dan meyakinkan. Ma’rifat ini diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi karena ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hambaNya, sehingga ia mengenali Tuhannya dengan Tuhannya.
Dengan demikian, ma’rifat hanya terdapat pada para awliya>’ dan muqarrabi>n atau para sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan sanubari mereka. Pengenalan seperti ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Dengan kata lain, ma’rifat dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Dzun Nun ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab: ”Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan; dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengenal Tuhan.”[40] Ungkapan Dzun Nun ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh sebagai hasil usaha, tetapi adalah pemberian Tuhan. Ma’rifat bukan hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian dari Tuhan kepada sufi yang siap dan sanggup menerimanya. Ali abd. Al-’Azim mengatakan: ”Kaum sufi sependapat bahwa ma’rifat yang hakiki hanya di dapat melalui hati sanubari yang mendapat ilham (al-basirah al-mulhamah), bukan melalui akal dan juga bukan melalui indera.[41]



4.   Ah}wa>l Yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi
Sebagaimana telah disinggung bahwa h}al-h}al (Ah}wal) sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi. Dibawah ini adalah h}al-h}al yang sering dijumpai dalam perjalanan sufi:
1.      Waspada dan Mawas Diri (Muha>sabah dan Mura>qabah)
Waspada (muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah.[42] Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.[43]
Waspada dan mawas diri merupakan dua h}al yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
2.      Cinta (h}ubb)
Dalam pandangan tasawuf, mah}abbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan h}al, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan Maqa>m. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap h}al. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawa>hib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.[44]
Kondisi spiritual (h}al) hubb bagi seorang hamba adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah dengannya, segala perlindungan, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya. Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan (inayah), petunjuk (hidayah), dan cinta-Nya yang tercurahkan kepadanya, yang seluruhnya sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia mencintai Allah.

3.      Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ berarti berharap atau optimisme, yakni perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
a.       Cinta kapada apa yang diharapkannya.
b.       Takut harapannya itu akan hilang
c.        Berusaha untuk mencapainya[45]
Raja’ yang tidak dibarengi oleh 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Khauf menurut ahli sufi adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurang sempurna pengabdiannya. Dalam hubungan ini Al-Ghazali membagi khauf membagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan kedua, khauf karena siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah  yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.
4.      Rindu (Syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.[46] Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rasa rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sedangkan hidup merintangi pertemuan ’abid dengan ma’budnya.
5.      Intim (Uns)
Menurut pandangan kaum sufi, uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns, ”Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti h}alnya sepasang pemuda-pemudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, srtinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.”[47]Ungkapan di atas melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap keintiman tersebut banyak dialami oleh kaum sufi.
6.      T{uma’ninah
T{uma’ninah[48] adalah kondisi spiritual yang tinggi. Dimana ia merupakan kondisi spiritual seorang hamba yang akalnya kokoh, imannya kuat, ilmunya mendalam, dzikirnya jernih dan hakikatnya tentancap kokoh.[49]
7.      Musha>hadah
Musha>hadah[50] adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang dibarengi ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya. Amr bin Usman al Maliki, seperti yang dikutip al Sarraj menyatakan bahwa musyahadah adalah kegaiban yang ditemukan oleh hati dengan kegaiban yang tidak dijadikan sebagai sesuatu yang terlihat dan tidak pula penghayatan hati nurani (wajd). Beliau juga mengatakan  bahwa musyahadah adalah kesinambungan antara penglihatan hati dengan penglihatan mata, karena penglihatan hati adalah tersingkapnya keyakinan dalam bertambahnya dugaan. [51]
8.      Yaqin (Keyakinan Sejati)
Yaqin ialah mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling dan tidak berubah. Keyakinan sejati ini tidak lain adalah mukasyafah (tersingkapnya apa yang ghaib). Mukasyafah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a.    Mukasyafah ayan (tersingkapnya tutup mata) sehingga di hari  kiamat nanti, ia melihat dengan mata kepala.
b.   Mukasyafatul qulub (tersingkapnya tutup hati) untuk memahami hakikat-hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa ditentukan.
c.  Mukasyafatul ayat (tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya) dengan ditampakkannya kekuasaan Allah kepada para nabi dengan mukjizat dan untuk selain para Nabi, dengan karamah (kemuliaan) dan dikabulnya do’a.[52]
Keyakinan sejati merupakan kondisi spiritual yang tinggi. Para pelakunya dibedakan menjadi tiga kondisi:
a.    Kelas pemula, yakni para murid dan orang awam
b.    Kelas menengah, yakni orang-orang khusus yang keyakinannya kontinuitas sepanjang waktu dalam menghadapi rintangan.
c.    Kelompok para pakar (para elit sufi). Mereka adalah kelompok yang paling khusus. Sifat-sifatnya sebagaimana yang dikatakan Amr bin Utsman Al-Makki, ”keyakinan sejati secara global adalah menetapkan keyakinan kepada Allah dengan segala sifatnya.”[53]

C.   Metode Irfani
Potensi untuk memperoleh ma’rifat sesungguhnya telah ada pada manusia. Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial.[54] Qalb merupakan tempat pengetahuan tentang tentang hakikat-hakikat, termasuk di dalamnya hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah hati yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering dilakukan manusia. Karena qalb merupakan bagian dari jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Marifat tidak dimiliki sembarang orang, melainkan hanya dimiliki orang-orang yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Untuk itu disamping melalui tahapan-tahapan Maqa>mat dan ah}wa>l, untuk memperoleh ma’rifat, seseorang harus melakukan upaya-upaya tertentu, yaitu:
1.  Riya>d}ah
Riya>d}ah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan h}al-h}al yang mengotori jiwanya. Riya>d}ah dapat pula berarti internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek.[55] Riya>d}ah harus disertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam usaha untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Riya>d}ah perlu dilakukan untuk memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus. H}al terpenting dalam riya>d}ah adalah melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi.
2.  Tafakur
Tafakur penting dilakukan untuk menuju ma’rifat, karena ketika jiwa belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Tafakur dilakukan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal).[56] Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya sebab memotensikan nafs kulli, seperti yang di ungkapkan al-Ghazali, ”Nafs Kulli (jiwa universal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.” nafs kulli mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat. Alasannya, ilmu yang dihasilkan melalui penggunaan nafs kulli lebih bersifat universal, tidak parsial. Untuk memfungsikan nafs kulli, kegiatan tafakur mempunyai peranan yang sangat penting.
3.  Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takh}alli dan tah}alli.[57] Para sufi adalah orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwanya. Perwujudannya adalah rasa butuh terhadap Tuhannya. Ada lima h}al yang menjadi pengh}alang jiwa dalam menangkap hakikat yaitu: jiwa yang belum sempurna, jiwa yang dikotori perbuatan maksiat, manuruti keinginan badan, penutup yang mengh}alangi masuknya hakikat dalam jiwa (taqlid), dan tidak dapat berpikir logis. Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materil. Kegiatan mengetahui ibarat cermin yang menangkap gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersian cermin yang bersangkutan.
4.  Dhikrullah
Dhikrullah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Pentingnya dhikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan dhikir  itu sendiri bagi hati. Dalam Al-Munqid}, Al-Ghazali menjelaskan bahwa dhikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah, sedangkan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dhikir kepada Allah.[58] Dalam pandangan sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, kunci pembuka alam gaib, penarik kebaikan, penjinak was-was, dan pembuka kewalian.[59] Dhikir juga berfungsi untuk mendatangkan ilham, mengh}alangi ruang gerak setan sehingga setan pergi menjauh dari hati manusia. Di saat itulah, malaikat memberikan ilham kepada hati.

D.   Kesimpulan
1.        Maqa>ma>t adalah kedudukan seorang hamba dalam perjalannanya menuju Allah melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-Muja>hada>t), dan latihan-latihan rohaniah (ar-riya>dhah). Maqa>m (jamaknya Maqa>mat) yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, tawakal, Mah}abbah, dan ma’rifat.
2.        Sedangkan h}al adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai Maqa>m tertentu. Maqa>m dengan h}al adalah dua h}al yang tidak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dalam mata uang. Keterkaitannya dapat dilihat dalam kenyatan bahwa Maqa>m menjadi prasyarat menuju Tuhan, dan dalam Maqa>m akan ditemukan kehadiran h}al. H}al yang telah ditemukan dalam Maqa>m akan mengantarkan seseorang untuk mendaki Maqa>m-Maqa>m selanjutnya. Secara garis besar, h}al yang dijumpai oleh para sufi seperti Muha>sabah dan Mura>qabah, Raja’ dan Khauf, shauq, uns, tuma’ninah, musha>hadah dan yaqin.
3.        Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial. kesucian qalb sebagai prasyarat berdialog secara batini dengan Tuhan. Untuk itu, disamping melalui tahapan-tahapan Maqa>ma>t dan h}al, untuk memperoleh ma’rifat harus melalui upaya-upaya tertentu, yaitu,: riya>d}ah, tafakur, tazkiya>t an-nafs, dan dhikrullah.













DAFTAR PUSTAKA

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: PP Krapyak, 1996.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010`
A. S., Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf.  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Al-’Azim, Ali Abd. Falsafah al-Ma’rifah fi al-Qur’an al-Karim. Cairo: Al-Hai’ah al-’Ammah li al-Syu’un wa al-Matabi’ al-Amiriyah, 1973.

Faridh, Ahmad. Tazkiyat an-Nufus, Terj. Nabhani Idris. Bandung: Pustaka, 1989.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n Jilid IV. Kairo: Dar Tsaqafah Islamiyah, 1961.

_______. Muh}tas}ar Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n , Terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 1997.

_______. Risalah Al-Laduniyah Dalam Qushur Al-‘Awali Jilid I. Mesir: Maktabah Al-Jundi, 1970.

_______. Al-Munqidh Min Ad}-D{h}alal .  Kairo: Silsilah Ath-Thaqafah Al-Islamiyah, 1961.

Al-Qusyairy, Abi al-Qasim . al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘ilmi al tasawwuf. Mesir: Dar al Khair, 1959

Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

al Sarraj, Abu Nashr. al-Luma’, terj. Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002.

At Taftazani, Abu al Wafa` al-Ghanimi. Madkh}al Ila al-Tashawwuf al-Islam. Terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Ath-Thusi, Abi Nashr As-Siraj. Al-Luma’. Ditahqiq oleh Abdul H}alim Mahmud dan Thaha Abd. Baqi Surur. Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960.

Nasr, Sayyid Hosein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W. M. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.

Solihin, M. dan Rosihon Anwar. Ilmu tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Suhrawardi, Syihabuddin Umar. Awa>rif al-Ma’a>rif, Terj. Ilma Nugrahani Isma’il. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Tulaeka, Hamzah dkk. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Press, 2011

Ya’qub, Hamzah. Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin. Jakarta: Atisa, 1992.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.


[1] Abu al Wafa` al-Ghanimi At Taftazani, Madkhal Ila al-Tashawwuf al-Islam. Terj. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h. 35.
[2] Pendekatan-pendekatan rohaniah. Hal ini berbeda dengan pemahaman tariqat atau tarekat yang sudah melembaga atau berbentuk institusi, seperti Naqsabandiyah, tijaniyah, Satariyah dan lain sebagainya.
[3] Ada perbedaan antara iman secara aqliyah atau logis teoritis (al-iman al-aqli al-nadzari dan iman secara rasa (al-iman al-syu`uri al-dzauqi)
[4] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP Krapyak, 1996), h. 1786. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 362.
[5] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 126
[6] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 198.
[7] Hamzah Tulaeka dkk., Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 243.
[8] Ibid.
[9] Atabik Ali, Kamus kontemporer, h. 726.
[10] Abu Nashr al Sarraj, al-Luma’, terj. Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), h. 88.
[11] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 63
[12] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 198.
[13] Abi al-Qasim Al-Qusyairy al-Naisabury, al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘ilmi al tasawwuf, (Mesir: Dar al Khair, 1959), h. 57.
[14] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 88.
[15] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 199.
[16] Contohnya, sesorang yang tengah berada dalam maqam tobat akan menemukan hal (perasaan) betapa indahnya bertobat dan betapa nikmatnya menyadari dosa-dosa di hadapan Tuhan. Perasaan ini akan menjadi benteng agar tidak melakukan kembali dosa-dosa tersebut.
[17] al-Naisabury, al-Risalah al-Qusyairiyah, h. 91.
[18] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 90.
[19] Al-Ghazali, Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n Jilid IV(Kairo: Dar Tsaqafah Islamiyah, 1961), 10-11
[20] Ibid. 91.
[21] Ibid., h. 95.
[22] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, terj. Moh. Zuhri dkk, (Semarang: Asy Syifa’, 1995), 236.
[23] M.Solihin dan Rosihon Anwar. Ilmu tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 79
[24] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 96.
[25] Ibid., 99.
[26] M. Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 80
[27] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 101.
[28] Yunus, Kamus Arab, h. 184
[29] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, h. 185
[30] Al-Ghazali, Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n, h. 59.
[32] Ahmad Faridh, Tazkiyat an-Nufus, Terj. Nabhani Idris (Bandung: Pustaka, 1989), h. 166`
[33] Abi Nashr As-Siraj Ath-Thusi. Al-Luma’. Ditahqiq oleh Abdul Halim Mahmud dan Thaha Abd. Baqi Surur (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960), 278
[34] Al-Ghazali, Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n, h. 322.
[35] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 202.
[36] Asmaran AS.,Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 122.
[37] Hamzah Tulaeka dkk., Akhlak Tasawuf, h. 255.
[38] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 86.
[39] Asmaran AS.,Pengantar Studi Tasawuf, h. 135.
[40] Ibid., h. 134.
[41] Ali Abd. Al-’Azim, Falsafah al-Ma’rifah fi al-Qur’an al-Karim (Cairo: Al-Hai’ah al-’Ammah li al-Syu’un wa al-Matabi’ al-Amiriyah, 1973), h. 287
[42] Al-Ghazali, Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n, h. 340.
[43] Ibid., h. 346.
[44] Syihabuddin Umar Suhrawardi, Awa>rif al-Ma’a>rif, Terj. Ilma Nugrahani Isma’il (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 185
[45] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 204.
[46] Faridh, Tazkiyat an-Nufus, h. 191.
[47] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 205.
[48] Tuma’ninah dibedakan menjadi tiga (tiga) macam, yaitu pertama ketenangan bagi orang awam; kedua, ketenangan bagi orang khusus; ketiga, ketenangan golongan yang paling khusus. Lihat Al-Sarraj, al-Luma’, h. 140.
[49] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 146.
[50] Orang yang bermusyahadah dibedakan menjadi tiga kondisi; pertama, kelompok pemula, yaitu para murid. Mereka menyaksikan sesuatu dengan mata penuh ibrah dan mata pikir. Kedua, kelompok menengah, yaitu semua makhluk yang ada dalam genggaman al-Haq dan menjadi miliknya. Sehingga ketika terjadi musyahadah antara Allah dengan hamba-Nya, maka tidak ada lagi yang tersisa dalam rahasia hati dan imajinasinya kecuali Allah. Ketiga, kelompok yang hatinya menyaksikan Allah dengan kesaksian yang menetapkan. Sehingga mereka menyaksikan-Nya dengan segala sesuatu, dan menyaksikan yang wujud (alam) dengan-Nya. Mereka menyaksikan Allah secara lahir dan batin, secara batin dan lahir, awal dan akhir, akhir dan awal.
[51] Ibid., 141.
[52] Ibid., 145.
[53] Ibid., h. 146.
[54] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 206.
[55] Ibid., 208.
[56] Al-Ghazali, Risalah Al-Laduniyah Dalam Qushur Al-‘Awali Jilid I (Mesir: Maktabah Al-Jundi, 1970), h. 122
[57] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 210.
[58] Al-Ghazali, Al-Munqid} Min Ad}-D{halal (Kairo: Silsilah Ath-Thaqafah Al-Islamiyah, 1961), h. 54
[59] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 211.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar