KERANGKA BERFIKIR IRFANI:
DASAR-DASAR FALSAFI AH}WA<L DAN MAQA>MAT
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Islam merupakan agama
yang lengkap, tidak hanya berorientasi pada aspek akhirat saja, tetapi juga
mengatur aspek dunia. Diskurus Islam juga dikaji secara normatif (teks-ajaran)
dan historis. Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai
yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan
kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai
perkembangan pemikiran keislaman melalui naskah-naskah yang dihasilkan oleh
para ulama terdahulu menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan,
mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam
dan diantara tema yang banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah
tentang tasawuf.
Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus
dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam Islam. Adapun tujuan tasawuf ialah
memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan. Dalam islam kita mengenal
beberapa aliran tasawuf, diantaranya aliran tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan
Tasawuf Falsafi.
Diskursus tasawuf tidak
bisa dilepaskan tentang ketuhanan (al-ma’arif
al-Ilahiyah). Biasanya pengetahuan tersebut tidak menggunakan ilmu dan
pembuktian ilmiah, tetapi dengan jalan penyaksian esoterik. Hal ini menunjukkan
pentingnya hati manusia agar dapat menyingkap tirai dan menangkap hakikat.
Dengan hati yang suci, seseorang dapat melihat esensi ketuhanan, asma-asma-Nya,
dan sifat-sifat-Nya.
Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi memiliki suatu
konsepsi tentang jalan menuju Allah (thariqat).
Jalan ini dimulai dengn latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal
dengan Maqa>m (tingkatan) dan h}al (keadaan), yang berakhir dengan
ma’rifat kepada Allah.[1] Kerangka
sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tetentu yang
disebut tariqat[2]
dalam rangka mencapai ma’rifat. Wilayah atau lingkup perjalanan menuju ma’rifat
ini yang berlaku dikalangan sufi disebut sebagai kerangka ‘irfani. Dalam
tasawuf, manusia akan mengetahui Allah dengan melakukan perjalanan. Apabila
belum melakukan perjalanan menuju Allah, maka sangat sulit untuk mencapainya,
meskipun manusia tersebut beriman secara aqliyah.[3]
Lingkup ‘irfani dalam
rangka mencapai ma’rifat harus melalui proses yang panjang. Dalam konteks
tasawuf, proses ini dinamakan sebagai Ah}wa>l
(jamak dari h}al) dan Maqa>mat
(jamak dari Maqa>m). Berdasarkan
pemaparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang Ah}wa>l dan Maqa>mat
serta kerangka berfikir atau metode ‘irfani.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana
Maqa>mat dalam tasawuf?
2. Bagaimana
Ah}wa>l dalam perjalanan kaum sufi?
3. Bagaimana
Kerangka berfikir `irfani?
3. Tujuan
Adapun tujuan makalah
ini adalah:
Dalam maklah ini, penulis merumuskan beberapa persoalan, yaitu:
1. Untuk
mengetahui Maqa>mat dalam tasawuf.
2. Untuk
mengetahui Ah}wa>l dalam
perjalanan kaum sufi.
3. Untuk
mengetahui Kerangka berfikir `irfani.
B. Maqa>mat dan Ah}wal
1. Pengertian Maqa>mat
Maqa>mat merupakan jamak dari kata Maqa>m, secara bahasa berarti tempat
berpijak atau pangkat yang mulia.[4]
Sedangkan dalam ilmu tasawuf, Maqa>mat
berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah
diusahakannya, baik melalui riyadlah, ibadah, maupun mujahadah.[5]
Maqa>m adalah tingkatan, artinya tingkatan
seorang hamba di hadapan-Nya dalam h}al ibadah
dan latihan-latihan (riyadhah) jiwa
yang dilakukannya.[6] Maqa>m dilalui
seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlh
kwajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak
akan mencapai Maqa>m berikutnya,
sebelum menyempurnakan Maqa>m
sebelumnya.[7]
Dalam kalangan sufi, urutan Maqa>m
ini berbeda-beda. Sebagian mereka merumuskan Maqa>m dengan sederhana seperti, tanpa qanaah, tawakal tidak akan tercapai; tanpa tawakal , taslim tidak
akan tercapai; sebagaimana tanpa tobat, inabah
tidak akan ada; tanpa wara’, zuhud tidak akan ada.
Al-Ghazali
merumuskan Maqa>m seperti berikut
ini: tobat, sabar, syukur, khauf, raja’, tawakkal, mahabbah, ridla,
ikhlas, muhasabah, dan muraqabah.
Al-Kalabadzi seperti dikutip Rosihon Anwar menyebutkan Maqa>m yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual, yaitu
taubat, al zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al khauf, al-taqwa, al-tawakkal,
al-ridha, yakin, zikir, uns, qarb dan mahabbah, dan al-ma’rifah.[8]
2. Pengertian Ah}wal
Secara bahasa, Ah}wa>l merupakan jamak dari h}al yang berarti keadaan sesuatu
(keadaan rohani).[9]
Menurut Syeikh Abu Nashr al Sarraj, h}al adalah
sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak
mampu bertahan lama.[10]
Sedangkan Harun Nasution mengartikan bahwa h}al
sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan
takut dan sebagainya.[11]
Dari beberapa defenisi tersebut, yang dimaksud
dengan h}al adalah keadaan atau
kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai tingkatan tertentu.[12] Al-Qusyairi
dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah,
berkata, h}al adalah makna yang
datang pada qalbu tanpa disengaja. H}al diperoleh
tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa
tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap.
[13] H}al tidak bisa diperoleh lewat cara
perjuangan spiritual, ibadah, pelatihan spiritual sebagaimana yang biasa
dilakukan dalam Maqa>mat. Akantetapi h}al adalah seperti muraqabah, qurbah,
mahabah, khauf, dan lain-lain.[14]
Apabila Maqa>m diperoleh dengan
daya dan upaya, maka h}al akan datang
dengan sendirinya. Orang yang meraih Maqa>m
dapat tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih h}al justru akan mudah lepas dari
dirinya.[15]
Antara Maqa>m dan h}al tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antara keduanya dapat
dapat dilihat dalam kenyataan bahwa Maqa>m
menjadi prasyarat menuju Tuhan, bahwa dalam Maqa>m
akan ditemukan kehadiran h}al. Sebaliknya, h}al
yang telah ditemukan dalam Maqa>m
akan mengantarkan seseorang untuk mendaki Maqa>m
selanjutnya.[16]
3. Maqa>m-Maqa>m Dalam Tasawuf
Seperti
disinggung diatas bahwa Maqa>m
(jamaknya Maqa>mat) yang dijalani
kaum sufi umumnya terdiri dari tobat, zuhud,
faqr, sabar, syukur, rela, tawakal, Mah}abbah, dan ma’rifat.
a. Tobat
Abu Ya’qub
Yusuf bin Hamdan al Susi berkata kedudukan spiritual (Maqa>m) pertama dari beberapa Maqa>m spiritual adalah tobat. Hakikat tobat secara bahasa
adalah kembali.[17]
Tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (syari’at) untuk
menuju pada apa yang dipuji oleh ilmu.[18]
Tobat adalah rasa penyesalan
yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala
perbuatan yang menimbulkan dosa. Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai
perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat terendah , tobat menyangkut
dosa yang dilakukan anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, selain
menyangkut dosa yang dilakukan jasad juga menyangkut pula pangkal dosa-dosa,
seperti iri, dengki, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut
usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada
tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam
mengingat Allah.[19] Tobat
pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat
memalingkan dari jalan Allah. Menurut al Sarraj, ada dua tipe hamba yang bertobat, pertama orang yang bertobat dari segala
dosa dan kesalahan. Sedangkan kedua,
orang yang bertobat dari kegelinciran dan kelalaian, dan bertobat dari melihat
kebaikan dan ketaatan yang ia lakukan. Sehingga tobat akan mengharuskan wara’.[20]
b. Zuhud
Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap ketergantungan kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Zuhud merupakan tapak kaki
awal bagi mereka yang hendak menuju Allah, yang mencurahkan segala-galanya
hanya untuk Allah, yang ridla dengan segala ketentuan dan mereka yang
bergantung (tawakal) kepada Allah.[21]
Al-Ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan pada dunia
untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Sekarang kami mempersingkat
pada keutamaan dunia, karena membenci dunia itu termasuk yang dapat
menyelamatkan dari siksaan.[22]
Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu
sikap menerima rezeki yang diterimanya. Hasan al-Bashri mengatakan zuhud adalah meninggalkan kehidupan
dunia, karena dunia ini tidak ubahnya seperti ular , licin apabila dipegang,
tetapi racunnya dapat membunuh. [23]
Dilihat dari maksudnya, zuhud
terbagi atas tiga tingkatan. Pertama, menjauhkan dunia ini agar terhindar
dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhkan dunia dengan menimbang imbalan di
akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi
karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat ketiga ini akan
memandang segala sesuatu tidak ada arti apa-apa kecuali Allah.[24]
c. Faqr
(Fakir)
Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak
dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki,
sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir
hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Ibrahim bin
Ahmad al-Khawwash berkata, “kefakiran itu selendang kemuliaan, pakaian para
rasul, jubah orang-orang saleh, mahkota orang-orang yang bertakwa, perhiasan
orang-orang mukmin, harta jarahan perang orang-orang arif, harapan para murid,
benteng orang-orang yang taat, penjara orang-orang yang berdosa, penghapus
kejelekan, pelipatganda kebaikan, pengangkat derajat, penyampai pada tujuan,
ridla-Nya, kemuliaan bagi orang-orang baik yang menjadi wali-Nya.[25]
Sikap fakir selanjutnya akan
memunculkan sikap wara’. Menurut para
sufi, wara’ adalah sikap berhati-hati ddalam menghadapi sesuatu yang kurang
jelas masalahnya. Apabila bertemu dengan satu
persoalan yang tidak jelas hukumnya atau tidak jelas asal-usulnya lebih
baik untuk meninggalkannya.[26]
Orang-orang
fakir memiliki tiga tingkatan: pertama,
orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apapun kepada seseorang,
baik secara lahir maupun batin. Kedua,orang
yang tidak memiliki apapu , namun ia tidak meminta siapapun, tidak mencari, dan
juga tidak memberi isyarat atas kefakirannya. Ketiga, orang yang tidak memiliki apa-apa. Jika ia membutuhkan
sesuatu ia akan mengungkapkannya kepada sebagian temannya yang ia kenal, dan ia
merasa senang mengungkapkannya. Maka penebus permintaannya adalah sedekah.[27]
d. Sabar
Sabar secara
bahasa berarti tabah hati.[28]
Sedangkan secara istilah adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan
konsekuen dalam pendirian.[29]
Sabar ialah tahan menderita, berhati-hati atau selektif dalam bertindak. Sabar jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu
dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik
disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani).[30] Kesabaran
sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu makan dan
seks yang berlebihan.
e. Syukur
Syukur
adalah menerima nikmat dengan membesarkan Allah SWT. Syukur diperlukkan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia
adalah berkat karunia Allah. Menurut Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat
syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah Pemilik karunia dan pemberian
sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh
kepada syariat-Nya. Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga
macam, pertama dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa
tenang. Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara
melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah-Nya. Ketiga,syukur dengan hati.[31]
f. Rela (Rida)
Rida berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah
SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang
diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Hanyalah para
ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti
ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran
jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.[32]
Menurut
Abdul H}alim Mahmud, rida mendorong
manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan
akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.[33]
g. Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT,[34] membersihkannya
dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan
ketentuan. Tawakal merupakan gambaran keteguhan
hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam h}al ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan
bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.[35]
Abu Ali Daqaq
mengatakan bahwa tawakkal terdiri dari tiga tingkatan yaitu:
a. Tawakkal,
yaitu hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan Allah. Tawakkal ini
merupakan Maqa>m bidayah, yakni sifat bagi orang mukmin yang awam.
b. Taslim,
merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui
tentang keadaan dirinya. Sikap seperti ini merupakan Maqa>m mutawasit},
yang menjadi sifat orang khawas.
c. Tafwit,
yaitu orang yang telah rida menerima ketentuan/takdir Allah. Sikap seperti ini
adalah sikap orang yang sudah mencapai Maqa>m
nihayah yakni orang-orang muwahhidin, seperti Nabi Muhammad SAW.[36]
Tanda-tanda tawakal ada tiga: 1.
Menyingkirkan sikap ketergantungan; 2. Menghilangkan bujukan yang berkaitan
dengan tabiat; 3. Berpedoman pada kebenaran dalam mengikuti tabiat.[37]
h. Mah}abbah
Pengertian yang diberikan kepada
mahabbah antara lain:
a. Mencintai
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya;
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi (Tuhan);
c. Mengosongkan
hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi.
Ath-Thusi membagi mahabbah
menjadi 3 tingkatan, yaitu:
a. Mah}abbah
Biasa, munculnya karena kebaikan Allah kepada seorang hamba. Mahabbah
(cinta) ini diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang
kekasih seiring dengan mengingat asma-Nya secara terus-menerus. Sebab siapa
yang mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
b. Mah}abbah
S}adiqi>n, yaitu membersit karena pengenalan yang mendalam atas
kebesaran, ilmu, dan kekuasan Allah.
c. Mah}abbah
’An, yaitu cinta hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam
cinta seperti ini, yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai.[38]
i. Ma’rifat
Makrifat dalam
pengertian sufisme adalah gnosis dari teosufi hellenistik, yaitu pengetauan
langsung dari Tuhan berdasarkan ilham atau petunjuk-Nya. Menurut Dzun Nun
Al-Mishri, ada tiga macam ma’rifat, yaitu:
a. Ma’rifat
orang awam, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat
dan taqlid.
b. Ma’rifat para
mutakallimi>n dan filosof, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan
melalui logika dan penalaran.
c. Ma’rifat para awliya>’
dan muqarrabi>n, yakni mengenali keesaan Tuhan dengan perantaraan
sanubari atau kalbu.[39]
Menurut Dzun
Nun Al-Mishri dan beberapa sufi-sufi yang lain, ma’rifah dalam arti yang
pertama dan kedua belum merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan.
Keduanya disebut ’ilm, bukan ma’rifat. Ma’rifat dalam arti ketigalah
yang merupakan pengenalan hakiki tentang Tuhan, dan inilah yang disebut
ma’rifat, yakni pengenalan yang tertinggi dan meyakinkan. Ma’rifat ini
diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi karena ilham yang
dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hambaNya, sehingga ia
mengenali Tuhannya dengan Tuhannya.
Dengan
demikian, ma’rifat hanya terdapat pada para awliya>’ dan muqarrabi>n
atau para sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan sanubari mereka. Pengenalan
seperti ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Dengan kata lain, ma’rifat
dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan
cahaya. Ketika Dzun Nun ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan,
ia menjawab: ”Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan; dan sekiranya tidak karena
Tuhan, aku tidak akan mengenal Tuhan.”[40]
Ungkapan Dzun Nun ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh sebagai
hasil usaha, tetapi adalah pemberian Tuhan. Ma’rifat bukan hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak dan
rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian dari Tuhan kepada sufi yang siap dan
sanggup menerimanya. Ali abd. Al-’Azim mengatakan: ”Kaum sufi sependapat bahwa
ma’rifat yang hakiki hanya di dapat melalui hati sanubari yang mendapat ilham
(al-basirah al-mulhamah), bukan melalui akal dan juga bukan melalui
indera.[41]
4. Ah}wa>l Yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi
Sebagaimana
telah disinggung bahwa h}al-h}al (Ah}wal) sering dijumpai dalam
perjalanan kaum sufi. Dibawah ini adalah h}al-h}al yang sering dijumpai dalam perjalanan sufi:
1. Waspada dan Mawas Diri (Muha>sabah dan Mura>qabah)
Waspada (muhasabah)
dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan
rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk
kepada Allah.[42] Adapun
mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan
sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.[43]
Waspada dan
mawas diri merupakan dua h}al yang
saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara
bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam
menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan
amarah.
2. Cinta (h}ubb)
Dalam pandangan
tasawuf, mah}abbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan h}al, sama seperti
tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan Maqa>m. Karena mahabbah
pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap h}al.
Kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawa>hib). Mahabbah
adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.[44]
Kondisi
spiritual (h}al) hubb bagi seorang hamba adalah melihat dengan kedua
matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya.
Ia melihat kedekatan Allah dengannya, segala perlindungan, penjagaan, dan
perhatian yang dilimpahkan kepadanya. Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya,
ia melihat perlindungan (inayah), petunjuk (hidayah), dan
cinta-Nya yang tercurahkan kepadanya, yang seluruhnya sudah ditetapkan sejak
zaman azali. Oleh karena itu, ia mencintai Allah.
3. Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan
kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Raja’ berarti berharap atau optimisme, yakni perasaan
senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’
menuntut tiga perkara, yaitu:
a.
Cinta kapada apa yang diharapkannya.
b.
Takut harapannya itu akan hilang
c.
Berusaha untuk mencapainya[45]
Raja’ yang
tidak dibarengi oleh 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Khauf
menurut ahli sufi adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena
khawatir kurang sempurna pengabdiannya. Dalam hubungan ini Al-Ghazali membagi
khauf membagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, khauf karena khawatir
kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan
menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan kedua, khauf karena siksaan
sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa
yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.
4. Rindu (Syauq)
Selama masih
ada cinta, syauq tetap diperlukan.[46]
Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur,
yakni rasa rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan
bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya
dari pada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti bertemu
dengan Tuhan, sedangkan hidup merintangi pertemuan ’abid dengan ma’budnya.
5. Intim (Uns)
Menurut
pandangan kaum sufi, uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah
merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns, ”Ada orang yang
merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya
sebab sedang dimabuk cinta, seperti h}alnya sepasang pemuda-pemudi. Ada pula
orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan
atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa
berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah,
srtinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.”[47]Ungkapan
di atas melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap
keintiman tersebut banyak dialami oleh kaum sufi.
6. T{uma’ninah
T{uma’ninah[48] adalah kondisi
spiritual yang tinggi. Dimana ia merupakan kondisi spiritual seorang hamba yang
akalnya kokoh, imannya kuat, ilmunya mendalam, dzikirnya jernih dan hakikatnya
tentancap kokoh.[49]
7. Musha>hadah
Musha>hadah[50] adalah kehadiran yang berarti
kedekatan yang dibarengi ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya. Amr bin Usman
al Maliki, seperti yang dikutip al Sarraj menyatakan bahwa musyahadah adalah
kegaiban yang ditemukan oleh hati dengan kegaiban yang tidak dijadikan sebagai
sesuatu yang terlihat dan tidak pula penghayatan hati nurani (wajd). Beliau juga mengatakan bahwa musyahadah adalah kesinambungan antara
penglihatan hati dengan penglihatan mata, karena penglihatan hati adalah
tersingkapnya keyakinan dalam bertambahnya dugaan. [51]
8. Yaqin (Keyakinan Sejati)
Yaqin ialah
mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling dan tidak berubah. Keyakinan
sejati ini tidak lain adalah mukasyafah (tersingkapnya apa yang ghaib).
Mukasyafah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Mukasyafah
ayan (tersingkapnya tutup mata) sehingga di hari kiamat nanti, ia melihat dengan mata kepala.
b. Mukasyafatul
qulub (tersingkapnya tutup hati) untuk memahami hakikat-hakikat keimanan
secara langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan
tidak bisa ditentukan.
c. Mukasyafatul ayat
(tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya) dengan ditampakkannya kekuasaan Allah
kepada para nabi dengan mukjizat dan untuk selain para Nabi, dengan karamah
(kemuliaan) dan dikabulnya do’a.[52]
Keyakinan
sejati merupakan kondisi spiritual yang tinggi. Para pelakunya dibedakan
menjadi tiga kondisi:
a. Kelas
pemula, yakni para murid dan orang awam
b. Kelas
menengah, yakni orang-orang khusus yang keyakinannya kontinuitas sepanjang
waktu dalam menghadapi rintangan.
c. Kelompok
para pakar (para elit sufi). Mereka adalah kelompok yang paling khusus.
Sifat-sifatnya sebagaimana yang dikatakan Amr bin Utsman Al-Makki, ”keyakinan
sejati secara global adalah menetapkan keyakinan kepada Allah dengan segala
sifatnya.”[53]
C. Metode Irfani
Potensi untuk memperoleh ma’rifat
sesungguhnya telah ada pada manusia. Untuk
memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial.[54] Qalb
merupakan tempat pengetahuan tentang tentang hakikat-hakikat, termasuk di
dalamnya hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah
hati yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering
dilakukan manusia. Karena qalb merupakan bagian dari jiwa, kesucian jiwa
sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Ma’rifat tidak dimiliki sembarang orang, melainkan hanya dimiliki orang-orang
yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya. Untuk itu disamping
melalui tahapan-tahapan Maqa>mat dan ah}wa>l, untuk
memperoleh ma’rifat, seseorang harus melakukan upaya-upaya tertentu, yaitu:
1. Riya>d}ah
Riya>d}ah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan
h}al-h}al yang mengotori jiwanya. Riya>d}ah dapat pula berarti
internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan
meninggalkan sifat-sifat jelek.[55] Riya>d}ah harus disertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam usaha untuk
meninggalkan sifat-sifat buruk. Riya>d}ah perlu dilakukan untuk
memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan
kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus. H}al
terpenting dalam riya>d}ah adalah melatih jiwa melepaskan
ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan
diri dengan realitas rohani dan ilahi.
2. Tafakur
Tafakur penting dilakukan untuk menuju ma’rifat, karena ketika jiwa belajar dan
mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisisnya, pintu
kegaiban akan dibukakan untuknya. Tafakur dilakukan dengan memotensikan nafs
kulli (jiwa universal).[56]
Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya
sebab memotensikan nafs kulli, seperti yang di ungkapkan al-Ghazali, ”Nafs
Kulli (jiwa universal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar
kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.” nafs kulli mempunyai
fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat.
Alasannya, ilmu yang dihasilkan melalui penggunaan nafs kulli lebih
bersifat universal, tidak parsial. Untuk memfungsikan nafs kulli,
kegiatan tafakur mempunyai peranan yang sangat penting.
3. Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat An-Nafs adalah proses
penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat
dilakukan melalui tahapan takh}alli dan tah}alli.[57]
Para sufi adalah orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwanya.
Perwujudannya adalah rasa butuh terhadap Tuhannya. Ada lima h}al yang menjadi pengh}alang jiwa dalam
menangkap hakikat yaitu: jiwa yang belum sempurna, jiwa yang dikotori perbuatan
maksiat, manuruti keinginan badan, penutup yang mengh}alangi masuknya hakikat
dalam jiwa (taqlid), dan tidak dapat berpikir logis. Tazkiyat an-nafs
dalam konsepsi tasawuf berdasar asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin,
sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materil. Kegiatan mengetahui ibarat
cermin yang menangkap gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan
jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersian cermin yang bersangkutan.
4. Dhikrullah
Dhikrullah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah.
Pentingnya dhikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas
argumentasi tentang peranan dhikir itu sendiri
bagi hati. Dalam Al-Munqid}, Al-Ghazali menjelaskan bahwa dhikir
kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang
menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain
Allah, sedangkan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dhikir
kepada Allah.[58]
Dalam pandangan sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, kunci
pembuka alam gaib, penarik kebaikan, penjinak was-was, dan pembuka kewalian.[59] Dhikir juga berfungsi untuk mendatangkan ilham, mengh}alangi ruang gerak setan
sehingga setan pergi menjauh dari hati manusia. Di saat itulah, malaikat memberikan ilham kepada hati.
D. Kesimpulan
1.
Maqa>ma>t adalah kedudukan seorang hamba
dalam perjalannanya menuju Allah melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan
(al-Muja>hada>t), dan latihan-latihan rohaniah (ar-riya>dhah).
Maqa>m (jamaknya Maqa>mat) yang dijalani kaum sufi
umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr,
sabar, syukur, rela, tawakal, Mah}abbah, dan ma’rifat.
2.
Sedangkan h}al adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang
sufi mencapai Maqa>m tertentu. Maqa>m dengan h}al adalah
dua h}al yang tidak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dalam mata uang.
Keterkaitannya dapat dilihat dalam kenyatan bahwa Maqa>m menjadi
prasyarat menuju Tuhan, dan dalam Maqa>m akan ditemukan kehadiran h}al.
H}al yang telah ditemukan dalam Maqa>m akan mengantarkan
seseorang untuk mendaki Maqa>m-Maqa>m selanjutnya. Secara garis
besar, h}al yang dijumpai oleh para
sufi seperti Muha>sabah dan Mura>qabah, Raja’ dan Khauf, shauq, uns, tuma’ninah, musha>hadah dan yaqin.
3.
Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi
esensial. kesucian qalb sebagai prasyarat berdialog secara batini dengan
Tuhan. Untuk itu, disamping melalui tahapan-tahapan Maqa>ma>t dan h}al,
untuk memperoleh ma’rifat harus melalui upaya-upaya tertentu, yaitu,: riya>d}ah,
tafakur, tazkiya>t an-nafs, dan dhikrullah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia.
Yogyakarta: PP Krapyak, 1996.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010`
A. S., Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Al-’Azim, Ali Abd. Falsafah al-Ma’rifah fi al-Qur’an al-Karim.
Cairo: Al-Hai’ah al-’Ammah li al-Syu’un wa al-Matabi’ al-Amiriyah, 1973.
Faridh, Ahmad. Tazkiyat an-Nufus, Terj. Nabhani Idris. Bandung:
Pustaka, 1989.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya> ‘Ulu>m
al-Di>n Jilid IV. Kairo: Dar Tsaqafah Islamiyah, 1961.
_______. Muh}tas}ar Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n , Terj. Irwan Kurniawan.
Bandung: Mizan, 1997.
_______. Risalah Al-Laduniyah Dalam Qushur Al-‘Awali Jilid I. Mesir:
Maktabah Al-Jundi, 1970.
_______. Al-Munqidh Min Ad}-D{h}alal . Kairo: Silsilah Ath-Thaqafah Al-Islamiyah, 1961.
Al-Qusyairy,
Abi al-Qasim . al-Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘ilmi al tasawwuf. Mesir: Dar al Khair, 1959
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
al
Sarraj, Abu Nashr. al-Luma’, terj.
Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
At Taftazani, Abu al Wafa` al-Ghanimi. Madkh}al Ila al-Tashawwuf al-Islam.
Terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Ath-Thusi, Abi
Nashr As-Siraj. Al-Luma’. Ditahqiq oleh Abdul H}alim Mahmud dan Thaha
Abd. Baqi Surur. Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960.
Nasr, Sayyid Hosein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W. M. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Solihin, M. dan Rosihon
Anwar. Ilmu tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Suhrawardi, Syihabuddin Umar. Awa>rif al-Ma’a>rif, Terj. Ilma
Nugrahani Isma’il. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Tulaeka,
Hamzah dkk. Akhlak Tasawuf. Surabaya:
IAIN SA Press, 2011
Ya’qub, Hamzah. Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin. Jakarta: Atisa, 1992.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
[1]
Abu al Wafa` al-Ghanimi At Taftazani, Madkhal Ila
al-Tashawwuf al-Islam. Terj. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h.
35.
[2]
Pendekatan-pendekatan rohaniah. Hal ini berbeda dengan
pemahaman tariqat atau tarekat yang sudah melembaga atau berbentuk institusi,
seperti Naqsabandiyah, tijaniyah, Satariyah dan lain sebagainya.
[3]
Ada perbedaan antara iman secara aqliyah atau logis teoritis
(al-iman al-aqli al-nadzari dan iman
secara rasa (al-iman al-syu`uri
al-dzauqi)
[4]
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP Krapyak, 1996), h. 1786. Lihat
juga Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1990), h. 362.
[6]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 198.
[11] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 63
[13] Abi al-Qasim Al-Qusyairy
al-Naisabury, al-Risalah al-Qusyairiyah
fi ‘ilmi al tasawwuf, (Mesir: Dar al Khair, 1959), h. 57.
[16] Contohnya, sesorang yang tengah
berada dalam maqam tobat akan menemukan hal (perasaan) betapa indahnya bertobat
dan betapa nikmatnya menyadari dosa-dosa di hadapan Tuhan. Perasaan ini akan
menjadi benteng agar tidak melakukan kembali dosa-dosa tersebut.
[18] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 90.
[25] Ibid., 99.
[26] M. Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 80
[27] Al-Sarraj, al-Luma’, h. 101.
[28] Yunus, Kamus Arab, h. 184
[29] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, h. 185
[31] http://elzuhriyah.blogspot.co.id/2012/05/maqamat-dan-ahwal-dalam-kerangka.html
diakses 10 April 2016.
[33] Abi Nashr As-Siraj Ath-Thusi. Al-Luma’. Ditahqiq oleh Abdul Halim
Mahmud dan Thaha Abd. Baqi Surur (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960), 278
[41] Ali Abd.
Al-’Azim, Falsafah al-Ma’rifah fi al-Qur’an al-Karim (Cairo: Al-Hai’ah
al-’Ammah li al-Syu’un wa al-Matabi’ al-Amiriyah, 1973), h. 287
[44] Syihabuddin
Umar Suhrawardi, Awa>rif al-Ma’a>rif, Terj. Ilma Nugrahani Isma’il
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h.
185
[48] Tuma’ninah dibedakan menjadi
tiga (tiga) macam, yaitu pertama
ketenangan bagi orang awam; kedua,
ketenangan bagi orang khusus; ketiga, ketenangan
golongan yang paling khusus. Lihat Al-Sarraj, al-Luma’, h. 140.
[50] Orang yang bermusyahadah
dibedakan menjadi tiga kondisi; pertama,
kelompok pemula, yaitu para murid. Mereka menyaksikan sesuatu dengan mata penuh
ibrah dan mata pikir. Kedua, kelompok
menengah, yaitu semua makhluk yang ada dalam genggaman al-Haq dan menjadi
miliknya. Sehingga ketika terjadi musyahadah antara Allah dengan hamba-Nya,
maka tidak ada lagi yang tersisa dalam rahasia hati dan imajinasinya kecuali
Allah. Ketiga, kelompok yang hatinya
menyaksikan Allah dengan kesaksian yang menetapkan. Sehingga mereka
menyaksikan-Nya dengan segala sesuatu, dan menyaksikan yang wujud (alam)
dengan-Nya. Mereka menyaksikan Allah secara lahir dan batin, secara batin dan
lahir, awal dan akhir, akhir dan awal.
[51] Ibid., 141.
[52] Ibid., 145.
[53] Ibid., h. 146.
[54] Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 206.
[56] Al-Ghazali, Risalah
Al-Laduniyah Dalam Qushur Al-‘Awali Jilid I (Mesir: Maktabah Al-Jundi,
1970), h. 122
[58] Al-Ghazali, Al-Munqid} Min
Ad}-D{halal (Kairo: Silsilah Ath-Thaqafah Al-Islamiyah, 1961), h. 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar