Minggu, 25 September 2016

GERAKAN OPOSISI TERHADAP BANI UMAYYAH



GERAKAN OPOSISI TERHADAP BANI UMAYYAH

A.    Pendahuluan
A.A. Fzee dalam Islamic Culture merumuskan bahwa kebudayaan Islam ialah semua produk budaya yang dihasilkan di bawah naungan bantuan pemerintah Muslim,[1] sementara Nourouzzaman Shiddiqi menyatakan bahwa kebudayaan Islam ialah satu sikap khusus yang berangkat dari dasar ajaran Islam.[2] Batasan kebudayaan atau peradaban Islam, menurut Clive Bell dan Koentjoroningrat mengatakan bahwa kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization) adalah semakna. Kedua kata itu mengandung arti yang sama.[3]
Dalam konteks politik, sebagai bagian dari kebudayaan Islam, mengalami perubahan sistem dan bagaimana cara menduduki kekuasaan. Hal ini sangat menarik untuk dikaji, karena diakui maupun tidak, salah satu yang menjadi sebab munculnya perbedaan pendapat dan melahirkan beberapa kelompok keagamaan disebabkan oleh politik. Dalam bukunya, Adonis menjelaskan bahwa "persoalan imamah atau kekhalifahan (kepemimpinan) menjadi fokus utama dan dasar perselisihan di kalangan kaum muslimin semenjak nabi meninggal. Fakta bahwa nabi tidak menunjuk seorang pun untuk menggantikannya dan tidak menetapkan system tertentu untuk suksesi menjadikan perselisihan itu semakin tajam dan kompleks. Demikian pula, dalam al-Qur'an tidak ada sistem tertentu, yang ada hanya ayat-ayat yang menegaskan bahwa persoalan umat Islam diselesaikan melalui musyawarah di antara mereka".[4]
Dalam makalah ini akan membahas tentang gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah yang diharapkan akan menemukan perspektif yang baru terhadap kekuasaan Bani Umayyah dan oposisinya.
B.     Gerakan Oposisi terhadap Bani Umayyah
Di masa pra Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim yang juga merupakan klan Quraisy. Bani Umayyah lebih berperan di dalam masyarakat Mekah. Mereka yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada para pengunjung Ka'bah, sementara Bani Hasyim merupakan orang-orang yang berekonomi sederhana. Ketika Islam datang dan berkembang serta nabi Muhammad merupakan seseorang dari Bani Hasyim, Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya terancam.[5]
Masa pemerintahan Bani Umayyah memang tidak berlangsung lama, tetapi pada masa ini terdapat adanya gerakan-gerakan oposisi-revolusioner, yang tidak mendapat peluang dan kesempatan yang cukup untuk lahir pada masa sebelumnya maupun sesudahnya. Dengan ini, maka masa tersebut merupakan masa yang paling subur bagi gerakan-gerakan oposisi. Ada beberapa aspek yang menjadi sebab gerakan oposisi tersebut muncul, yaitu:
  1. Aspek Sosial
Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus yang dekat dengan pusat kota-dan merupakan bekas bagian wilayah Bizantium telah membentuk gaya hidup mewah di kalangan keluarga para khalifah. Faktor ini turut memperlemah jiwa dan vitalitas keluarga dan anak-anak khalifah yang membuat mereka kurang sanggup memikul pemerintahan yang begitu besar. Disamping itu, faktor ini telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan orang-orang saleh. Bani Umayyah telah membentuk aristokrasi militer Arab yang kemudian menyusun keadaan social secara turun-temurun. Tentara Suriah adalah adalah jantung kekuatan militernya sebagai sumber kekuatan dan keamanan, mereka memperoleh bagian harta rampasan dan pajak yang ditumpahkan ke Damaskus sebagai hasil penjarahan. Hal ini telah menimbulkan kecemburuan di kalangan orang-orang Muslim Arab di Madinah, Mekah, dan Irak. Mereka memang dibebaskan dari membayar pajak yang dipikulkan oleh orang-orang muslim non Arab (MawªlÌ) dan non mslim. Kaum MawªlÌ juga mengeluh atas perlakuan pemerintah yang dipandang tidak sesuai dengan prinsip persamaan dalam Islam. Pada awal abad ke-8 (720 M) sentimen anti pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu: Muslim non Arab (MawªlÌ) yang mengeluh atas status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab.[6]
Pada pada 77 H., Muðarraf ibn MughÌrah melakukan pemberontakan, disusul pemberontakan Abdurrahman ibn al-'Ath'ath pada tahun 81 H. Beliau telah dibai'at oleh masyarakat untuk memegang kitab Allah dan tradisi Nabi-Nya, mencopot para pemimpin yang sesat dan memerangi mereka yang bejat. Pemebrontakan keduanya dipadamkan oleh al-Hajjaj. Pemberontakan Ibn al- 'Ath'ath mempertajam kecenderungan, yang dimulai oleh pemberontakan al-Mukhtªr, akan terjadinya perpecahan social dan pertarunngan kelasa antara kelompok dominan dan kelompok yang tertekan. Hal ini menjelaskan mengapa MawªlÌ  dan sebagian besar ahli al-Qur'an memiliki semangat yang besar dan ikut terlibat dalam perjuangan pemberontakan tersebut.[7]
  1. Aspek Politik
a. usain Ibnu Ali
usain Ibnu Ali adalah salah seorang dari sejumlah kecil orang-orang yang tidak membai'at kepada Yazid ketika Mu'awiyah masih hidup. Hal ini karena usain Ibnu Ali merasa dirinya bebas untuk melakukan tindakan pemberontakan terhadap Yazid ketika Mu'awiyah meninggal dunia.
Ketika Mu'awiyah wafat dan Yazid menjadi khalifah, usain berada di Madinah. Untuk itu, Yazid mengutus gubernur Madinah, al-Walid ibn 'Utbah untuk memberikan bai'at kepada Yazid. Hal ini sangat penting, karena posisi usain adalah oposisi. Tetapi usain tidak mau dan meninggalkan Madinah menuju Mekah dengan isteri dan kaum keluarganya. Di Mekah, usain mendapat undangan dari orang-orang Kufah dengan dijanjikan akan mengangkatnya sebagai imam dan membai'atnya. Untuk itu, usain mengirim Muslim ibn 'Aqil untuk menyelidiki kondisi Kufah dan ia mendapat sambutan yang meriah dari penduduk Kufah. Kemudian ia mengirim utusan kepada usain agar pergi ke Kufah.
Melihat Kufah seperti itu, maka Yazid mengganti gubernur Kufah (Nu'man) dengan 'Ubaidullah ibn Ziyad, gubernur Basrah. Dengan demikian, ia menjadi gubernur dua wilayah, yaitu Basrah dan Kufah. Ketika keadaan seperti itu, orang Kufah meninggalkan Muslim, sehingga ia tidak dapat tempat berlindung. Akhirnya, ia minta perlindungan kepada Hani' ibn Urwah, salah seorang pemimpin Kufah. Ibn Ziyad mengetahui hal itu dan mengirim pasukan untuk menangkap Muslim dan Hani'. Muslim dibunuh di Istana dan mayatnya dilemparkan ke khalayak ramai, sedangkan Hani' diseret ke tempat sampah, tempat di mana ia disalib dan dibunuh.
Sementara itu, usain tetap ingin pergi ke Kufah, meskipun beberapa sahabat seperti Abdullah ibn Abbas menasehatinya agar tidak pergi dari Hejaz. Sedangkan Abdullah ibn Zubair mendorong usain untuk pergi dari Hejaz ke Kufah.[8] Pada tahun 60 H., usain bersama keluarga, hamba sahaya serta pengikutnya pergi ke Kufah yang berjumlah 72 orang. Dalam perjalanan, ia mendengar kabar bahwa Muslim dibunuh, tetapi ia bersikukuh untuk datang ke Kufah untuk menuntut balas. Pada tahun 61 H., 'Ubaidullah ibn Ziyad telah mengkondisikan Kufah dan mengirim Al-usain ibn Tamim dan Al-Hurr ibn Yazid al-Tamimi yang diperintahkan supaya usain memilih antara dua hal, apakah ia suka minta berdamai dan menyerahkan kepada Ibn Ziyad, ataukah dibunuh. Ibn Ziyad memperkuat pasukannya dengan mengirim Umar ibn Sa'ad.[9]
Atas saran dari Shamir ibn Zil Jaushan, Ibn Ziyad mengirim surat kepada Umar bahwa jika usain tidak mau menyerah, maka Umar harus membunuhnya. Maka terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara usain dengan pasukan Umar. Akhirnya, usain dipukul tengkuknya oleh Zur'ah ibn Shuraik al-Tamimi sehingga pingsan dan Sinan ibn Anas menikam usain dengan Tombak dan dibunuh serta dipotong kepalanya. Kemuadian Sa'ad mennyuruh teman-temanya menyuruh teman-temannya untuk menginjak-injak tubuh usain sesuai perintah Ibn Ziyad. Yang terhindar dari bencana itu adalah Ali Zainal Abidin, adiknya Umar, bibinya yang bernama Zaenab dan dua orang saudara perempuannya, yaitu fatimah dan Sakinah.
b. Abdullah Ibn Zubair
Abdullah ibn Zubair dilahirkan di Madinah, dia adalah anak pertama dalam kalangan muhajirin di Madinah.  Ayahnya adalah Zubair ibn 'Awwam, salah seorang dari pahlawan yang terkenal di Jazirah Arab. Ia dibesarkan dalam rumah Rasulullah, sehingga ia seolah-olah telah menjadi anak kandung dari Aisyah. Tetapi lingkungan seperti itu tidak membentuk kepribadian yang baik, ia terkesan menuruti nalurinya yang berambisi menjadi pemimpin.
Begitu usain terbunuh, ia merasa yakin peluang menjadi khlaifah semakin terbuka dan ia menegaskan pemberontakannya terhadap Bani Umayyah. Gerakan itu tersebar luas, dan ia muncul sebagai orang penting, terlebih lagi ketika Yazid meninggal kira-kira 2 tahun setelah terbunuhnya usain. Setelah Yazid wafat, kekuasaan Bani Umayyah di Sham menjadi goncang. Ibn Zubair hanya berpangku tangan di Mekah, dan bai'at datang kepadanya dari sana-sini.
Ada beberapa hal yang perlu diterangkan mengenai kehidupan ibn Zubair, yaitu:
1.      Ibnu Zubair tidak mempunyai hubungan yang baik dengan orang-orang dekatnya. Bahkan saudaranya Amru menjadi musuhnya dengan menjadi panglima pasukan Umayyah.
2.      Ibnu Zubair merupakan orang yang kikir.
3.      Ibnu Zubair seorang yang sangat egois, terlalu mementingkan diri sendiri.
4.      Ibnu Zubair telah membangun kejayaan di atas penderitaan ahlu bait.
5.      Ibnu Zubair pernah menyerah kepada al-Hajjaj, yang menunjukkan dia bukan seorang pejuang sejati.[10]
Ketika terjadi pemberontakan di Madinah, Ibnu Zubair diam saja sampai pasukan bani Umayyah mengepung Mekah. Pasukan ini dipimpin oleh Husein ibn Numair dan mengepung Mekah selama empat bulan sampai ada kabar meninggalnya Yazid. Akhirnya Husein menghentikan pengepungan dan kembali ke Madinah.
Kemudian Marwan ibn Hakam menggantikan Yazid menjadi khalifah dan dapat menstabilkan kekuasaan di daerah Sham. Ia menghancurkan pengikut Ibnu Zubair yang ada di Siria, kemudian pergi ke Mesir dan menaklukannya. Kemudian Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah sesudah ayahnya. Ia mulai serangannya kearah timur, dan mulai pertarungannya dengan Muî'ab ibn Zubair serta dapat dihancurkannya. Pada tahun 71 H., Muî'ab sendiri tewas dekat sungai al-Dajil.
Setelah Muî'ab terbunuh, maka musuh Abdul Malik hanya Ibn Zubair di Mekah. Kemudian ia mengirim al-Hajjaj ibn Yusuf kepada Ibn Zubair. Ibnu Zubair bertahan di Masjid al-arªm, tidak keluar untuk menghadapi pasukan. Sebab itu, al-Hajjaj menghantam Masjid al-arªm dengan manjanik. Atas sindiran ibunya, akhirnya ia keluar dari Masjid al-arªm, melepaskan baju besinya dan bertempur sehingga tewas pada tahun 73 H. Kepalanya dikirim al-Hajjaj kepada Khalifah Abdul Malik, sedangkan tubuhnya disalib.
c. Al-Mukhtªr ibn Abi 'Ubaid
 Al-Mukhtªr dilahirkan di tanah £ªif, dan termasuk orang-orang yang mempunyai kepribadian yang selalu goyang dan gelisah. A. Syalabi menggambarkannya sebagai orang yang senantiasa berusaha untuk memperoleh harta dan pangkat serta menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Pada masa kecilnya ia tinggal bersama pamannya, yaitu Sa'ad ibn Mas'ud yang menjadi gubernur Madain pada zaman khalifah Ali ibn Abi £ªlib. Al-Mukhtªr pernah ditangkap oleh Ibn Ziyad karena membuka rumahnya untuk Muslim dan ia dibebaskan Ibn Ziyad serta keluar dari Kufah. Akhirnya ia bertemu dengan Abdullah Ibn Zubair di Makah, ketika Ibn Zubair memplokamirkan dirinya menjadi Khalifah. Al-Mukhtªr mengajukan syarat, apabila ia berjuang dengan Ibn Zubair, maka ia akan diberi kekuasaan. Al-Mukhtªr merupakan orang yang paling sukses dan paling bermanfaat ketika Mekah dikepung oleh usain ibn Numair al-Sakuti. Ketika pamornya naik dan beberapa daerah telah dikuasai, Al-Mukhtªr tidak diacuhkan oleh Ibn Zubair karena merasa sudah cukup kuat. Akhirnya Al-Mukhtªr berniat untuk pergi ke Kufah, karena Kufah merupakan tempat yang baik untuk orang-orang yang ingin menimbulkan kekacauan dan mengorbankan api pemberontakan.
Dengan mengaku mendapat rekomendasi dari Muhammad ibn Hanafiyah, Al-Mukhtªr berkoalisi dengan Ibrahim ibn Ashtar, yaitu panglima yang disegani di Kufah. Sejak itu, Ibrahim sangat berperan dalam setiap kemenangan yang diraih Al-Mukhtªr. salah satunya, ia dapat menngalahkan Abdullah ibn Muthi', gubernur Kufah. Ia juga mengirim Yazid ibn Anas untuk menyerang Ibn Ziyad, tetapi Yazid terbunuh dalam pertempuran itu. Kemudian Al-Mukhtªr memimpin langsung menyerang Ibn Ziyad di sungai Khazar, dan Ibrahim berhasil membunuh Ibn Ziyad dan kepalanya dikirim ke Madinah. Dengan demikian, Al-Mukhtªr mencapai puncak kejayaan dengan membawahi daerah Mosul, Armenia, dan Azarbaijan. Kejayaan itu tidak bertahan lama, karena ia merupakan saingan dari dua khalifah besar lainnya, yaitu Abdullah ibn Zubair di Mekah dan Abdul Malik ibn marwan di damaskus. Kemudian Abdullah ibn Zubair mengangkat saudaranya Muî'ab (gubernur Basrah) untuk menyerang Al-Mukhtªr. terjadilah perang antara Al-Mukhtªr dengan Muî'ab di tempat yang bernama "Hammam A'yan" dan berakhiirlah riwayat Al-Mukhtªr.
d. Revolusi Abbasiyah
Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
  1. Aspek Keagamaan
a. Pemberontakan Shi'ah
Pemberontakan Shi'ah yang terjadi pada zaman Bani Umayyah adalah pemberontakan yang saling berhubungan dan mempunyai persamaan tentang sebab dan tujuannya. Sebabnya adalah rasa kebencian terhadap Bani Umayyah dan tujuannya adalah menjatuhkan mereka.[11] Gerakan revolusioner ini juga erat kaitannya dengan gerakan dalam bidang pemikiran. Para pengaku Shi'ah telah menggabungkan diri kepada Shi'ah dalam bidang pikiran, sehingga mereka merusakkan pikiran-pikiran Shi'ah.[12] Mereka (para pengaku Shi'ah) menggabungkan dalam pemberontakan mereka, sehingga berhasil pula merusak rencana pemberontakan shi'ah.
Gerakan-gerakan revolusioner yang mulai tumbuh semenjak tahun 40 H (tahun ketika Ali terbunuh), menjadi bumi yang subur bagi munculnya berbagai elemen perubahan. Gerakan ini memulai dalam bentuk perlawanan terhadap pemerintah Umayyah. Perlawanan pertama dipimpin oleh Sulaiman bin Shard, tidak lama setelah Hasan bin Ali diturunkan dari kekhalifahan untuk diberikan kepada Mu'awiyah. Ia mengekspresikan kejengkelannya terhadap asan atas sikapnya yang menurut Sulaiman itu merupakan sikap yang membuat kaum mukmin terhina. Perlawanan kedua dipimpin oleh Qais bin Sa'ad bin Ubªdah, seorang komandan tentara kamis yang membaiat Ali meskipun sudah meninggal dunia. Perlawanan ketiga, yaitu dari ajar bin Adi dan para pendukungnya.
Setelah usain meninggal dunia karena terbunuh, maka perlawanan terhadap Bani Umayyah semakin gencar dilaksanakan oleh sahabat Ali dan kaum Shi'ah. Perlawanan usein mencerminkan tiga prinsip, pertama, didasarkan pendapat bahwa ahli bait lebih berhak memegang kekhalifahan; kedua, para pemegang kekhalifahan dari kalangan Bani Umayyah mengklaim sesuatu yang bukan merupakan hak mereka dan mereka berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat; ketiga, bahwa siapa saja yang tidak merubah kesewenang-wenangan dengan ucapan dan tindakan, maka dia sendiri berada dalam posisi orang yang sewenang-wenang. Tindakan pemberontakan dimulai dengan berkumpulnya lima orang di rumah Sulaimªn bin Shard al-Khuza'i, mereka adalah Sulaimªn bin Shard al-Khuza'i, al-Musaiyab bin Najbah al-Fazari, Abdullah bin Sa'ad bin Nufail al-Azdi, Abdullªh bin Wªl al-Taimi, dan Rifª'ah bin Shadªd al-Bajili. Pertemuan tersebut merupakan otokritik dan membuat rancangan kerja untuk menghancurkan para pembunuh usain, maksudnya untuk menghancurkan kesewenang-wenangan dan kezaliman. Pada tahun 65 H., Sulaimªn bin Shard al-Khuza'i bergerak dan berperang dengan pasukannya yang kurang lebih 4000 orang. Hal ini membuat ia terkejut, karena sebelumnya ia disumpah setia dan dibaiat 16 ribu orang. Akhirnya perang terjadi, dan sebagian besar dari pasukan Sulaimªn bin Shard al-Khuza'i gugur di medan perang. Meskipun demikian, revolusi kaum bertobat (tawwªbÌn) telah membuka pintu pemberontakan terus menerus.
b. Orang-orang yang bertobat (al-Tawwªbñn)
Mereka adalah suatu golongan Shi'ah di Kufah. Mereka melabelkan nama itu disebabkan mereka telah mengakui kesalahan mereka, yaitu mereka telah mengundang usain untuk datang ke wilayah mereka, dan kemudian mereka menjauhkan diri dari usain, dan akhirnya membunuhnya. Mereka ingin menebus kesalahan yang telah mereka lakukan, untuk itu mereka bertobat dan berjuang untuk menuntut balas atas kematian usain. Al-Tawwªbñn meneriakkan semboyan "Yª Lathªrªtil usain".[13] Dan akhirnnya berkumpul orang yang banyak dan berhasil merebut kekuasaan di Kufah dan mulai mengancam kekuasaan Bani Umayyah di Sham. Ketika Marwan Ibn Hakam telah menduduki kursi khilafah, ia berhasil menaklukkan para penantangnya di daerah Sham. Kemudia ia meminta bantuan 'Ubaidullªh ibn Ziyad untuk memerangi al-Tawwªbñn dan mereka bertemu di tempat yang bernama "Ainul Wardah" yang menggugurkan banyak orang di pihak al-Tawwªbñn dan orang-orang Sham memperoleh kemenangan.
c. Zaid ibn Ali ibn al-usain
Pada tahun 122 H., Zaid ibn Ali ibn al-usain melakukan pemberontakan. Ia menyerukan manusia untuk kembali ke kitab Allah dan tradisi Nabi-Nya, memerangi mereka yang zalim, membela kaum tertindas, membantu orang-orang miskin, membagi harta rampasan di antara yang berhak bersama, mematikan al-mujammar,[14] serta dukungan kami, ahli bait, terhadap siapa saja yang membendung kami dan yang mengabaikan kami.[15] Tewasnya Yahya ibn Zaid menambah semakin berakarnya prinsip-prinsip yang dilontarkan oleh pemberontakan ayahnya, dan justru menegaskan prisip perubahan secara umum. Setelah itu muncul pemberontakan Abdullah ibn Mu'awiyah serta al-arith ibn Suraij sampai munculnya Abu Hamzah diikuti Abu Muslim al-Khurasªni.
d. Khawarij
Kelompok Khawarij terus  menerus memandang Bani Umayyah sebagai perampas khalifah. Rasa permusuhan mereka terhadap bani Umayyah lebih hebat dan mendalam disbanding kebencian mereka terhadap Ali. Mereka terus berjuang pada masa Bani Umayyah, dan ketika mendapat kemenangan, maka mereka berkuasa dan mempunyai pengaruh.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kelompok Khawarij melakukan pemberontakan, yaitu:
  1. Khawarij adalah bangsa Arab, mereka bukanlah shi'ah yang sebagian besar non-Arab. Bangsa Arab pada umumnya suka memberontak, walaupun karena sesuatu yang sepele dan remeh.
  2. Bangsa Arab juga mempunyai kebiasaan balas dendam.
  3. Mereka dalam menghargai pendapat-pendapat terlalu tinggi dan berlebihan. Apabila mereka mempunyai suatu pendapat, maka pendapat mereka dijadikan aqidah atau kepercayaan.[16]
Kaum Khawarij di Iraq telah berhasil merebut kekuasaan di Kirman dan negeri-negeri Persia, serta menimbulkan ancaman di Basrah. Panglima-panglima yang terkenal dalam khwarij adalah: Nafi' ibn Arzaq dan Qathari ibn Fujaah. Selain itu, mereka juga berhasil merebut kekuasaan di bagian selatan Jazirah Arab dan £ªif. Panglima yang masyhur adalah: Abu £ªlut, Najjah ibn Amir, dan Abu Fadik. Ada beberapa peristiwa kelompok Khawarij selama masa Bani Umayyah[17], yaitu:
  1. Pada Masa Mu'awiyah
Kelompok khwarij meyakini bahwa orang yang ikut tahkim berdosa besar dan wajib untuk dibunuh. Salah satu orang tersebut adalah Mu'awiyah. Selain ikut tahkim, kebencian tersebut disebabkan karena Mu'awiyah adalah perampas khalifah, hidup seperti raja-raja, tinggal dalam istana, yang pakaiannya mewah serta menggunakan penngawal pribadi. Untuk itu, Khawarij merasa wajib untuk memerangi Mu'awiyah. Pemberontakan Khawarij terus bersambung pada masa Mu'awiyah. Orang yang pertama melakukan pemberontakan adalah Farwah ibn Naufal al-Ashja'i. Setelah Hasan meninggal, Farwah mengajak kepada kaum Khawarij agar memerangi Mu'awiyah, dan Mu'awiyah berhasil menghancurkan Farwah serta pengikutnya. Setelah itu, para pemimpin Khawarij[18] berkumpul dan menyerang, tetapi Mughirah ibn Shu'bah (gubernur Kufah) mengirim pasukan yang dipimpin Ma'qil ibn Qais berhasil menangkap dan menghancurkannya.
  1. Khawarij dan Muhallah ibn Abi Sufrah
Sejarah kaum Khawarij pada masa gemilang adalah berhubungan erat dengan Muhallah ibn Abi Sufrah. Setelah Mu'awiyah wafat, Khawarij mendapat dua pemimpin, yaitu: Nafi' ibn Arzaq dan Qathari ibn Fujaah. Mereka juga menggabungkan diri kepada Ibn Zubair, tetapi mereka menganggap diri mereka bersalah karena membantu Ibn Zubair dan terpecah menjadi dua golongan, yaitu golongan azariqah yang menuju Basrah, sedangkan golongan Najjat pergi ke Yamamah. Setelah Ibn Zubair meninggal, maka tugas memerangi kaum Khawarij di atas pundak al-Hajjaj dan Abdul malik ibn Marwan. Mereka menetapkan Muhallah untuk melanjutkan perjuangan, yaitu memerangi Khawarij Azariqah. Akhirnya, Muhallah memperhebat serangan, disertai kecerdasan dan siasatnya dapat menghancurkan kelompok Khawarij. Ketentraman atas Khawarij sampai dua khalifah sesudahnya, yaitu al-walid dan Sulaiman.
  1. Khawarij dan Umar ibn Abdul Aziz
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz kaum Khawarij bergerak lagi. Mereka muncul di Irak, dekat kota Hirah. Pemimpin mereka adalah seorang lelaki dari Bani Syaiban, bernama Shauzab. Untuk menghadapinya, Umar mengirim pasukan dipimpin oleh Masiamah ibn Abdul Malik. Dan umar memberikan perintah bahwa pasukannya tidak boleh menyerang, kecuali jika kaum Khawarij menyeranng lebih dulu, atau mereka menimbulkan kerusuhan atau kerusakan. Di satu sisi, Umar mengirim utusan kepada Shauzab agar diajak berunding dan tukar pikiran. Akhirnya Shauzab mengirim dua utusan untuk berunding dengan Umar dan hasilnya adalah mereka mengakui Umar adalah benar dan berusaha sekuat tenaga untuk kebaikan Islam dan kaum muslimin. 
  1. Khawarij Pada Akhir Masa Bani Umayyah
Pada masa ini, gerakan shi'ah bergeliat dan berhasil mencapai beberapa kemenangan, terutama bidang politik kemudian militer. Hal ini menutupi gerakan kaum Khawarij, sehingga mereka tidak punya arti penting dalam pemberontakan kepada bani Umayyah.
Setelah Umar meninggal, Shauzab melakukan pemberontakan dan mulai memetik kemenangan di Kufah dan daerah sekitarnya. Ia lalu berhadapan dengan Maslamah ibn Abdil dan Sa'id ibn Umar al-Harashi, sehingga mereka mengakhiri riwayat Shauzab. Pada masa khalifah Hisyam, Bahlul ibn Umair al-Shaibani melakukan pemberontakan, tetapi dapat ditumpas oleh Khalid Ibn Abdillah al-Qisri. Gerakan yang terakhir kaum Khawarij adalah yang dilakukan oleh Abu Hamzah al-Khairiji di Mekah pada tahun 129 H. Tetapi Marwan ibn Muhammad mengirimkan pasukannya untuk menghancurkannya beserta pengikutnya.

C.    Penutup
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Shi’ah dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan MawªlÌ (non Arab), terutama di Irak dan bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status MawªlÌ  itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, serta kaum MawªlÌ  yang merasa dikelasduakan oleh Bani Umayyah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam, terj. Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Fzee, AA., Kebudayaan Islam, terj. Syamsuddin Abdullah. Yogyakarta: PT. Bagus Arofah, 1982.

Koentjoroningrat, Bunga Rampai Kebudayaan: Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1984.

Shiddiqi, Nourouzzaman, Tamaddun Muslim: Bunga Rampai Kebudayaan Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Syalabi, A., Sejarah & Kebudayaan Islam 2. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003.

Taufik Abdullah, " Umayyah " Ensiklopedi Islam, ed. Taufik Abdullah et.al., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.

Kelompok Khawarij dan Shi'ah yang terus  menerus memandang Bani Umayyah sebagai perampas khalifah.
Kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah, dan Irak yang sakit hati atas status istimewa yang diperoleh oleh penduduk Suriah.


Perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah. Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka’bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M. Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol. Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.

CyberMQ.com | Komunitas Muslim Terbesar di Indonesia | http://www.cybermq.com



[1]AA. Fzee, Kebudayaan Islam, terj. Syamsuddin Abdullah (Yogyakarta: PT. Bagus Arofah, 1982), 11.
[2]Nourouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim: Bunga Rampai Kebudayaan Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 4.
[3]Koentjoroningrat, Bunga Rampai Kebudayaan: Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1984), 9.
[4] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam, terj. Khairon Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2007), 229.
[5] Taufik Abdullah, " Umayyah " Ensiklopedi Islam, ed. Taufik Abdullah et.al., (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), 130.
[6] Ibid.
[7] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, 260.
[8] Hal ini dilakukan agar Ibn Zubair menjadi pemimpin di Hejaz.
[9] Ia merupakan putera sahabat Nabi, Sa'ad bin Abi Waqqaî.
[10] A. Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003), 240.
[11] Ibid., 200.
[12] A. Syalabi menyebut pengaku shi'ah sebagai shi'ah gulah, yaitu orang-orang yang menggunakan kedok shi'ah untuk menciptakan bermacam-macam kebohongan dan kebatilan dengan maksud memberdayakan Islam dan kaum muslimin. Mereka sama sekali bukanlah shi'ah, bahkan bukanlah termasuk golongan Muslimin.
[13] Artinya: "mari kita menuntut bela untuk usain"!
[14] Yaitu tentara yang ditempatkan oleh khalifah atau gubernur di negeri yang telah dibebaskan dan mereka tidak diperkenankan untuk kembali.
[15] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, 260.
[16] Syalabi, Sejarah & Kebudayaan, 262.
[17] Ibid., 253.
[18] Mereka adalah Mustaurid ibn 'Ulfah, haiyan ibn Zhibyan, dan Mu'az ibn Juwain.

1 komentar:

  1. Hard Rock Hotel & Casino Tulsa - MapyRO
    Find out what's popular at Hard Rock 김천 출장안마 Hotel & Casino Tulsa in Tulsa, 서울특별 출장안마 including activity, times, 영천 출장안마 Location: 1280 Highway 파주 출장샵 50, Tulsa, 영천 출장안마 OK 73459.

    BalasHapus