GERAKAN OPOSISI
TERHADAP BANI UMAYYAH
A.
Pendahuluan
A.A. Fzee dalam Islamic Culture merumuskan bahwa
kebudayaan Islam ialah semua produk budaya yang dihasilkan di bawah naungan
bantuan pemerintah Muslim,[1]
sementara Nourouzzaman Shiddiqi menyatakan bahwa kebudayaan Islam ialah satu
sikap khusus yang berangkat dari dasar ajaran Islam.[2] Batasan
kebudayaan atau peradaban Islam, menurut Clive Bell dan Koentjoroningrat
mengatakan bahwa kebudayaan (culture)
dan peradaban (civilization) adalah
semakna. Kedua kata itu mengandung arti yang sama.[3]
Dalam konteks politik,
sebagai bagian dari kebudayaan Islam, mengalami perubahan sistem dan bagaimana
cara menduduki kekuasaan. Hal ini sangat menarik untuk dikaji, karena diakui
maupun tidak, salah satu yang menjadi sebab munculnya perbedaan pendapat dan
melahirkan beberapa kelompok keagamaan disebabkan oleh politik. Dalam bukunya,
Adonis menjelaskan bahwa "persoalan imamah atau kekhalifahan
(kepemimpinan) menjadi fokus utama dan dasar perselisihan di kalangan kaum
muslimin semenjak nabi meninggal. Fakta bahwa nabi tidak menunjuk seorang pun
untuk menggantikannya dan tidak menetapkan system tertentu untuk suksesi
menjadikan perselisihan itu semakin tajam dan kompleks. Demikian pula, dalam
al-Qur'an tidak ada sistem tertentu, yang ada hanya ayat-ayat yang menegaskan
bahwa persoalan umat Islam diselesaikan melalui musyawarah di antara
mereka".[4]
Dalam makalah ini akan
membahas tentang gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah yang diharapkan akan
menemukan perspektif yang baru terhadap kekuasaan Bani Umayyah dan oposisinya.
B.
Gerakan
Oposisi terhadap Bani Umayyah
Di masa pra Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan
Bani Hasyim yang juga merupakan klan Quraisy. Bani Umayyah lebih berperan di
dalam masyarakat Mekah. Mereka yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang
banyak bergantung pada para pengunjung Ka'bah, sementara Bani Hasyim merupakan
orang-orang yang berekonomi sederhana. Ketika Islam datang dan berkembang serta
nabi Muhammad merupakan seseorang dari Bani Hasyim, Bani Umayyah merasa bahwa
kekuasaan dan perekonomiannya terancam.[5]
Masa pemerintahan Bani Umayyah memang tidak berlangsung
lama, tetapi pada masa ini terdapat adanya gerakan-gerakan
oposisi-revolusioner, yang tidak mendapat peluang dan kesempatan yang cukup
untuk lahir pada masa sebelumnya maupun sesudahnya. Dengan ini, maka masa
tersebut merupakan masa yang paling subur bagi gerakan-gerakan oposisi. Ada
beberapa aspek yang menjadi sebab gerakan oposisi tersebut muncul, yaitu:
- Aspek Sosial
Pemindahan ibu kota dari
Madinah ke Damaskus yang dekat dengan pusat kota-dan merupakan bekas bagian
wilayah Bizantium telah membentuk gaya hidup mewah di kalangan keluarga para
khalifah. Faktor ini turut memperlemah jiwa dan vitalitas keluarga dan
anak-anak khalifah yang membuat mereka kurang sanggup memikul pemerintahan yang
begitu besar. Disamping itu, faktor ini telah menimbulkan ketidakpuasan di
kalangan orang-orang saleh. Bani Umayyah telah membentuk aristokrasi militer
Arab yang kemudian menyusun keadaan social secara turun-temurun. Tentara Suriah
adalah adalah jantung kekuatan militernya sebagai sumber kekuatan dan keamanan,
mereka memperoleh bagian harta rampasan dan pajak yang ditumpahkan ke Damaskus
sebagai hasil penjarahan. Hal ini telah menimbulkan kecemburuan di kalangan
orang-orang Muslim Arab di Madinah, Mekah, dan Irak. Mereka memang dibebaskan
dari membayar pajak yang dipikulkan oleh orang-orang muslim non Arab (MawªlÌ) dan non mslim. Kaum MawªlÌ juga mengeluh atas perlakuan pemerintah yang dipandang tidak sesuai
dengan prinsip persamaan dalam Islam. Pada awal abad ke-8 (720 M) sentimen anti
pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok
yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu: Muslim non Arab (MawªlÌ) yang mengeluh atas status mereka sebagai warga kelas dua di bawah
muslim Arab.[6]
Pada pada 77 H., Muðarraf ibn MughÌrah melakukan pemberontakan, disusul pemberontakan Abdurrahman ibn
al-'Ath'ath pada tahun 81 H. Beliau telah dibai'at oleh masyarakat untuk
memegang kitab Allah dan tradisi Nabi-Nya, mencopot para pemimpin yang sesat
dan memerangi mereka yang bejat. Pemebrontakan keduanya dipadamkan oleh
al-Hajjaj. Pemberontakan Ibn al- 'Ath'ath mempertajam kecenderungan, yang
dimulai oleh pemberontakan al-Mukhtªr, akan
terjadinya perpecahan social dan pertarunngan kelasa antara kelompok dominan
dan kelompok yang tertekan. Hal ini menjelaskan mengapa MawªlÌ dan sebagian besar ahli al-Qur'an memiliki
semangat yang besar dan ikut terlibat dalam perjuangan pemberontakan tersebut.[7]
- Aspek Politik
a. usain Ibnu Ali
usain Ibnu Ali adalah salah seorang dari sejumlah kecil orang-orang
yang tidak membai'at kepada Yazid ketika Mu'awiyah masih hidup. Hal ini karena usain Ibnu Ali merasa dirinya bebas untuk melakukan tindakan
pemberontakan terhadap Yazid ketika Mu'awiyah meninggal dunia.
Ketika Mu'awiyah wafat dan
Yazid menjadi khalifah, usain berada di Madinah. Untuk itu, Yazid mengutus gubernur Madinah,
al-Walid ibn 'Utbah untuk memberikan bai'at kepada Yazid. Hal ini sangat
penting, karena posisi usain adalah oposisi. Tetapi usain tidak mau
dan meninggalkan Madinah menuju Mekah dengan isteri dan kaum keluarganya. Di
Mekah, usain mendapat undangan dari orang-orang Kufah dengan dijanjikan
akan mengangkatnya sebagai imam dan membai'atnya. Untuk itu, usain mengirim Muslim ibn 'Aqil untuk menyelidiki kondisi Kufah dan
ia mendapat sambutan yang meriah dari penduduk Kufah. Kemudian ia mengirim
utusan kepada usain agar pergi ke Kufah.
Melihat Kufah seperti itu,
maka Yazid mengganti gubernur Kufah (Nu'man) dengan 'Ubaidullah ibn Ziyad,
gubernur Basrah. Dengan demikian, ia menjadi gubernur dua wilayah, yaitu Basrah
dan Kufah. Ketika keadaan seperti itu, orang Kufah meninggalkan Muslim,
sehingga ia tidak dapat tempat berlindung. Akhirnya, ia minta perlindungan
kepada Hani' ibn Urwah, salah seorang pemimpin Kufah. Ibn Ziyad mengetahui hal
itu dan mengirim pasukan untuk menangkap Muslim dan Hani'. Muslim dibunuh di
Istana dan mayatnya dilemparkan ke khalayak ramai, sedangkan Hani' diseret ke
tempat sampah, tempat di mana ia disalib dan dibunuh.
Sementara itu, usain tetap ingin pergi ke Kufah, meskipun beberapa sahabat seperti
Abdullah ibn Abbas menasehatinya agar tidak pergi dari Hejaz. Sedangkan
Abdullah ibn Zubair mendorong usain untuk pergi dari Hejaz ke Kufah.[8] Pada
tahun 60 H., usain bersama keluarga, hamba sahaya serta pengikutnya pergi ke
Kufah yang berjumlah 72 orang. Dalam perjalanan, ia mendengar kabar bahwa
Muslim dibunuh, tetapi ia bersikukuh untuk datang ke Kufah untuk menuntut
balas. Pada tahun 61 H., 'Ubaidullah ibn Ziyad telah mengkondisikan Kufah dan
mengirim Al-usain ibn Tamim dan Al-Hurr ibn Yazid al-Tamimi yang diperintahkan
supaya usain memilih antara dua hal, apakah ia suka minta berdamai dan
menyerahkan kepada Ibn Ziyad, ataukah dibunuh. Ibn Ziyad memperkuat pasukannya
dengan mengirim Umar ibn Sa'ad.[9]
Atas saran dari Shamir ibn Zil Jaushan, Ibn Ziyad
mengirim surat kepada Umar bahwa jika usain tidak mau
menyerah, maka Umar harus membunuhnya. Maka terjadilah pertempuran yang tidak
seimbang antara usain dengan pasukan Umar. Akhirnya, usain dipukul
tengkuknya oleh Zur'ah ibn Shuraik al-Tamimi sehingga pingsan dan Sinan ibn
Anas menikam usain dengan Tombak dan dibunuh serta dipotong kepalanya. Kemuadian
Sa'ad mennyuruh teman-temanya menyuruh teman-temannya untuk menginjak-injak
tubuh usain sesuai perintah Ibn Ziyad. Yang terhindar dari bencana itu
adalah Ali Zainal Abidin, adiknya Umar, bibinya yang bernama Zaenab dan dua
orang saudara perempuannya, yaitu fatimah dan Sakinah.
b. Abdullah Ibn Zubair
Abdullah ibn Zubair
dilahirkan di Madinah, dia adalah anak pertama dalam kalangan muhajirin di
Madinah. Ayahnya adalah Zubair ibn
'Awwam, salah seorang dari pahlawan yang terkenal di Jazirah Arab. Ia
dibesarkan dalam rumah Rasulullah, sehingga ia seolah-olah telah menjadi anak
kandung dari Aisyah. Tetapi lingkungan seperti itu tidak membentuk kepribadian
yang baik, ia terkesan menuruti nalurinya yang berambisi menjadi pemimpin.
Begitu usain terbunuh, ia merasa yakin peluang menjadi khlaifah semakin
terbuka dan ia menegaskan pemberontakannya terhadap Bani Umayyah. Gerakan itu
tersebar luas, dan ia muncul sebagai orang penting, terlebih lagi ketika Yazid
meninggal kira-kira 2 tahun setelah terbunuhnya usain. Setelah
Yazid wafat, kekuasaan Bani Umayyah di Sham menjadi goncang. Ibn Zubair hanya
berpangku tangan di Mekah, dan bai'at datang kepadanya dari sana-sini.
Ada beberapa hal yang perlu
diterangkan mengenai kehidupan ibn Zubair, yaitu:
1.
Ibnu
Zubair tidak mempunyai hubungan yang baik dengan orang-orang dekatnya. Bahkan
saudaranya Amru menjadi musuhnya dengan menjadi panglima pasukan Umayyah.
2.
Ibnu
Zubair merupakan orang yang kikir.
3.
Ibnu
Zubair seorang yang sangat egois, terlalu mementingkan diri sendiri.
4.
Ibnu
Zubair telah membangun kejayaan di atas penderitaan ahlu bait.
5.
Ibnu
Zubair pernah menyerah kepada al-Hajjaj, yang menunjukkan dia bukan seorang
pejuang sejati.[10]
Ketika terjadi pemberontakan
di Madinah, Ibnu Zubair diam saja sampai pasukan bani Umayyah mengepung Mekah.
Pasukan ini dipimpin oleh Husein ibn Numair dan mengepung Mekah selama empat
bulan sampai ada kabar meninggalnya Yazid. Akhirnya Husein menghentikan
pengepungan dan kembali ke Madinah.
Kemudian Marwan ibn Hakam
menggantikan Yazid menjadi khalifah dan dapat menstabilkan kekuasaan di daerah
Sham. Ia menghancurkan pengikut Ibnu Zubair yang ada di Siria, kemudian pergi
ke Mesir dan menaklukannya. Kemudian Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah
sesudah ayahnya. Ia mulai serangannya kearah timur, dan mulai pertarungannya
dengan Muî'ab ibn Zubair serta dapat dihancurkannya. Pada tahun 71 H., Muî'ab sendiri tewas dekat sungai al-Dajil.
Setelah Muî'ab terbunuh, maka musuh Abdul Malik hanya Ibn Zubair di Mekah.
Kemudian ia mengirim al-Hajjaj ibn Yusuf kepada Ibn Zubair. Ibnu Zubair
bertahan di Masjid al-arªm, tidak keluar untuk menghadapi
pasukan. Sebab itu, al-Hajjaj menghantam Masjid al-arªm dengan manjanik. Atas sindiran ibunya,
akhirnya ia keluar dari Masjid al-arªm, melepaskan baju besinya dan bertempur
sehingga tewas pada tahun 73 H. Kepalanya dikirim al-Hajjaj kepada Khalifah
Abdul Malik, sedangkan tubuhnya disalib.
c. Al-Mukhtªr ibn Abi 'Ubaid
Al-Mukhtªr dilahirkan di
tanah £ªif, dan termasuk orang-orang yang mempunyai kepribadian yang selalu
goyang dan gelisah. A. Syalabi menggambarkannya sebagai orang yang senantiasa
berusaha untuk memperoleh harta dan pangkat serta menghalalkan segala cara
untuk memperolehnya. Pada masa kecilnya ia tinggal bersama pamannya, yaitu
Sa'ad ibn Mas'ud yang menjadi gubernur Madain pada zaman khalifah Ali ibn Abi £ªlib. Al-Mukhtªr pernah ditangkap oleh Ibn Ziyad karena membuka rumahnya untuk
Muslim dan ia dibebaskan Ibn Ziyad serta keluar dari Kufah. Akhirnya ia bertemu
dengan Abdullah Ibn Zubair di Makah, ketika Ibn Zubair memplokamirkan dirinya
menjadi Khalifah. Al-Mukhtªr mengajukan syarat, apabila ia berjuang dengan Ibn Zubair, maka ia
akan diberi kekuasaan. Al-Mukhtªr merupakan orang yang paling sukses dan paling bermanfaat ketika
Mekah dikepung oleh usain ibn Numair al-Sakuti. Ketika pamornya naik dan beberapa daerah
telah dikuasai, Al-Mukhtªr tidak diacuhkan oleh Ibn Zubair karena merasa sudah cukup kuat.
Akhirnya Al-Mukhtªr berniat untuk pergi ke Kufah, karena Kufah merupakan tempat yang
baik untuk orang-orang yang ingin menimbulkan kekacauan dan mengorbankan api
pemberontakan.
Dengan mengaku mendapat
rekomendasi dari Muhammad ibn Hanafiyah, Al-Mukhtªr berkoalisi
dengan Ibrahim ibn Ashtar, yaitu panglima yang disegani di Kufah. Sejak itu,
Ibrahim sangat berperan dalam setiap kemenangan yang diraih Al-Mukhtªr. salah satunya, ia dapat menngalahkan Abdullah ibn Muthi',
gubernur Kufah. Ia juga mengirim Yazid ibn Anas untuk menyerang Ibn Ziyad,
tetapi Yazid terbunuh dalam pertempuran itu. Kemudian Al-Mukhtªr memimpin langsung menyerang Ibn Ziyad di sungai Khazar, dan
Ibrahim berhasil membunuh Ibn Ziyad dan kepalanya dikirim ke Madinah. Dengan
demikian, Al-Mukhtªr mencapai puncak kejayaan dengan membawahi daerah Mosul, Armenia,
dan Azarbaijan. Kejayaan itu tidak bertahan lama, karena ia merupakan saingan
dari dua khalifah besar lainnya, yaitu Abdullah ibn Zubair di Mekah dan Abdul
Malik ibn marwan di damaskus. Kemudian Abdullah ibn Zubair mengangkat
saudaranya Muî'ab (gubernur Basrah) untuk menyerang Al-Mukhtªr. terjadilah perang antara Al-Mukhtªr dengan Muî'ab di tempat yang bernama "Hammam A'yan" dan berakhiirlah
riwayat Al-Mukhtªr.
d. Revolusi Abbasiyah
Sepeninggal Umar ibn Abd
al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik
(720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan
kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga
masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).
Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan
berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani
Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat
serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan
dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas.
Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang kuat dan
terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak
berdaya mematahkannya.
- Aspek Keagamaan
a. Pemberontakan Shi'ah
Pemberontakan Shi'ah yang
terjadi pada zaman Bani Umayyah adalah pemberontakan yang saling berhubungan
dan mempunyai persamaan tentang sebab dan tujuannya. Sebabnya adalah rasa
kebencian terhadap Bani Umayyah dan tujuannya adalah menjatuhkan mereka.[11] Gerakan
revolusioner ini juga erat kaitannya dengan gerakan dalam bidang pemikiran.
Para pengaku Shi'ah telah menggabungkan diri kepada Shi'ah dalam bidang
pikiran, sehingga mereka merusakkan pikiran-pikiran Shi'ah.[12] Mereka
(para pengaku Shi'ah) menggabungkan dalam pemberontakan mereka, sehingga
berhasil pula merusak rencana pemberontakan shi'ah.
Gerakan-gerakan revolusioner
yang mulai tumbuh semenjak tahun 40 H (tahun ketika Ali terbunuh), menjadi bumi
yang subur bagi munculnya berbagai elemen perubahan. Gerakan ini memulai dalam
bentuk perlawanan terhadap pemerintah Umayyah. Perlawanan pertama dipimpin oleh
Sulaiman bin Shard, tidak lama setelah Hasan bin Ali diturunkan dari
kekhalifahan untuk diberikan kepada Mu'awiyah. Ia mengekspresikan
kejengkelannya terhadap asan atas sikapnya yang menurut Sulaiman itu merupakan sikap yang
membuat kaum mukmin terhina. Perlawanan kedua dipimpin oleh Qais bin Sa'ad bin
Ubªdah, seorang komandan tentara kamis yang membaiat Ali meskipun sudah
meninggal dunia. Perlawanan ketiga, yaitu dari ajar bin Adi dan
para pendukungnya.
Setelah usain meninggal dunia karena terbunuh, maka perlawanan terhadap Bani
Umayyah semakin gencar dilaksanakan oleh sahabat Ali dan kaum Shi'ah.
Perlawanan usein mencerminkan tiga prinsip, pertama, didasarkan pendapat bahwa
ahli bait lebih berhak memegang kekhalifahan; kedua, para pemegang kekhalifahan
dari kalangan Bani Umayyah mengklaim sesuatu yang bukan merupakan hak mereka
dan mereka berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat; ketiga, bahwa siapa
saja yang tidak merubah kesewenang-wenangan dengan ucapan dan tindakan, maka
dia sendiri berada dalam posisi orang yang sewenang-wenang. Tindakan
pemberontakan dimulai dengan berkumpulnya lima orang di rumah Sulaimªn bin Shard al-Khuza'i, mereka adalah Sulaimªn bin Shard
al-Khuza'i, al-Musaiyab bin Najbah al-Fazari, Abdullah bin Sa'ad bin Nufail
al-Azdi, Abdullªh bin Wªl al-Taimi, dan Rifª'ah bin Shadªd al-Bajili. Pertemuan tersebut merupakan otokritik dan membuat
rancangan kerja untuk menghancurkan para pembunuh usain, maksudnya
untuk menghancurkan kesewenang-wenangan dan kezaliman. Pada tahun 65 H., Sulaimªn bin Shard al-Khuza'i bergerak dan berperang dengan pasukannya yang
kurang lebih 4000 orang. Hal ini membuat ia terkejut, karena sebelumnya ia
disumpah setia dan dibaiat 16 ribu orang. Akhirnya perang terjadi, dan sebagian
besar dari pasukan Sulaimªn bin Shard al-Khuza'i gugur di medan perang. Meskipun demikian,
revolusi kaum bertobat (tawwªbÌn) telah membuka pintu pemberontakan
terus menerus.
b. Orang-orang yang bertobat (al-Tawwªbñn)
Mereka adalah suatu golongan
Shi'ah di Kufah. Mereka melabelkan nama itu disebabkan mereka telah mengakui
kesalahan mereka, yaitu mereka telah mengundang usain untuk
datang ke wilayah mereka, dan kemudian mereka menjauhkan diri dari usain, dan akhirnya membunuhnya. Mereka ingin menebus kesalahan yang
telah mereka lakukan, untuk itu mereka bertobat dan berjuang untuk menuntut
balas atas kematian usain. Al-Tawwªbñn meneriakkan semboyan "Yª Lathªrªtil usain".[13] Dan
akhirnnya berkumpul orang yang banyak dan berhasil merebut kekuasaan di Kufah
dan mulai mengancam kekuasaan Bani Umayyah di Sham. Ketika Marwan Ibn Hakam
telah menduduki kursi khilafah, ia berhasil menaklukkan para penantangnya di
daerah Sham. Kemudia ia meminta bantuan 'Ubaidullªh ibn Ziyad untuk
memerangi al-Tawwªbñn dan mereka bertemu di tempat yang
bernama "Ainul Wardah" yang menggugurkan banyak orang di pihak al-Tawwªbñn dan orang-orang Sham memperoleh
kemenangan.
c. Zaid ibn Ali ibn al-usain
Pada tahun 122 H., Zaid ibn
Ali ibn al-usain melakukan pemberontakan. Ia menyerukan manusia untuk kembali
ke kitab Allah dan tradisi Nabi-Nya, memerangi mereka yang zalim, membela kaum
tertindas, membantu orang-orang miskin, membagi harta rampasan di antara yang
berhak bersama, mematikan al-mujammar,[14] serta
dukungan kami, ahli bait, terhadap siapa saja yang membendung kami dan yang
mengabaikan kami.[15]
Tewasnya Yahya ibn Zaid menambah semakin berakarnya prinsip-prinsip yang
dilontarkan oleh pemberontakan ayahnya, dan justru menegaskan prisip perubahan
secara umum. Setelah itu muncul pemberontakan Abdullah ibn Mu'awiyah serta al-arith ibn Suraij sampai munculnya Abu Hamzah diikuti Abu Muslim
al-Khurasªni.
d. Khawarij
Kelompok Khawarij terus menerus memandang Bani Umayyah sebagai
perampas khalifah. Rasa permusuhan mereka terhadap bani Umayyah lebih hebat dan
mendalam disbanding kebencian mereka terhadap Ali. Mereka terus berjuang pada
masa Bani Umayyah, dan ketika mendapat kemenangan, maka mereka berkuasa dan
mempunyai pengaruh.
Ada beberapa hal yang
menyebabkan kelompok Khawarij melakukan pemberontakan, yaitu:
- Khawarij adalah bangsa Arab, mereka bukanlah shi'ah yang sebagian besar non-Arab. Bangsa Arab pada umumnya suka memberontak, walaupun karena sesuatu yang sepele dan remeh.
- Bangsa Arab juga mempunyai kebiasaan balas dendam.
- Mereka dalam menghargai pendapat-pendapat terlalu tinggi dan berlebihan. Apabila mereka mempunyai suatu pendapat, maka pendapat mereka dijadikan aqidah atau kepercayaan.[16]
Kaum Khawarij di Iraq telah
berhasil merebut kekuasaan di Kirman dan negeri-negeri Persia, serta
menimbulkan ancaman di Basrah. Panglima-panglima yang terkenal dalam khwarij
adalah: Nafi' ibn Arzaq dan Qathari ibn Fujaah. Selain itu, mereka juga
berhasil merebut kekuasaan di bagian selatan Jazirah Arab dan £ªif. Panglima yang masyhur adalah: Abu £ªlut, Najjah ibn
Amir, dan Abu Fadik. Ada beberapa peristiwa kelompok Khawarij selama masa Bani
Umayyah[17], yaitu:
- Pada Masa Mu'awiyah
Kelompok khwarij meyakini
bahwa orang yang ikut tahkim berdosa besar dan wajib untuk dibunuh. Salah satu
orang tersebut adalah Mu'awiyah. Selain ikut tahkim, kebencian tersebut
disebabkan karena Mu'awiyah adalah perampas khalifah, hidup seperti raja-raja, tinggal
dalam istana, yang pakaiannya mewah serta menggunakan penngawal pribadi. Untuk
itu, Khawarij merasa wajib untuk memerangi Mu'awiyah. Pemberontakan Khawarij
terus bersambung pada masa Mu'awiyah. Orang yang pertama melakukan
pemberontakan adalah Farwah ibn Naufal al-Ashja'i. Setelah Hasan meninggal,
Farwah mengajak kepada kaum Khawarij agar memerangi Mu'awiyah, dan Mu'awiyah
berhasil menghancurkan Farwah serta pengikutnya. Setelah itu, para pemimpin Khawarij[18]
berkumpul dan menyerang, tetapi Mughirah ibn Shu'bah (gubernur Kufah) mengirim
pasukan yang dipimpin Ma'qil ibn Qais berhasil menangkap dan menghancurkannya.
- Khawarij dan Muhallah ibn Abi Sufrah
Sejarah kaum Khawarij pada
masa gemilang adalah berhubungan erat dengan Muhallah ibn Abi Sufrah. Setelah
Mu'awiyah wafat, Khawarij mendapat dua pemimpin, yaitu: Nafi' ibn Arzaq dan
Qathari ibn Fujaah. Mereka juga menggabungkan diri kepada Ibn Zubair, tetapi
mereka menganggap diri mereka bersalah karena membantu Ibn Zubair dan terpecah
menjadi dua golongan, yaitu golongan azariqah yang menuju Basrah, sedangkan
golongan Najjat pergi ke Yamamah. Setelah Ibn Zubair meninggal, maka tugas
memerangi kaum Khawarij di atas pundak al-Hajjaj dan Abdul malik ibn Marwan.
Mereka menetapkan Muhallah untuk melanjutkan perjuangan, yaitu memerangi Khawarij
Azariqah. Akhirnya, Muhallah memperhebat serangan, disertai kecerdasan dan
siasatnya dapat menghancurkan kelompok Khawarij. Ketentraman atas Khawarij
sampai dua khalifah sesudahnya, yaitu al-walid dan Sulaiman.
- Khawarij dan Umar ibn Abdul Aziz
Pada masa pemerintahan Umar
ibn Abdul Aziz kaum Khawarij bergerak lagi. Mereka muncul di Irak, dekat kota
Hirah. Pemimpin mereka adalah seorang lelaki dari Bani Syaiban, bernama
Shauzab. Untuk menghadapinya, Umar mengirim pasukan dipimpin oleh Masiamah ibn
Abdul Malik. Dan umar memberikan perintah bahwa pasukannya tidak boleh
menyerang, kecuali jika kaum Khawarij menyeranng lebih dulu, atau mereka
menimbulkan kerusuhan atau kerusakan. Di satu sisi, Umar mengirim utusan kepada
Shauzab agar diajak berunding dan tukar pikiran. Akhirnya Shauzab mengirim dua
utusan untuk berunding dengan Umar dan hasilnya adalah mereka mengakui Umar
adalah benar dan berusaha sekuat tenaga untuk kebaikan Islam dan kaum
muslimin.
- Khawarij Pada Akhir Masa Bani Umayyah
Pada masa ini, gerakan
shi'ah bergeliat dan berhasil mencapai beberapa kemenangan, terutama bidang
politik kemudian militer. Hal ini menutupi gerakan kaum Khawarij, sehingga
mereka tidak punya arti penting dalam pemberontakan kepada bani Umayyah.
Setelah Umar meninggal,
Shauzab melakukan pemberontakan dan mulai memetik kemenangan di Kufah dan
daerah sekitarnya. Ia lalu berhadapan dengan Maslamah ibn Abdil dan Sa'id ibn
Umar al-Harashi, sehingga mereka mengakhiri riwayat Shauzab. Pada masa khalifah
Hisyam, Bahlul ibn Umair al-Shaibani melakukan pemberontakan, tetapi dapat
ditumpas oleh Khalid Ibn Abdillah al-Qisri. Gerakan yang terakhir kaum Khawarij
adalah yang dilakukan oleh Abu Hamzah al-Khairiji di Mekah pada tahun 129 H.
Tetapi Marwan ibn Muhammad mengirimkan pasukannya untuk menghancurkannya
beserta pengikutnya.
C.
Penutup
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah menyebabkan terjadinya
persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana. Latar belakang
terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik
politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Shi’ah dan Khawarij terus menjadi
gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti masa awal dan akhir maupun secara
tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku
Arabia Utara (Bani Qais) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak
zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para
penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan
kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan MawªlÌ (non Arab), terutama di Irak dan bagian timur lainnya, merasa tidak
puas karena status MawªlÌ itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada
masa Bani Umayyah. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan
oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak
sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping
itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap
perkembangan agama sangat kurang. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan
dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh
keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, serta kaum MawªlÌ yang merasa dikelasduakan
oleh Bani Umayyah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran
Arab Islam, terj. Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Fzee, AA., Kebudayaan Islam, terj. Syamsuddin
Abdullah. Yogyakarta: PT. Bagus Arofah, 1982.
Koentjoroningrat, Bunga
Rampai Kebudayaan: Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1984.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Tamaddun Muslim: Bunga Rampai
Kebudayaan Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Syalabi, A., Sejarah & Kebudayaan
Islam 2. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003.
Taufik Abdullah, " Umayyah " Ensiklopedi
Islam, ed. Taufik Abdullah et.al., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.
Kelompok Khawarij dan Shi'ah yang
terus menerus memandang Bani Umayyah
sebagai perampas khalifah.
Kelompok muslim Arab di Mekah,
Madinah, dan Irak yang sakit hati atas status istimewa yang diperoleh oleh
penduduk Suriah.
Perlawanan orang-orang
Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi
lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang
dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan
Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari
kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia
dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas
dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan
Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan
Syi’ah. Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia
menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya
secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid
kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak
terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani
Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan
pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj
berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan
ke Makkah. Ka’bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri,
sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya
terbunuh pada tahun 73 H/692 M. Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis
yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah juga dapat diredakan.
Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi
pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah
kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan
wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol.
Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah,
dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam
wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa
prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya
sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia
juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan
dengan muslim Arab.
CyberMQ.com
| Komunitas Muslim Terbesar di Indonesia | http://www.cybermq.com
[2]Nourouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim: Bunga
Rampai Kebudayaan Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 4.
[3]Koentjoroningrat, Bunga Rampai Kebudayaan:
Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1984), 9.
[4] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab Islam, terj.
Khairon Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2007), 229.
[5] Taufik Abdullah, " Umayyah " Ensiklopedi Islam,
ed. Taufik Abdullah et.al., (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), 130.
[6] Ibid.
[7] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, 260.
[8] Hal ini dilakukan agar Ibn Zubair menjadi pemimpin di Hejaz.
[10] A. Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: PT.
Pustaka Al Husna Baru, 2003), 240.
[11] Ibid., 200.
[12] A. Syalabi menyebut pengaku shi'ah sebagai shi'ah gulah, yaitu
orang-orang yang menggunakan kedok shi'ah untuk menciptakan bermacam-macam
kebohongan dan kebatilan dengan maksud memberdayakan Islam dan kaum muslimin.
Mereka sama sekali bukanlah shi'ah, bahkan bukanlah termasuk golongan Muslimin.
[14] Yaitu tentara yang ditempatkan oleh khalifah atau gubernur di
negeri yang telah dibebaskan dan mereka tidak diperkenankan untuk kembali.
[15] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, 260.
[16] Syalabi, Sejarah & Kebudayaan, 262.
[17] Ibid., 253.
[18] Mereka adalah Mustaurid ibn 'Ulfah, haiyan ibn Zhibyan, dan Mu'az
ibn Juwain.
Hard Rock Hotel & Casino Tulsa - MapyRO
BalasHapusFind out what's popular at Hard Rock 김천 출장안마 Hotel & Casino Tulsa in Tulsa, 서울특별 출장안마 including activity, times, 영천 출장안마 Location: 1280 Highway 파주 출장샵 50, Tulsa, 영천 출장안마 OK 73459.