A.
Pendahuluan
Sejarah Islam
mencatat, bahwa pada awal sejarah Islam sudah terjadi perbedaan pendapat bahkan
melahirkan aliran-aliran, baik dalam aspek akidah, fiqih, dan tasawuf. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan aliran dan kelompok keagamaan saat ini tidak bisa
dilepaskan dari sejarah. Salah satu tantangan bagi Islam, bagaimana mengelola
dan menyikapi banyaknya aliran dan kelompok tersebut. Pada satu sisi,
keberadaan aliran dan kelompok merupakan potensi yang luar biasa bagi kekayaan
dan pengembangan khazanah keilmuan Islam. Pada sisi yang lain, hal tersebut
bisa menjadi salah satu faktor timbulnya perseslisihan dan perpecahan bagi
Agama Islam.
Keberadaan
aliran dan kelompok keagamaan memunculkan klaim kebenaran untuk kepentingan
eksistensi mereka. Beberapa aliran dan
organisasi keagamaan yang ada, tidak sedikit yang mengaku wakil Tuhan dan
merasa paling benar dan selamati. Mereka sering “mengatasnamakan” Tuhan dalam
memproduksi ajaran Islam. Mungkin tidak
salah apa yang digambarkan Friedrich Nietzshe[1],
bahwa saat ini umat Islam tidak “menghadirkan” Tuhan dalam kehidupan keagamaan,
terutama dalam hukum Islam.
Dunia Islam
mengalami apa yang digelisahkan oleh Nietzshe. Salah satu penyebabnya adalah
semakin maraknya dan berkembangnya faham fundamentalisme,[2] sedangkan
Khaled M. Abou El Fadl menganggap Wahabisme sebagai gejala
umum dan merupakan contoh kasus yang terlihat dengan jelas, yang memahami Islam
terlalu simplistis dan reduksionis yang pada akhirnya menempatkan otoritas
mereka sebagai Kehendak Tuhan. Pada kesempatan lain Khaled M. Abou El Fadl
mengklaim bahwa gerakan tersebut di era pasca-kolonial lebih membahayakan terhadap warisan kekayaan, keilmuan
dan peradaban Islam, dari pada kolonialisme.[3]
Aspek yang
produktif dalam memproduksi ajaran Islam adalah hukum Islam. Hukum Islam adalah
poros dan inti agama Islam. Dengan mengutip Joseph Schacht, Khaled M. Abou El
Fadl menunjukkan bahwa hukum Islam adalah puncak prestasi peradaban Islam.
Secara tradisional, hukum Islam telah menjadi lahan untuk mengkaji batasan,
dinamika, dan makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Akan tetapi hukum Islam
di hadapan Khaled M. Abou El Fadl, alih-alih memanjakannya, dia malah tidak
percaya bahwa khazanah intelektual itu mampu bertahan dari serbuan trauma
kolonialisme dan modernitas. Bahkan, lanjutnya, sisa-sisa khazanah hukum Islam
klasik tersebut berada di ambang kepunahan. [4]
Salah satu
penyebab munculnya gagasan oleh Khaled M. Abou El Fadl adalah persoalan
penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh
ahli hukum Islam pada CRLO (Counsil for
Scientific Research and Legal Opinions) atau Lembaga Pengkajian Ilmiah dan
Fatwa, sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang diberikan kepercayaan untuk
mengeluarkan fatwa. Menurut Khaled, ada beberapa fatwa yang dianggap problematis,
seperti pelarangan wanita mengunjungi makam suami; wanita mengeraskan suara
dalam berdoa; wanita mengendarai mobil sendiri dan wanita harus didampingi pria
mahramnya.[5]
Ada banyak asumsi cukup menarik dari peradaban Islam, seperti kita dididik
untuk menyakini bahwa Islam membebaskan kaum perempuan dan memberikan hak-hak
mereka secara penuh dan sederajat; bahwa Islam pada dasarnya memiliki tujuan
yang egaliter dan demokratis; dan keadilan sosial termasuk nilai Islam yang
mendasar.[6]
Ditengah-tengah
kegelisahan tersebut, Khaled M. Abou El Fadl hendak menghidupkan kembali
tradisi hukum Islam klasik yang cukup dinamis, dan memiliki basis epistemologi
yang toleran dan pluralistik. Jika Muhammed Arkoun mengklaim, bahwa di dalam
pemikiran Islam, masih terdapat sesuatu yang tak dipikirkan dan yang tak
terpikirkan,[7] maka, Khaled M. Abou El Fadl menginginkan
penggagasan dan perumusan kembali dalam khazanah pemikiran Islam, yaitu
“sesutau yang telah terlupakan”. pada abad pra-modern diskusi mengenai
persoalan, otoritas mujtahid, keberwenangan sumber dan wakil-wakilnya, dan
resiko despotisme intelektual (al-istibdâd bi al-ra’y) telah menjadi
perdebatan yang sengit tetapi kini mulai terlupakan. Maka melalui “sesuatu yang
telah terlupakan” inilah Khaled M. Abou El Fadl mengajak kita melakukan
pembongkaran-pembongkaran terhadap otoritarianisme dalam hukum Islam.
B.
Pembahasan
1.
Biografi
Khaled
M. Abou El Fadl
lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik dan sangat sederhana.
Orang tua beliau adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran
Islam. Beliau mengakui dengan jujur,
bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur
di sekitarnya. Lingkungannya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah “kelompok
terbaik” dan "kelompok yang mewakili Tuhan” di atas bumi. Pada kesempatan
lain, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme
yang dianggapnya “paling benar”. Sebagian masa remajanya habis tersedot oleh
mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang
lain di luar kelompoknya.[8]
Pada
dasarnya, Khaled beruntung memiliki orang tua yang shaleh dan terpelajar.
Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada
Khaled. Saat itu wahabisme yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua
bacaan yang dibaca oleh masyarakat. Penguasa memiliki kepentingan dengan
ideologi wahabisme menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat bagi
masyarakat. Modal bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga
Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam
konstruksi ideologis dan pemikiran kaum “puritan” Wahabi. Klaim mereka terhadap
banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam
memandang agama Islam.
Kesadaran
akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya beliau
menetap di Mesir. Di tempat tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang
dialaminya di Kuwait. Menurut Khaled, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan
otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan
intelektual bagi masyarakatnya. Akan tetapi, bayang-bayang puritanisme tidak
pernah redup dalam dirinya. Ketika Khaled menempuh pendidikan lanjutan di Yale
University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art), kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus
menjadi beban yang tak terhapuskan dalam dirinya. Setelah dari Yale pada tahun 1986, Khaled melanjutkan
ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Ketika tahun
1999, dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic
Studies dan pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Pada
akhirnya di UCLA, ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Pada
saat menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian
Arizona. Ia juga pernah menjadi praktisi
hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.
Selain
menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University
of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM
dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name
pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International
Relegious Freedom di Amerika Serikat. Menurut teman dekatnya, Khaled
dikenal sebagai penggemar berat musik, terutama musik Arab. Dia seorang
penggemar berat legenda Diva Arab (sayyidah
al-Ginaa) Ummi Kultsum. Hari-harinya diisi dengan membaca koleksi
buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan
pribadinya sambil mendengarkan musik.
Sebagai
pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang produktif, antara
lain: Islam and the Chelllengge of Democracy; The Place of Tolerance in
Islam; Rebellion dan Violence in Islamic Law; Speaking in Gods Name: Islamic
Law, Authority, dan Woman; Melawan Tentara Tuhan (terjemahan dari And
God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic
Discourse; Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab
(terjemahan dari Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam;
The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourse.
Khaled
juga memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa
yang tak terhitung jumlahnya. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung
oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer
yang sedang berkembang. Siapapun membaca karya-karya Khaled akan menemukan dan
merasakan adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan
khazanah pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang
sering dikhayalkan banyak orang.
Bukunya,
Musyawarah Buku, mengisahkan dialognya dengan para ulama masa lalu seperti Imam
Ibnu Hanbal, Al-Jahiz, dan al-Juwainy. Dengan bahasa prosa yang indah, Khaled
meratapi betapa banyak umat Islam yang asing dengan tradisi klasik. Khaled
menyatakan, dengan sikap terbuka dan lapang dada seorang akan menemukan
pengkayaan dalam membaca khazanah klasik Islam. Khaled juga meratapi hilangnya
kebebasan intelektual di kalangan umat Islam di berbagai wilayah selama
berabad-abad.
Buku
Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman yang sudah
diterjemahkan dengan judul terjemahan Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter Ke
Fikih Otoritatif, Khaled mengkritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat
Islam yang merasa “paling benar” dalam menafsirkan Teks Suci al-Qur'an dan
Hadis dalam menyikapi persoalan masyarakat. Menurut Khaled, seharusnya
mengatakan bahwa tafsiran mereka hanya salah satu dari tafsir atas Kitab Suci
selain ribuan tafsir yang ada. Khaled lebih menekankan kajian pada kritik atas
Fikih Islam. Berbekal kemampuan pengetahuan yang luas atas khazanah klasik
Fikih Islam memungkinkannya mengkritik kesalahan cara ijtihad umat Islam,
terlebih kelompok atau organisasi keagamaan. Misalnya, kelompok-kelompok yang
menggunakan hadis atau ayat Suci tanpa memahami konteks, makna, maghza, dan
signifikansi moralnya. Mereka menjadikan Ayat Suci dan Hadis sebagai proyek
hukum positif tanpa menyadari bahwa kedua sumber otoritatif tersebut adalah
sumber moral. Dengan memposisikan sebagai sumber moral, al-Qur'an dan Sunnah
akan memberikan pencerahan kepada para pembacanya dalam menjalani kehidupan
mereka.
2.
Pemikiran
Khaled M. Abou El Fadl
a.
Konsep Otoritas
dan Otoritarianisme
Penggunaan pendekatan
hermeneutika tidak begitu populer di kalangan umat Islam, sebab selalu di
kaitkan dengan pengaruh biblical studies
dilingkungan kristen, yang hendak diterapkan dalam kajian kitab suci al-Qur’an.
Khaled M. Abou El Fadl melalui pendekatan hermeneutika otritatifnya berusaha
melahirkan wacana kritis terhadap otonomi penafsiran hukum Islam yang bersifat
otoriter pada diskursus otoritatif. Setelah itu mengidentifikasi anatomi
diskursus otoritas teks dan mengusulkan otoritas teks merupakan suatu hal yang
utama dalam membatasi kewenangan pembaca. Dalam karya Atas Nama Tuhan: Dari
Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Khaled M. Abou El Fadl menyajikan
sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian
dalam Islam. Pembahasan otoritas nampaknya sangat penting bagi Khaled M. Abou
El Fadl, karena tanpa otoritas, maka yang terjadi adalah beragama secara relatif,
individual bahkan subjektif. Oleh sebab
itu perlu ada hal-hal yang baku (al-tsawabit) dalam agama.
Hal yang
penting sebelum mengkaji proses terbentuknya pemegang otoritas dalam Islam
sebagaimana dimaksud Khaled M. Abou El Fadl, adalah memperjelas pemahaman
terhadap teoritik otoritas. Dalam pengertiannya, istilah otoritas sulit
dijelaskan karena mengandung ambiguitas dan kompleksitas penggunaan istilah
yang ditujukan dalam berbagai jenis aktivitas sosial yang bervariasi. Akan
tetapi, secara umum sifat dasar otoritas adalah menempatkan kemampuan untuk
membuat pihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan
keinginan pihak yang memiliki otoritas.
Berkaitan dengan
otoritas, Khaled M. Abou El Fadl membedakan jenisnya, yakni otoritas yang
bersifat koersif dan otoritas yang bersifat persuasif. Otoritas yang bersifat
koersif untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil
keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan
berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain
kecuali harus sesuai dan mengikutinya. Sedangkan otoritas yang bersifat
persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif, yakni kemampuan untuk
mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan yang
dimilikinya.[9]
Dalam konteks ini, meminjam terminologi Richard Friedman, Khaled M. Abou El
Fadl membedakan antara “memangku otoritas” (being in authority; berada
di dalam kekuasaan) dan “memegang otoritas” (being an authority;
keberadaan kekuasaan). Menurut Friedman sebagaimana dikutip Khaled M. Abou El
Fadl, “memangku otoritas” diartikan suatu otoritas didapatkan dengan jabatan
struktural dan cenderung memaksa kepada orang lain untuk menerimanya. Faktanya
kalam kasus ini tidak dikenal adanya “ketundukan atas keputusan pribadi”,
karena seseorang bisa saja berbeda pendapat dengan yang memangku otoritas,
namun tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti dan mematuhinya. Sedangkan
“pemegang otoritas” adalah suatu otoritas yang didapatkan tanpa jabatan
struktural dan paksaan, melainkan karena kapabilitas dan akseptabilitas
seseorang yang akhirnya memunculkan kesadaran orang lain untuk menerima dan
mentaatinya.
[10]
Secara sintesis
Khaled M. Abou El Fadl menganggap terminologi “memangku otoritas” Friedman
tidak lain adalah otoritas koersif, karena orang yang memiliki jabatan struktur
ditaati lantaran memiliki kekuasaan yang bersifat memaksa. Sedangkan otoritas persuasif sejalan dengan makna
ungkapan “memegang otoritas”, dengan memegang otoritas atau menjadi otoritatif
melibatkan unsur kepecayaan, dan setiap prilaku yang dapat memelihara
kepercayaan tersebut, termasuk memberikan argumentasi persuasif, akan melanggengkan
dan meningkatkan otoritas.[11]
Menurut Khaled
M. Abou El Fadl, otoritas persuasif atau “pemegang otoritas” tidak melibatkan
penyerahan secara total atau penyerahan otonomi tanpa syarat. Pendapat yang sejalan
dengan Khaled M. Abou El Fadl, April Carter menyatakan “pemegang otoritas”
memiliki suasana otoritarian terhadap pihak lain (baca: bawahannya), tetapi itu
tidak harus menuntut kepatuhan mutlak dari pihak lain. Seseorang yang mempunyai
keahlian pengetahuan (kapabilitas dan akseptabilitas) berada dalam posisi
memberi pelayanan kepada pihak lain yang berharap pada ketrampilannya dengan
mempertimbangkan urgensinya sehingga terbuka peluang untuk tidak menerima atau
mencari alternatif lainnya.[12] Khaled M. Abou El Fadl menyatakan bahwa
menyejajarkan antara otoritas dengan praktik taklid adalah hal yang tidak masuk
akal tampaknya telah menemukan momentumnya.[13]
Khaled M. Abou
El Fadl menggunakan teori otoritas tersebut ingin mencoba mengkonstruksi
gagasan tentang pemegang otoritas dalam dikursus ke-Islam-an. Pembentukan
tentang konsep otoritas Islam sebagai wujud menjembatani kehendak Tuhan, Khaled
M. Abou El Fadl memperhatikan tiga hal berikut: Pertama berkaitan dengan
“kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga
berkaitan dengan “perwakilan”. Tiga pokok persoalan inilah menurut Khaled M.
Abou El Fadl, memainkan peranan penting dalam membentuk “pemegang otoritas”
dalam dikursus ke-Islam-an.[14]
Otoritas dalam diskursus ke-Islam-an bukan tanpa persoalan, karena dengan sikap
kesewenang-wenangan terhadap gagasan otoritas akan menggiring pada sikap
otoritiarianisme. Dengan demikian ini menyiscayakan gagasan otoritas di satu
sisi akan saling berhadapan dengan sikap otoritarianisme di sisi lain.
Otoritarianisme
menurut Khaled M. Abou El Fadl, adalah tindakan mengunci dan mengurung kehendak
Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan makna, dan kemudian menyajikan
penetapan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan
peruntukannya. Otoritarianisme juga ditandai dengan penyatuan pembaca dengan
teks, sehingga penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan teks eksklusif. Dampaknya
teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Proses tersebut teks
tersebut akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi
pengganti teks. Apabila seorang pembaca memilih sebuah
cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain,
teks tersebut larut kedalam karakter pembaca. Sehingga jika pembaca melampaui
dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah bahwa pembaca akan
menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit, dan otoriter.[15]
Maka dari itu, pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Bahkan lebih
jauh lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran
itu sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi (autentisitas)
yang sama dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah). Dalam keadaan posisi seperti
ini, maka secara realitas ontologis Tuhan “otoritarianisme” telah mengambil
alih kehendak Tuhan oleh wakil Tuhan. Dengan demikian, perbedaan antara wakil
dan Tuannya menjadi tidak jelas dan kabur. Pada akhirnya, pernyataan antara
seorang wakil dan kehendak Tuhan menjadi satu dan serupa.
[16]
Subyektifitas
dalam penafsiran ditegaskan oleh Khaled M. Abou El Fadl, bahwa semua penafsiran
terdapat kecenderungan yang pasti mengarah kepada otoritarianisme. Hal ini
ditandai dengan penetapan makna yang bersifat tetap dan tidak bisa berubah. Menurut
Khaled M. Abou El Fadl, lagi-lagi dalam pengertian ini, moralitas tertinggi
adalah moralitas diskursusnya, bukan semata-mata ketetapannya. Adapun dalam
konteks otoritarianisme, gagasan tentang “teks terbuka” sangat membantu untuk
memahami pemikiran Khaled M. Abou El Fadl. Kitab suci al-Qur’ân dan sunnah
adalah karya yang membiarkan dirinya terbuka bagi strategi penafsiran.[17]
Khaled M. Abou
El Fadl menambahkan, bahwa dalam penetapan makna terdapat proses dialektika
yang tidak akan pernah final, sebaliknya penafsiran yang otoriter akan menganut
sebuah tesis bahwa ia akan tiba pada sebuah kebenaran akhir, atau akan mencapai
sebuah sintesis bahwa ia mesti dipandang final dan tidak bisa berubah. Dengan
bahasa lain, proses penafsiran otoriter ini percaya bahwa ia mendengar firman
Tuhan dengan jelas dan lugas, serta bebas dari ambiguitas dari teks. Seandainya
penafsiran otoriter ini sepenuhnya terlibat dalam proses dialektika, maka ia
akan memperpendek proses tersebut, karena teks memiliki spektrum yang luas. Bahkan
selalu ada ketegangan antara teks dan representasinya.[18]
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa otoritarianisme sebenarnya
berseberangan dengan gagasan tentang kemutlakan pengetahuan Tuhan. Di dalam al-Qur’an
secara tegas menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan bersifat mutlak dan bahwa
pengetahuan-Nya tidak dapat disejajarkan dengan pengetahuan siapapun.
Terjemahnya: Ia berkata:
"Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah dan aku
(hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku
lihat kamu adalah kaum yang bodoh". (QS. Al-Ahqa>f: 23)
Pada ayat Al-Qur’ân lainnya juga menyatakan,
Terjemahnya:
“Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak
ada yang dapat mengubah Kalimat-Kalimat Tuhan dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115)
b.
Gagasan
Hermeneutika Sebagai Pendekatan
Ada salah satu
gagasan terpenting yang disajikan oleh Khaled M. Abou El Fadl dalam usahanya
menggali “sesuatu yang telah terlupakan” adalah mengembalikan jati diri
otoritas keagamaan (kompetensi –autentisitas, penetapan makna, perwakilan) dari
sikap otoritarianisme dengan melawan paksa upaya penaklukan dan penutupan teks.
Menurut Khaled, teks tetap bebas, terbuka, dan otonom. Gagasan yang sama juga pernah disampaikan oleh Farid
Esack dengan memahami al-Quran sebagai “pewahyuan progresif”.[19]
Untuk itu, untuk menghindari sikap otoriter adalah tetap sadar bahwa teks
(al-Qur’an) merupakan karya yang terus berubah atau wahyu yang progresif. Segala
bentuk penafsiran dan pemahaman akan terus aktif, dinamis dan progresif. Usaha tersebut
perlu perangkat tepat yang digunakan sebagai pisau analisis. Dalam konteks ini,
perangkat yang digunakan Khaled M. Abou El Fadl lebih kepada apa yang dinamakan
dengan hermeneutika.
1. Penetapan
Makna: Teks, Tradisi dan Asumsi
Posisi manusia
di hadapan teks adalah ‘lidah’ sebagai artikulatur sekaligus interpreter teks. Keberadaan
manusia dalam subjek teks, bukan tanpa masalah, malah sebaliknya. Maka tidak
jarang, kita jatuh pada “pembunuhan teks” dan “pelacuran hermeneutika” yang
merampas kesucian teks. Pada saat semua berhak bersetubuh dengan teks tanpa
kewewenangan, tidak ada yang bisa menjamin teks tersebut ditafsirkan
sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya. Di dalam posisi ini, teks akan
ditelanjangi dari autentitas, makna dan tujuannya. Menurut Khaled M. Abou El
Fadl, sikap tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang yang menyuburkan
penafsiran otoriter.
Menurut Khaled
M. Abou El Fadl untuk menjaga autentisitas teks, maka kita membutuhkan
keseimbangan kekuatan yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca
(balance of power between the author, reader and text). Maka penetapan
makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis
antara ketiga unsur di atas (pengarang, teks, dan pembaca). Idealnya salah satu
maksud tiga unsur itu tidak ada yang mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah
penafsiran yang menghormati peranan, otonomi dan integritas teks. Pertanyaannya,
bagaimana ketika teks memiliki otonomi
dan makna tersendiri sedangkan pembaca juga membawa subjektifitas yang bisa
melahirkan makna lain, bagaimana relasi dialektis dua makna tersebut? Memang Khaled
M. Abou El Fadl tidak menjelaskan lebih lanjut, dia hanya memberikan kaidah
“perimbangan kekuatan” antara pengarang yang diwakili teks dengan pembaca.
Pandangan Nashr
Hamid Abou-Zayd dalam bukunya Naqd al-Khithab al-Dini tentang perbedaan
“makna statis” dan “makna progresif”. Nashr Hamid membedakan “arti
historis-orisinil” teks yang disebut ma’na (pengertian) dan “arti
realistas-modern” teks yang disebut maghza (signifikansi). Masih menurut
Nashr Hamid Abu-Zayd, perbedaan makna dan signifikansi terletak pada dua aspek.
Pertama, “makna” adalah pemahaman terhadap teks yang berasal dari
konteks internal bahasa (al-siyaq al-lughawi al-dhakhili) dan konteks
eksternal sosio-kultural ekstern (al-siyaq al-tsaqafi al-ijtima’i al-khariji).
Adapun “signifikansi” adalah pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi
kekinian melalui perspektif pembaca teks. Keterkaitan hubungan antara makna dan
signifikansi seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisah. Lebih jauh,
“signifikansi” lahir dari pemahaman kita terhadap makna asal teks-teks. Kedua,
“makna” bersifat statis-relatif (al-tsabit al-nisbi), bersifat statis
karena ia merupakan makna asli (otonom) teks sehingga terus menyertai teks
tersebut, dan relatif karena ia memiliki keterbatasan (ruang dan waktu). Sedangkan
“signifikansi” terus bergerak mengikuti perputaran dan perubahan cakrawala
pembaca.[20]
Di samping
persoalan penetapan makna tersebut, Khaled M. Abou El Fadl juga memaparkan
persoalan penting lainnya, yaitu persoalan pembuktian yang mendasari
pengambilan kesimpulan hukum. Proses pembuktian itu terkait dengan “asumsi
dasar” dalam komunitas penafsiran. Kalau dikaji, ada empat asumsi dasar yang
berfungsi sebagai landasan untuk membangun analisis hukum. Asumsi tersebut
adalah asumsi berbasis nilai, asumsi metodologis, asumsi berbasis iman, dan
asumsi berbasis akal.[21] Adapun Asumsi berbasis nilai dibangun di
atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah
sistem hukum. Contohnya nila-nilai dalam perbedaan dharuriyat, hajiyat, dan
tahsinat. Asumsi metodologis terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan
untuk mencapai tujuan normatif hukum. Perbedaan antara madzhab hukum dipandang
sangat bersifat metodologis. Asumsi berbasis akal berdasar pada
potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif, sebagai hasil dari proses objektif
dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, bukan hasil dari
pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat individual. Asumsi berbasis
iman bukan berasal dari klaim diperoleh dari perintah Tuhan, tapi dinamika
antara manusia (wakil) dan Tuhan. Sedangkan asumsi berbasis iman dibangun di
atas pemahaman-pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan
dan tujuannya.[22]
2. Pelaku
Hermeneutika (penafsir) dan Prinsip-prinsip interpretasi
Ide Khaled M.
Abou El Fadl tentang pelaku hermeneutika dalam Islam adalah menarik untuk
memahami gagasan tentang al-Qur’an. Kalau dikaji, al-Qur’an merujuk pada fakta
bahwa Tuhan telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Makna
Khalifah bisa berarti pewaris, wakil atau pelaksana, tetapi gagasan
dasarnya adalah bahwa manusia diciptakan sebagai wakil Tuhan di dunia. Kehendak
Tuhan yang termanifestasikan dalam Kedaulatan Tuhan tidak akan menegasikan
kewakilan manusia, justru sebaliknya, mengakomodasi kewakilan manusia dan akan
menaikkan derajat mereka sebagai sebuah kontribusi mereka atas penjagaan dan
penegakan hukum Tuhan di muka bumi.
Meskipun
manusia dipandang sebagai pelaksana kehendak Tuannya, sebenarnya mereka sebagai
pelaksana tidak sepenuhnya bebas, karena terikat dengan seperangkat instruksi
yang dikeluarkan Tuannya. Manusia tidak boleh bertindak melampui mandat ini. Dalil untuk
mengetahui Kehendak Tuhan adalah dalil yang akan menjadi
petunjuk, pemandu, tanda atau bukti mengenai Kehendak Tuhan. Pada konteks ini,
ditegaskan bahwa Tuhan tidak mengharapkan sebuah kebenaran yang obyektif atau
tunggal. Tuhan menginginkan agar manusia mencari dan menemukan Kehendak Tuhan. “Kebenaran”
adalah pencarian itu sendiri, pencarian itu sendiri adalah kebenaran yang
tertinggi. Maka dari itu, hasil dari pencarian itu diukur berdasarkan ketulusan
seseorang dalam melakukan pencarian. Hal ini dikarenakan umat manusia bukan
penerima komunikasi yang langsung dan personal dari Tuhan, maka seseorang harus
menyelidiki Kehendak Tuhan melalui suatu Dalil. Dalil untuk mengetahui, memahami dan
menjalankan Kehendak Tuhan sangat beragam, seperti yang telah diperdebatkan
oleh umat Islam selama-selama berabad-abad, yang di antaranya adalah akal dan
nalar (‘aql dan ra’y), intuisi (fitrah), kebiasaan dan
praktik manusia (‘urf dan ‘âdah), dan teks (nash).
Pergumulan seorang wakil untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan dengan
berbagai medium di atas, telah menimbulkan problem hermeneutis yang cukup
serius dan beragam. Ketika seorang wakil berpetualang untuk mengetahui dan
memahami Kehendak Tuhan dengan menggunakan medium teks, juga akan menimbulkan
problem hermeneutis tersendiri.
Sebagian wakil
(orang-orang Islam yang beriman dan shaleh, yang di sebut sebagai wakil umum)
menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada
sekelompok orang atau wakil dari golongan tertentu. Mereka melakukan hal
tersebut “karena, dan hanya karena,” mereka memandang wakil dari golongan
tertentu memiliki otoritas. Adapun kelompok khusus ini menjadi otoritatif
karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman yang khusus terhadap
kehendak Tuhan. Kelompok khusus (disebut dengan wakil khusus) ini dipandang
otoritatif “bukan karena mereka memangku otoritas”, tetapi karena
persepsi wakil umum menyangkut otoritas mereka berkaitan dengan seperangkat
perintah (petunjuk) yang mengarah pada Jalan Tuhan. Penyerahan keputusan
untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan, dari wakil umum kepada wakil
khusus juga memiliki problem hermeneutis tersendiri –misalnya, pada proses
tindak komunikasi dan dialog di antara keduanya.
Pemahaman yang
bisa diambil, bahwa kerja hermeneutika dalam kasus Islam, memiliki beberapa
subyek, yang antara lain Tuhan, medium (teks dan lainnya), dan manusia (yang
terbagi ke dalam wakil khusus dan wakil umum). Selain itu Kehendak Tuhan
terwujud sebagai Kedaulatan Tuhan yang diekspresikan melalui berbagai medium.
Manusia sebagai wakil Tuhan berkewajiban untuk merealisasikan Kedaulatan Tuhan
tersebut di muka bumi ini, dengan mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan
melalui berbagai medium, tetapi sebagai medium yang terpenting adalah teks. Proses
pemahaman terhadap teks memunculkan problem hermeneutis, pada tingkat pertama.
Wakil Tuhan terbagi menjadi dua kategori, wakil umum dan wakil khusus. Di mana
yang pertama menyerahkan tugas mencari dan mengetahui kehendak Tuhan kepada
yang terakhir, lagi-lagi di sini juga memunculkan problem hermeneutis
tersendiri.
Adapun dalam
melakukan pelimpahan otoritas wakil khusus dan untuk menghindari penyelewengan
otoritas tersebut, Khaled M. Abou El Fadl mengajukan “lima syarat
keberwenangan” yang harus dipenuhi wakil khusus ketika ia menerima otoritas
yang diberikan wakil umum dan agar wakil khusus tidak menyelewengkannya (prinsip-prinsip
penafsiran), karena tidak hanya berbicara tentang penjagaan otoritas, tapi juga
menggagas bagaimana sebuah proses penafsiran menjadi “bertanggung jawab.”
Adapun lima (5)
syarat kewenangan (baca: kompetensi penafsir) sebagai berikut; Pertama,
kejujujuran (honesty), meiliki kejujuran, dapat dipercaya untuk menjadi
wakil dalam memahami perintah Tuhan. Kedua, Kesungguhan (diligence),
mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami Kehendak Tuhan.
Ketiga kemenyeluruhan (comprehensiveness), melakukan penyelidikan
secara menyeluruh untuk memahami Kehendak Tuhan. Keempat, rasionalitas (reasonableness)
melakukan upaya penafsiran dan menganalisis perintah-perintah Tuhan secara
rasional. Kelima pengendalian diri (self-restraint) memiliki
kerendahan hati dan pengendalian diri dalam menjelaskan Kehendak Tuhan.[23]
Seorang wakil harus memiliki kewaspadaan untuk menghindari penyimpangan
atas peran Tuhan, berarti dia harus mengenal batasan peran yang menjadi haknya
saja. Seorang wakil khusus jika tidak memiliki syarat di atas maka akan mudah
melakukan pemahaman dan tindakan yang otoriter dengan mengatasi namakan Tuhan.
3.
Jeda-Ketelitian (Teks dengan Asumsi Pembaca/Penafsir)
Khaled M. Abou
El Fadl meyakini berbagai medium non-tekstual dan ultra tekstual dapat menjadi
jembatan untuk mengetahui kehendak Tuhan, layaknya teks. Berbagai medium ini,
nantinya juga akan mempengaruhi kepada pembaca dalam mengkaji teks. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pembaca/penafsir yang mendatangi teks tidak
dengan kepala yang hampa, berbagai asumsi telah tertancap di otaknya yang
dikonstruksi oleh tradisi Persoalannya sekarang adalah, ketika beberapa asumsi
bawaan tersebut, kita misalkan asumsi berbasis iman atau asumsi berbasis nilai,
yang telah dibawa oleh pembaca/penafsir bertentangan dengan teks. Menurut Khaled
M. Abou El Fadl, dalam kondisi semacam ini pembaca/penafsir harus melakukan
jeda-ketelitian (conscientious-pause) yang akan menghasilkan keberatan
berbasis-iman (objection faith-based) terhadap teks.[24]
Setelah
mengalami konflik yang sangat mendasar antara keyakinan yang berlandaskan
ketelitian dan penetapan tekstual, seseorang yang bertanggung jawab dan
merenung harus diam sejenak. Maksud dari jeda ini bukan sekedar untuk menampik
teks atau menolak penetapan tersebut, tapi untuk merenungkan dan menyelidikinya
secara lebih mendalam lagi. Ini serupa dengan menggarisbawahi sebuah persoalan
untuk kemudian mengkajinya lebih lanjut, dan menangguhkan keputusan hingga
kajian tersebut rampung.
Menurut Khaled
M. Abou El Fadl, hal ini akan memunculkan dua kemungkinan yang saling
bertolakbelakang. Pertama, persoalan tersebut akan terpecahkan, dan
pertentangan tersebut bisa didamaikan. Contohnya, seorang pembaca/penafsir
mungkin akan berkesimpulan bahwa konflik tersebut hanya terjadi di permukaan
saja, bukan realitas sebenarnya, atau bahwa penetapan ini tidak bersikap adil
pada teks. Atau mungkin menyimpulkan bahwa dalam kesadaran yang mantap seorang harus
tunduk dan taat pada penetapan teks. Kedua, mungkin juga pemecahan
masalah yang memadai tidak dapat ditemukan, dan bahwa kesadaran individu dan
penetapan tekstual terus terkubur dalam konflik yang tidak terselesaikan. Jika
kemungkinan yang kedua ini benar-benar muncul, maka seseorang harus mengikuti
suara hatinya (istafti qalbak) –tapi dengan catatan jika seseorang
tersebut telah sungguh-sungguh dalam mencari pemecahan terhadap konflik yang
terjadi.
c.
Contoh-kasuistik
(Membuat suami dan Tuhan Tetap Gembira dan membawa kita masuk Surga)
Salah satu
persoalan yang ditetapkan oleh CRLO, yaitu penetapan istri tunduk pada
suaminya. Menurut Khaled, CRLO dan ahli hukum lainnya seringkali mengutip hadis
yang keluar dari konteks ketaatan dan ketundukan pada suami. Hadis-hadis
semacam itu menyebutkan bahwa derajat kesalehan seorang istri bergantung pada
keridlaan suaminya. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu>
Da>wu>d, al Tirmidzi>, Ibnu Ma>jah, Ibn Hibba>n, dan al
Ha>kim mengklaim bahwa Umm Salamah,
istri Nabi meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “seorang istri yang
meninggal dan suaminya ridla kepadanya, maka ia akan masuk surga”. Tingkat
autentisitas hadis tersebut sejajar dengan hadis tentang bersujud kepada suami.
Para komentator dalam sumber klasik yang terkenal, Riya>dh al S}a>lihi>n, mengatakan bahwa maksudnya
adalah, “selama isteri tersebut saleh dan suaminya ridla kepadanya, maka ia
akan masuk surga”. Hal ini kesimpulan dari implikasi bunyi teks (mafhu>m al nash, mitsa>q al-nash
atau madlmum al nash).
Teks literalnya
tidak menyebut perempuan saleh. Hal ini menimbulkan persoalan karena pemahaman
itu menggantungkan keridlaan Tuhan pada keridlaan suami. Seorang istri mungkin
saleh, tapi suaminya tidak, tapi tetap saja yang menjadi patokan ridlanya
suami. Jadi kita dipaksa untuk mengikuti konsekuensinya lebih lanjut, hadis
tersebut hanya berlaku jika suami dan istri adalah orang saleh. Pernyataan
tersebut tetap problematis, karena bagaimana seandainya istri lebih saleh
daripada suaminya? Bagaimana jika suami berwatak pelit, berperilaku buruk, atau
pemarah, atau kasar, atau pengecut, atau bodoh, atau pemalas? Tanpa
mempertimbangkan segala kemungkinan suami mempunyai sifat tersebut, keridlaan
Tuhan bergantung keridlaan suami. Sebelum kita mengakui bahwa hadis tersebut
meletakkan prinsip teologis yang mendassar, hadis tersebut harus memenuhi
standar autentisitas tertinggi. Kenyataannya tidak demikian.
Versi lain
hadis tersebut berasal dari Anas ibn Ma>lik yang meriwayatkan bahwa Nabi
pernah bersabda, “jika seorang perempuan salat lima kali sehari, berpuasa
ramadlan, patuh pada suami, dan menjaga kehormatannya, maka ia masuk surga.
Kita mungkin saja mengemukakan hadis ini menjelaskan atau menghususkan versi
hadis sebelumnya. Namun logika seperti itu juga mengandung persoalan. Pertama, versi tersebut hanya diterima
oleh sejumlah perawi yang lebih kecil jumlahnya dari pada perawi hadis yang
pertama. Kedua, salah seorang perawi
dalam hadis ini adalah Ibn Luhay’ah, yang diapndang tidak bisa dipercaya. Ketiga, versi hadis ini sama sekali
tidak menghilangkan kekurangjelasan versi hadis yang pertama. Misalnya,
bagaimana halnya dengan kewajiban lainnya, seperti membayar zakat, atau
menunaikan Haji? Mungkin ibadah tersebut diserahkan kepada kemampuan keuangan
suami. Tapi bagaimana jika istri kaya dan suaminya miskin? Tapi bagaimana jika
seandainya istri telah menjalankan ibadah salat, puasa, dan menjaga
kehormatannya, dan patuh pada suaminya, tapi ia melakukan perbuatan yang amat
tercela? Bagaimana seandainya ia suka memfitnah, mencela orang, memukul
anaknya, mencuri milik tetangga, dan menghina orang miskin? Apakah ia tetap
masuk surga? Satu-satunya cara untuk menjawab “tidak” terhadap
pertanyaan-pertanyaan di atas adalah dengan melekatkan makna yang berbeda
dengan makna literal hadis tersebut.
Adapun lainnya
seperti hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda, “salat dan perbuatan
baik seorang istri tidak akan diterima Tuhan selama suaminya masih marah
kepadanya.” Hadis lain berasal dari Abd Allah ibn Umar mengklaim bahwa Nabi
pernah bersabda, “Tuhan tidak akan memedulikan seorang perempuan yang tidak
bersyukur kepada suaminya, padahal kenyataannya ia bergantung pada suaminya.”
Riwayat lain juga mengklaim bahwa Nabi pernah bersabda,”jika seorang istri
membuat marah suaminya, istri-surgawi suaminya (hu>r al-‘ayn) akan berkata, semoga Tuhan melaknatmu! Jangan
membatnya (suami) marah! Ia Cuma seorang tamu yang mengunjungimu dan sebentar
lagi akan meninggalkanmu dan tinggal bersama kami.
Hadis-hadis
tersebut memerlukan jeda-ketelitian, hadis-hadis tersebut mengusik kesadaran,
bertentangan dengan gambaran sifat Nabi, dan berlawanan dengan semangat
al-Qur’an. Dengan sejumlah gambaran minimal, kita dapat melihat adanya
pertentangan antara prinsip-prinsip mendasar yang diletakkan al-Qur’an dan
hadis tentang ketundukan dan ketaatan kepada suami. Al-Qur’an berbicara tentang
cinta, kasih sayang, persahabatan, dan perempuan saleh yang taat kepada Tuhan,
bukan kepada suami. Mungkin saja kita mengatakan bahwa memaksa istri unuk
melayani suami di atas punggung binatang, menuntut kepatuhan total atau
ketaatan membabi buta, tidak selaras dengan konsep cinta, kasih sayang,
persahabatan, kesalehan dan ketaatan kepada Tuhan. Menurut Khaled, konsep
al-Qur’an tentang pernikahan tidak didasarkan pada pengabdian membabi buta,
tapi pada kasih sayang dan kemitraan. Kesalehan tidak disandarkan pada
keridlaan kepada seorang manusia, tapi pada ketaqwaan dan ketaatan kepada
Tuhan.
Persoalannya
adalah, apakah benar hadis-hadis ahad yang memiliki berbagai versi, yang tidak
mencapai derajat antentisitas tertinggi dan yang memiliki logika teologi dan
dampak sosial yang mendalam, bertolak belakang dengan al-Qur’an? Apakah hadis
di atas bisa sebagai sumber hukum? Menurut Khaled, proporsionalitas harus
dikedepankan, yang tentunya hanya memerlukan hadis-hadis dengan derajat
autentisistas tertinggi untuk dijadikan landasan dalam persoalan keagamaan yang
penting atau yang memiliki dampak sosial yang penting. Yang penting dicatat
adalah, jika pandangan tersebut dikemukakan oleh seorang wakil khusus yang
telah menerapkan kelima prasyarat keberwenangan, termasuk mengemukakan
keberatannya yang berbasis ketelitian, kita tidak dapat melukiskan pandangannya
sebagai bentuk otoritarianisme. Bagaimanapun, seorang wakil khusus telah
menunjukkan kerendahan hati, pengendalian diri, dan kesungguhan dalam
menganalisis semua kemungkinan, dan setelah mengungkapkannya, para wakil umum
bebas untuk meneruskan atau menarik kembali kepercayaan dan ketundukan mereka.
Pemikiran
Khaled M. Abou El Fadl menganut paham “relativitas”, sebaliknya pemikiran
seperti ini inspirasinya justru –meminjam teorinya Amin Abdullah tentang
perkembangan pemikiran Islam yang selalu mendasarkan pada– termuat dalam
“normativitas dan historisitas,”[25]
Secara seksama kita telah melihat bagaimana Khaled M. Abou El Fadl
mengkonstruksi otoritarianisme dan tawarannya untuk mengembalikan jati diri
otoritas. Hal ini terlihat bagaimana Khaled M. Abou El Fadl menolak ketika seseorang
telah menemukan maksud pengarang, karena hal itu tidak mungkin, yang disebabkan
oleh berbagai faktor yang melingkupinya, tradisi, karakteristik teks, pembaca
dan situasi historis. Secara tidak langsung, dia telah menyatakan “niat awal
dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami
teks.” Yang terpenting adalah bahwa tawaran hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl,
yang digagas dari paradigma hukum Islam dalam konstruksinya tentang
hermeneutika tidak hanya aplikatif dalam penafsiran al-Qur’an, tapi juga pada
teks-teks Islam yang lain. Dengan kata lain, Khaled M. Abou El Fadl telah
mencoba melakukan rancang bangun hermeneutika yang dapat menjadi
prinsip-prinsip umum dalam menafsirkan teks-teks Islam (baik yang sakral maupun
yang profan).
C.
Penutup
1. Khaled
M. Abou El Fadl
lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang
tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya
dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang
memang subur di lingkungannya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale
University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus
menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot
energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of
Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan
ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang
pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA
pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh
kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona.
Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.
Saat ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di
Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai
aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat
sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission
on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.
Sebagai pakar
dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang produktif, antara lain: Islam
and the Chelllengge of Democracy; The Place of Tolerance in Islam; Rebellion
dan Violence in Islamic Law; Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan
Woman; Melawan Tentara Tuhan (terjemahan dari And God knows the Soldiers:
The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse; Musyawarah
Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (terjemahan dari Conference
of The Books: The Search for the Beauty in Islam; The Authoritative and
The Authoritarian in Islamic Discourse. Khaled juga memiliki paper kuliah
yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung jumlahnya.
Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas
khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer yang sedang berkembang.
2.
Adapun beberapa pemikiran Khaled M.
Abou El Fadl sebagai berikut:
Dalam
konstruksinya konsep otoritas Islam sebagi wujud menjembatani kehendak Tuhan,
Khaled M. Abou El Fadl memerhatikan tiga hal berikut: Pertama berkaitan
dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan
makna”. Ketiga berkaitan dengan “perwakilan”. Tiga pokok persoalan
inilah menurut Khaled M. Abou El Fadl, memainkan peranan penting dalam
membentuk “pemegang otoritas” dalam dikursus ke-Islam-an. Meinstrem
otoritas sendiri bagi Khaled M. Abou El Fadl sangat penting, sebab tanpa
otoritas yang terjadi adalah beragama secara subjektif, relatif dan individual.
Akan tetapi menempatkan otoritas, yang dalam hal ini berkaitan dengan
“kompetensi –autentisitas–”, “penetapan makna”, “perwakilan” tentu bukan tanpa
persoalan, karena dengan sikap kesewenang-wenangan terhadap gagasan otoritas
akan menggiring pada sikap otoritarianisme. Pada ranah otoritsrianisme akan
terjadi tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks,
dalam sebuah penetapan makna, dan menyajikannya sebagai sesuatu yang pasti,
absolut, dan menentukan.
Adapun gerak
heremenutika tersebut antara lain adalah membutuhkan “keseimbangan kekuatan”
yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca. Dengan kata lain,
penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan
dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Sementara
itu seorang pembaca/penafsir (dalam hal ini wakil khusus) dalam membaca teks
agar tidak terjadi penyelewengan otoritas harus memenuhi “lima syarat
keberwenangan (kompetensi)” sebagai prinsip-prinsip penafsiran yang
“bertanggung jawab”. Antara lain, kejujujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan,
rasionalitas, dan pengendalian diri. Pada persoalan lain, kenyataan bahwa
pembaca/penafsir tidak bebas asumsi, maka dalam menafsirkan terkadang
bertentang dengan teks. Dalam kondisi semacam ini pembaca/penafsir harus
melakukan jeda-ketelitian terhadap teks.
DAFTAR PUTAKA
Abu Zayd, Nashr
Hamid. Naqd al-Khithab al-Dini, Cairo: Madbuli, 1995.
Abdullah, Amin.
“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi
Komunitas Pencari Makna, Pengarang dan Pembaca,” dalam Khaled M. Khaled M. Abou
El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj.
R. Cecep Lukman Yasin Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Arkoun,
Mohammed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj.
Rahayu S. Hidayat Jakarta: INIS, 1994.
Azra, Azyumardi.
“Memahami Gejala Fundamentalisme,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. IV No. 3
1993.
Carter, April. Otoritas
dan Demokrasi, terj. Sahat Simamora Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
El Fadl, Khaled
M., Abou. Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang
dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2003.
---------. Atas
Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman
Yasin Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Esack, Farid. Membebaskan
Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman Bandung: Mizan, 2000.
Nietzshe,
Friedrich. The Joyful Wisdom, trans. Thomas Common London: NtN Voulis,
tt.
[1] Friedrich
Nietzshe (1844-1900) dalam salah satu karyanya membuat ilustrasi orang gila
yang mondar-mandir di pasar sambil berujar, Tidakkah kita mendengar kesibukan
para penggali kubur yang sedang mengubur Tuhan? Apakah kita tidak mencium bau
bangkai Tuhan? Bahkan Tuhan telah menjadi busuk. Tuhan mati. Tuhan akan tetap
mati, dan kita telah membunuhnya.” Ilustrasi Nietzshe yang memaklumatkan
kematian Tuhan ini tentu bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan symbol
kegelisahan terhadap bentuk kepercayaan nilai-nilai universal-absolut agama
yang telah menyetubuhi kreativitas individu sebagai objek yang tak berdaya.
[2] Menurut Azyumardi Azra, bahwa fundamentalisme sering
memiliki citra negatif. Sementara orang menolak penggunaan istilah “fundamentalisme”
untuk menyebut gejala keagamaan di kalangan Muslim. Terlepas dari
keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam
fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni
kembali kepada “fundamentals” (dasar-dasar) agama secara “penuh” dan
“literal,” bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpertasi. Lihat Azyumardi
Azra, “Memahami Gejala Fundamentalisme,” Ulumul Qur’an, Vol. IV No. 3
(1993), 3.
[3] Khaled M. Abou
El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang
dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2003), h. 38.
[4] Khaled M. Abou
El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih
Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 1.
[5]
Amin
Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi
Komunitas Pencari Makna, Pengarang dan Pembaca,” dalam Khaled M. Abou El Fadl, Atas,
h. ix.
[6]
El
Fadl, Melawan Tentara, h. 19.
[7] Mohammed
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj.
Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), h. 14.
[8] http://www.serambi.co.id/
gagas/ 8/ khaled – abou - el- fadl- fikih- otoritatif- untuk- kemanusiaan#.
VxA4o3rHzIU. Diakses tanggal 11 Oktober 2015.
[9] El Fadl, Atas,
37.
[10] Ibid.
[12] April Carter, Otoritas
dan Demokrasi, terj. Sahat Simamora (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 31
[13] El Fadl, Atas,
40.
[14] Ibid., 50.
[15] Ibid., h. 206.
[16] Ibid., h. 205.
[17] Ibid., 212.
[19] Farid Esack, Membebaskan
Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 87
[20] Nashr Hamid
Abu-Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî, (Cairo: Madbuli, 1995), h. 221
[21] El Fadl, Atas,
h. 227.
[22] Ibid., 231.
[23] Ibid., h.
100-103.
[24] Ibid., h. 140.
[25] Abdullah, “Pendekatan
Hermeneutik, h. vii-xvii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar