Rabu, 14 September 2016

KRITIK OTORITARIANISME HUKUM ISLAM (KAJIAN PEMIKIRAN HERMENEUTIKA KHALED M. ABOU EL FADL)



A.    Pendahuluan
Sejarah Islam mencatat, bahwa pada awal sejarah Islam sudah terjadi perbedaan pendapat bahkan melahirkan aliran-aliran, baik dalam aspek akidah, fiqih, dan tasawuf. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan aliran dan kelompok keagamaan saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Salah satu tantangan bagi Islam, bagaimana mengelola dan menyikapi banyaknya aliran dan kelompok tersebut. Pada satu sisi, keberadaan aliran dan kelompok merupakan potensi yang luar biasa bagi kekayaan dan pengembangan khazanah keilmuan Islam. Pada sisi yang lain, hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor timbulnya perseslisihan dan perpecahan bagi Agama Islam. 
Keberadaan aliran dan kelompok keagamaan memunculkan klaim kebenaran untuk kepentingan eksistensi mereka.  Beberapa aliran dan organisasi keagamaan yang ada, tidak sedikit yang mengaku wakil Tuhan dan merasa paling benar dan selamati. Mereka sering “mengatasnamakan” Tuhan dalam memproduksi ajaran Islam.  Mungkin tidak salah apa yang digambarkan Friedrich Nietzshe[1], bahwa saat ini umat Islam tidak “menghadirkan” Tuhan dalam kehidupan keagamaan, terutama dalam hukum Islam.
Dunia Islam mengalami apa yang digelisahkan oleh Nietzshe. Salah satu penyebabnya adalah semakin maraknya dan berkembangnya faham fundamentalisme,[2] sedangkan  Khaled M. Abou El Fadl menganggap Wahabisme sebagai gejala umum dan merupakan contoh kasus yang terlihat dengan jelas, yang memahami Islam terlalu simplistis dan reduksionis yang pada akhirnya menempatkan otoritas mereka sebagai Kehendak Tuhan. Pada kesempatan lain Khaled M. Abou El Fadl mengklaim bahwa gerakan tersebut di era pasca-kolonial lebih membahayakan terhadap warisan kekayaan, keilmuan dan peradaban Islam, dari pada kolonialisme.[3]
Aspek yang produktif dalam memproduksi ajaran Islam adalah hukum Islam. Hukum Islam adalah poros dan inti agama Islam. Dengan mengutip Joseph Schacht, Khaled M. Abou El Fadl menunjukkan bahwa hukum Islam adalah puncak prestasi peradaban Islam. Secara tradisional, hukum Islam telah menjadi lahan untuk mengkaji batasan, dinamika, dan makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Akan tetapi hukum Islam di hadapan Khaled M. Abou El Fadl, alih-alih memanjakannya, dia malah tidak percaya bahwa khazanah intelektual itu mampu bertahan dari serbuan trauma kolonialisme dan modernitas. Bahkan, lanjutnya, sisa-sisa khazanah hukum Islam klasik tersebut berada di ambang kepunahan. [4]
Salah satu penyebab munculnya gagasan oleh Khaled M. Abou El Fadl adalah persoalan penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh ahli hukum Islam pada CRLO (Counsil for Scientific Research and Legal Opinions) atau Lembaga Pengkajian Ilmiah dan Fatwa, sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa. Menurut Khaled, ada beberapa fatwa yang dianggap problematis, seperti pelarangan wanita mengunjungi makam suami; wanita mengeraskan suara dalam berdoa; wanita mengendarai mobil sendiri dan wanita harus didampingi pria mahramnya.[5] Ada banyak asumsi cukup menarik dari peradaban Islam, seperti kita dididik untuk menyakini bahwa Islam membebaskan kaum perempuan dan memberikan hak-hak mereka secara penuh dan sederajat; bahwa Islam pada dasarnya memiliki tujuan yang egaliter dan demokratis; dan keadilan sosial termasuk nilai Islam yang mendasar.[6]    
Ditengah-tengah kegelisahan tersebut, Khaled M. Abou El Fadl hendak menghidupkan kembali tradisi hukum Islam klasik yang cukup dinamis, dan memiliki basis epistemologi yang toleran dan pluralistik. Jika Muhammed Arkoun mengklaim, bahwa di dalam pemikiran Islam, masih terdapat sesuatu yang tak dipikirkan dan yang tak terpikirkan,[7] maka, Khaled M. Abou El Fadl menginginkan penggagasan dan perumusan kembali dalam khazanah pemikiran Islam, yaitu “sesutau yang telah terlupakan”. pada abad pra-modern diskusi mengenai persoalan, otoritas mujtahid, keberwenangan sumber dan wakil-wakilnya, dan resiko despotisme intelektual (al-istibdâd bi al-ra’y) telah menjadi perdebatan yang sengit tetapi kini mulai terlupakan. Maka melalui “sesuatu yang telah terlupakan” inilah Khaled M. Abou El Fadl mengajak kita melakukan pembongkaran-pembongkaran terhadap otoritarianisme dalam hukum Islam.

B.    Pembahasan
1.     Biografi
Khaled M. Abou El Fadl lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik dan sangat sederhana. Orang tua beliau adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran Islam. Beliau mengakui  dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di sekitarnya. Lingkungannya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah “kelompok terbaik” dan "kelompok yang mewakili Tuhan” di atas bumi. Pada kesempatan lain, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya “paling benar”. Sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya.[8]
Pada dasarnya, Khaled beruntung memiliki orang tua yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Khaled. Saat itu wahabisme yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang dibaca oleh masyarakat. Penguasa memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat bagi masyarakat. Modal bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum “puritan” Wahabi. Klaim mereka terhadap banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya beliau menetap di Mesir. Di tempat tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurut Khaled, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya. Akan tetapi, bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika Khaled menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art), kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan dalam dirinya. Setelah  dari Yale pada tahun 1986, Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Ketika tahun 1999, dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies dan pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Pada akhirnya di UCLA, ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Pada saat menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Ia juga pernah  menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.
Selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat. Menurut teman dekatnya, Khaled dikenal sebagai penggemar berat musik, terutama musik Arab. Dia seorang penggemar berat legenda Diva Arab (sayyidah al-Ginaa) Ummi Kultsum. Hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya sambil mendengarkan musik.
Sebagai pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang produktif, antara lain: Islam and the Chelllengge of Democracy; The Place of Tolerance in Islam; Rebellion dan Violence in Islamic Law; Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman; Melawan Tentara Tuhan (terjemahan dari And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse; Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (terjemahan dari Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam; The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourse.
Khaled juga memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung jumlahnya. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer yang sedang berkembang. Siapapun membaca karya-karya Khaled akan menemukan dan merasakan adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan khazanah pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang sering dikhayalkan banyak orang.
Bukunya, Musyawarah Buku, mengisahkan dialognya dengan para ulama masa lalu seperti Imam Ibnu Hanbal, Al-Jahiz, dan al-Juwainy. Dengan bahasa prosa yang indah, Khaled meratapi betapa banyak umat Islam yang asing dengan tradisi klasik. Khaled menyatakan, dengan sikap terbuka dan lapang dada seorang akan menemukan pengkayaan dalam membaca khazanah klasik Islam. Khaled juga meratapi hilangnya kebebasan intelektual di kalangan umat Islam di berbagai wilayah selama berabad-abad.
Buku Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman yang sudah diterjemahkan dengan judul terjemahan Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, Khaled mengkritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat Islam yang merasa “paling benar” dalam menafsirkan Teks Suci al-Qur'an dan Hadis dalam menyikapi persoalan masyarakat. Menurut Khaled, seharusnya mengatakan bahwa tafsiran mereka hanya salah satu dari tafsir atas Kitab Suci selain ribuan tafsir yang ada. Khaled lebih menekankan kajian pada kritik atas Fikih Islam. Berbekal kemampuan pengetahuan yang luas atas khazanah klasik Fikih Islam memungkinkannya mengkritik kesalahan cara ijtihad umat Islam, terlebih kelompok atau organisasi keagamaan. Misalnya, kelompok-kelompok yang menggunakan hadis atau ayat Suci tanpa memahami konteks, makna, maghza, dan signifikansi moralnya. Mereka menjadikan Ayat Suci dan Hadis sebagai proyek hukum positif tanpa menyadari bahwa kedua sumber otoritatif tersebut adalah sumber moral. Dengan memposisikan sebagai sumber moral, al-Qur'an dan Sunnah akan memberikan pencerahan kepada para pembacanya dalam menjalani kehidupan mereka.

2.     Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl
a.     Konsep Otoritas dan Otoritarianisme
Penggunaan pendekatan hermeneutika tidak begitu populer di kalangan umat Islam, sebab selalu di kaitkan dengan pengaruh biblical studies dilingkungan kristen, yang hendak diterapkan dalam kajian kitab suci al-Qur’an. Khaled M. Abou El Fadl melalui pendekatan hermeneutika otritatifnya berusaha melahirkan wacana kritis terhadap otonomi penafsiran hukum Islam yang bersifat otoriter pada diskursus otoritatif. Setelah itu mengidentifikasi anatomi diskursus otoritas teks dan mengusulkan otoritas teks merupakan suatu hal yang utama dalam membatasi kewenangan pembaca. Dalam karya Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Khaled M. Abou El Fadl menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Pembahasan otoritas nampaknya sangat penting bagi Khaled M. Abou El Fadl, karena tanpa otoritas, maka yang terjadi adalah beragama secara relatif,  individual bahkan subjektif. Oleh sebab itu perlu ada hal-hal yang baku (al-tsawabit) dalam agama.
Hal yang penting sebelum mengkaji proses terbentuknya pemegang otoritas dalam Islam sebagaimana dimaksud Khaled M. Abou El Fadl, adalah memperjelas pemahaman terhadap teoritik otoritas. Dalam pengertiannya, istilah otoritas sulit dijelaskan karena mengandung ambiguitas dan kompleksitas penggunaan istilah yang ditujukan dalam berbagai jenis aktivitas sosial yang bervariasi. Akan tetapi, secara umum sifat dasar otoritas adalah menempatkan kemampuan untuk membuat pihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan pihak yang memiliki otoritas.
Berkaitan dengan otoritas, Khaled M. Abou El Fadl membedakan jenisnya, yakni otoritas yang bersifat koersif dan otoritas yang bersifat persuasif. Otoritas yang bersifat koersif untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus sesuai dan mengikutinya. Sedangkan otoritas yang bersifat persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif, yakni kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan yang dimilikinya.[9] Dalam konteks ini, meminjam terminologi Richard Friedman, Khaled M. Abou El Fadl membedakan antara “memangku otoritas” (being in authority; berada di dalam kekuasaan) dan “memegang otoritas” (being an authority; keberadaan kekuasaan). Menurut Friedman sebagaimana dikutip Khaled M. Abou El Fadl, “memangku otoritas” diartikan suatu otoritas didapatkan dengan jabatan struktural dan cenderung memaksa kepada orang lain untuk menerimanya. Faktanya kalam kasus ini tidak dikenal adanya “ketundukan atas keputusan pribadi”, karena seseorang bisa saja berbeda pendapat dengan yang memangku otoritas, namun tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti dan mematuhinya. Sedangkan “pemegang otoritas” adalah suatu otoritas yang didapatkan tanpa jabatan struktural dan paksaan, melainkan karena kapabilitas dan akseptabilitas seseorang yang akhirnya memunculkan kesadaran orang lain untuk menerima dan mentaatinya. [10]
Secara sintesis Khaled M. Abou El Fadl menganggap terminologi “memangku otoritas” Friedman tidak lain adalah otoritas koersif, karena orang yang memiliki jabatan struktur ditaati lantaran memiliki kekuasaan yang bersifat memaksa. Sedangkan  otoritas persuasif sejalan dengan makna ungkapan “memegang otoritas”, dengan memegang otoritas atau menjadi otoritatif melibatkan unsur kepecayaan, dan setiap prilaku yang dapat memelihara kepercayaan tersebut, termasuk memberikan argumentasi persuasif, akan melanggengkan dan meningkatkan otoritas.[11]
Menurut Khaled M. Abou El Fadl, otoritas persuasif atau “pemegang otoritas” tidak melibatkan penyerahan secara total atau penyerahan otonomi tanpa syarat. Pendapat yang sejalan dengan Khaled M. Abou El Fadl, April Carter menyatakan “pemegang otoritas” memiliki suasana otoritarian terhadap pihak lain (baca: bawahannya), tetapi itu tidak harus menuntut kepatuhan mutlak dari pihak lain. Seseorang yang mempunyai keahlian pengetahuan (kapabilitas dan akseptabilitas) berada dalam posisi memberi pelayanan kepada pihak lain yang berharap pada ketrampilannya dengan mempertimbangkan urgensinya sehingga terbuka peluang untuk tidak menerima atau mencari alternatif lainnya.[12] Khaled M. Abou El Fadl menyatakan bahwa menyejajarkan antara otoritas dengan praktik taklid adalah hal yang tidak masuk akal tampaknya telah menemukan momentumnya.[13]
Khaled M. Abou El Fadl menggunakan teori otoritas tersebut ingin mencoba mengkonstruksi gagasan tentang pemegang otoritas dalam dikursus ke-Islam-an. Pembentukan tentang konsep otoritas Islam sebagai wujud menjembatani kehendak Tuhan, Khaled M. Abou El Fadl memperhatikan tiga hal berikut: Pertama berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga berkaitan dengan “perwakilan”. Tiga pokok persoalan inilah menurut Khaled M. Abou El Fadl, memainkan peranan penting dalam membentuk “pemegang otoritas” dalam dikursus ke-Islam-an.[14] Otoritas dalam diskursus ke-Islam-an bukan tanpa persoalan, karena dengan sikap kesewenang-wenangan terhadap gagasan otoritas akan menggiring pada sikap otoritiarianisme. Dengan demikian ini menyiscayakan gagasan otoritas di satu sisi akan saling berhadapan dengan sikap otoritarianisme di sisi lain.
Otoritarianisme menurut Khaled M. Abou El Fadl, adalah tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan makna, dan kemudian menyajikan penetapan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan peruntukannya. Otoritarianisme juga ditandai dengan penyatuan pembaca dengan teks, sehingga penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan teks eksklusif. Dampaknya teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Proses tersebut teks tersebut akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Apabila seorang pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, teks tersebut larut kedalam karakter pembaca. Sehingga jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah bahwa pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit, dan otoriter.[15] Maka dari itu, pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Bahkan lebih jauh lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi (autentisitas) yang sama dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah). Dalam keadaan posisi seperti ini, maka secara realitas ontologis Tuhan “otoritarianisme” telah mengambil alih kehendak Tuhan oleh wakil Tuhan. Dengan demikian, perbedaan antara wakil dan Tuannya menjadi tidak jelas dan kabur. Pada akhirnya, pernyataan antara seorang wakil dan kehendak Tuhan menjadi satu dan serupa. [16]
Subyektifitas dalam penafsiran ditegaskan oleh Khaled M. Abou El Fadl, bahwa semua penafsiran terdapat kecenderungan yang pasti mengarah kepada otoritarianisme. Hal ini ditandai dengan penetapan makna yang bersifat tetap dan tidak bisa berubah. Menurut Khaled M. Abou El Fadl, lagi-lagi dalam pengertian ini, moralitas tertinggi adalah moralitas diskursusnya, bukan semata-mata ketetapannya. Adapun dalam konteks otoritarianisme, gagasan tentang “teks terbuka” sangat membantu untuk memahami pemikiran Khaled M. Abou El Fadl. Kitab suci al-Qur’ân dan sunnah adalah karya yang membiarkan dirinya terbuka bagi strategi penafsiran.[17]
Khaled M. Abou El Fadl menambahkan, bahwa dalam penetapan makna terdapat proses dialektika yang tidak akan pernah final, sebaliknya penafsiran yang otoriter akan menganut sebuah tesis bahwa ia akan tiba pada sebuah kebenaran akhir, atau akan mencapai sebuah sintesis bahwa ia mesti dipandang final dan tidak bisa berubah. Dengan bahasa lain, proses penafsiran otoriter ini percaya bahwa ia mendengar firman Tuhan dengan jelas dan lugas, serta bebas dari ambiguitas dari teks. Seandainya penafsiran otoriter ini sepenuhnya terlibat dalam proses dialektika, maka ia akan memperpendek proses tersebut, karena teks memiliki spektrum yang luas. Bahkan selalu ada ketegangan antara teks dan representasinya.[18]
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa otoritarianisme sebenarnya berseberangan dengan gagasan tentang kemutlakan pengetahuan Tuhan. Di dalam al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan bersifat mutlak dan bahwa pengetahuan-Nya tidak dapat disejajarkan dengan pengetahuan siapapun.
Terjemahnya:  Ia berkata: "Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku lihat kamu adalah kaum yang bodoh". (QS. Al-Ahqa>f: 23)

Pada ayat Al-Qur’ân lainnya juga menyatakan,
Terjemahnya: “Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah Kalimat-Kalimat Tuhan dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115)


b.     Gagasan Hermeneutika Sebagai Pendekatan
Ada salah satu gagasan terpenting yang disajikan oleh Khaled M. Abou El Fadl dalam usahanya menggali “sesuatu yang telah terlupakan” adalah mengembalikan jati diri otoritas keagamaan (kompetensi –autentisitas, penetapan makna, perwakilan) dari sikap otoritarianisme dengan melawan paksa upaya penaklukan dan penutupan teks. Menurut Khaled, teks tetap bebas, terbuka, dan otonom. Gagasan  yang sama juga pernah disampaikan oleh Farid Esack dengan memahami al-Quran sebagai “pewahyuan progresif”.[19] Untuk itu, untuk menghindari sikap otoriter adalah tetap sadar bahwa teks (al-Qur’an) merupakan karya yang terus berubah atau wahyu yang progresif. Segala bentuk penafsiran dan pemahaman akan terus aktif, dinamis dan progresif. Usaha tersebut perlu perangkat tepat yang digunakan sebagai pisau analisis. Dalam konteks ini, perangkat yang digunakan Khaled M. Abou El Fadl lebih kepada apa yang dinamakan dengan hermeneutika.
1. Penetapan Makna: Teks, Tradisi dan Asumsi
Posisi manusia di hadapan teks adalah ‘lidah’ sebagai artikulatur sekaligus interpreter teks. Keberadaan manusia dalam subjek teks, bukan tanpa masalah, malah sebaliknya. Maka tidak jarang, kita jatuh pada “pembunuhan teks” dan “pelacuran hermeneutika” yang merampas kesucian teks. Pada saat semua berhak bersetubuh dengan teks tanpa kewewenangan, tidak ada yang bisa menjamin teks tersebut ditafsirkan sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya. Di dalam posisi ini, teks akan ditelanjangi dari autentitas, makna dan tujuannya. Menurut Khaled M. Abou El Fadl, sikap tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang yang menyuburkan penafsiran otoriter.
Menurut Khaled M. Abou El Fadl untuk menjaga autentisitas teks, maka kita membutuhkan keseimbangan kekuatan yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca (balance of power between the author, reader and text). Maka penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (pengarang, teks, dan pembaca). Idealnya salah satu maksud tiga unsur itu tidak ada yang mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati peranan, otonomi dan integritas teks. Pertanyaannya, bagaimana  ketika teks memiliki otonomi dan makna tersendiri sedangkan pembaca juga membawa subjektifitas yang bisa melahirkan makna lain, bagaimana relasi dialektis dua makna tersebut? Memang Khaled M. Abou El Fadl tidak menjelaskan lebih lanjut, dia hanya memberikan kaidah “perimbangan kekuatan” antara pengarang yang diwakili teks dengan pembaca.
Pandangan Nashr Hamid Abou-Zayd dalam bukunya Naqd al-Khithab al-Dini tentang perbedaan “makna statis” dan “makna progresif”. Nashr Hamid membedakan “arti historis-orisinil” teks yang disebut ma’na (pengertian) dan “arti realistas-modern” teks yang disebut maghza (signifikansi). Masih menurut Nashr Hamid Abu-Zayd, perbedaan makna dan signifikansi terletak pada dua aspek. Pertama, “makna” adalah pemahaman terhadap teks yang berasal dari konteks internal bahasa (al-siyaq al-lughawi al-dhakhili) dan konteks eksternal sosio-kultural ekstern (al-siyaq al-tsaqafi al-ijtima’i al-khariji). Adapun “signifikansi” adalah pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian melalui perspektif pembaca teks. Keterkaitan hubungan antara makna dan signifikansi seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisah. Lebih jauh, “signifikansi” lahir dari pemahaman kita terhadap makna asal teks-teks. Kedua, “makna” bersifat statis-relatif (al-tsabit al-nisbi), bersifat statis karena ia merupakan makna asli (otonom) teks sehingga terus menyertai teks tersebut, dan relatif karena ia memiliki keterbatasan (ruang dan waktu). Sedangkan “signifikansi” terus bergerak mengikuti perputaran dan perubahan cakrawala pembaca.[20]
Di samping persoalan penetapan makna tersebut, Khaled M. Abou El Fadl juga memaparkan persoalan penting lainnya, yaitu persoalan pembuktian yang mendasari pengambilan kesimpulan hukum. Proses pembuktian itu terkait dengan “asumsi dasar” dalam komunitas penafsiran. Kalau dikaji, ada empat asumsi dasar yang berfungsi sebagai landasan untuk membangun analisis hukum. Asumsi tersebut adalah asumsi berbasis nilai, asumsi metodologis, asumsi berbasis iman, dan asumsi berbasis akal.[21] Adapun Asumsi berbasis nilai dibangun di atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum. Contohnya nila-nilai dalam perbedaan dharuriyat, hajiyat, dan tahsinat. Asumsi metodologis terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan normatif hukum. Perbedaan antara madzhab hukum dipandang sangat bersifat metodologis. Asumsi berbasis akal berdasar pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif, sebagai hasil dari proses objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional, bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat individual. Asumsi berbasis iman bukan berasal dari klaim diperoleh dari perintah Tuhan, tapi dinamika antara manusia (wakil) dan Tuhan. Sedangkan asumsi berbasis iman dibangun di atas pemahaman-pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya.[22]

2. Pelaku Hermeneutika (penafsir) dan Prinsip-prinsip interpretasi
Ide Khaled M. Abou El Fadl tentang pelaku hermeneutika dalam Islam adalah menarik untuk memahami gagasan tentang al-Qur’an. Kalau dikaji, al-Qur’an merujuk pada fakta bahwa Tuhan telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Makna Khalifah bisa berarti pewaris, wakil atau pelaksana, tetapi gagasan dasarnya adalah bahwa manusia diciptakan sebagai wakil Tuhan di dunia. Kehendak Tuhan yang termanifestasikan dalam Kedaulatan Tuhan tidak akan menegasikan kewakilan manusia, justru sebaliknya, mengakomodasi kewakilan manusia dan akan menaikkan derajat mereka sebagai sebuah kontribusi mereka atas penjagaan dan penegakan hukum Tuhan di muka bumi.
Meskipun manusia dipandang sebagai pelaksana kehendak Tuannya, sebenarnya mereka sebagai pelaksana tidak sepenuhnya bebas, karena terikat dengan seperangkat instruksi yang dikeluarkan Tuannya. Manusia tidak boleh bertindak melampui mandat ini. Dalil untuk mengetahui Kehendak Tuhan adalah dalil yang akan menjadi petunjuk, pemandu, tanda atau bukti mengenai Kehendak Tuhan. Pada konteks ini, ditegaskan bahwa Tuhan tidak mengharapkan sebuah kebenaran yang obyektif atau tunggal. Tuhan menginginkan agar manusia mencari dan menemukan Kehendak Tuhan. “Kebenaran” adalah pencarian itu sendiri, pencarian itu sendiri adalah kebenaran yang tertinggi. Maka dari itu, hasil dari pencarian itu diukur berdasarkan ketulusan seseorang dalam melakukan pencarian. Hal ini dikarenakan umat manusia bukan penerima komunikasi yang langsung dan personal dari Tuhan, maka seseorang harus menyelidiki Kehendak Tuhan melalui suatu Dalil. Dalil untuk mengetahui, memahami dan menjalankan Kehendak Tuhan sangat beragam, seperti yang telah diperdebatkan oleh umat Islam selama-selama berabad-abad, yang di antaranya adalah akal dan nalar (‘aql dan ra’y), intuisi (fitrah), kebiasaan dan praktik manusia (‘urf dan ‘âdah), dan teks (nash). Pergumulan seorang wakil untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan dengan berbagai medium di atas, telah menimbulkan problem hermeneutis yang cukup serius dan beragam. Ketika seorang wakil berpetualang untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan dengan menggunakan medium teks, juga akan menimbulkan problem hermeneutis tersendiri.
Sebagian wakil (orang-orang Islam yang beriman dan shaleh, yang di sebut sebagai wakil umum) menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada sekelompok orang atau wakil dari golongan tertentu. Mereka melakukan hal tersebut “karena, dan hanya karena,” mereka memandang wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas. Adapun kelompok khusus ini menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman yang khusus terhadap kehendak Tuhan. Kelompok khusus (disebut dengan wakil khusus) ini dipandang otoritatif “bukan karena mereka memangku otoritas”, tetapi karena persepsi wakil umum menyangkut otoritas mereka berkaitan dengan seperangkat perintah (petunjuk) yang mengarah pada Jalan Tuhan. Penyerahan keputusan untuk mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan, dari wakil umum kepada wakil khusus juga memiliki problem hermeneutis tersendiri –misalnya, pada proses tindak komunikasi dan dialog di antara keduanya.
Pemahaman yang bisa diambil, bahwa kerja hermeneutika dalam kasus Islam, memiliki beberapa subyek, yang antara lain Tuhan, medium (teks dan lainnya), dan manusia (yang terbagi ke dalam wakil khusus dan wakil umum). Selain itu Kehendak Tuhan terwujud sebagai Kedaulatan Tuhan yang diekspresikan melalui berbagai medium. Manusia sebagai wakil Tuhan berkewajiban untuk merealisasikan Kedaulatan Tuhan tersebut di muka bumi ini, dengan mengetahui dan memahami Kehendak Tuhan melalui berbagai medium, tetapi sebagai medium yang terpenting adalah teks. Proses pemahaman terhadap teks memunculkan problem hermeneutis, pada tingkat pertama. Wakil Tuhan terbagi menjadi dua kategori, wakil umum dan wakil khusus. Di mana yang pertama menyerahkan tugas mencari dan mengetahui kehendak Tuhan kepada yang terakhir, lagi-lagi di sini juga memunculkan problem hermeneutis tersendiri.
Adapun dalam melakukan pelimpahan otoritas wakil khusus dan untuk menghindari penyelewengan otoritas tersebut, Khaled M. Abou El Fadl mengajukan “lima syarat keberwenangan” yang harus dipenuhi wakil khusus ketika ia menerima otoritas yang diberikan wakil umum dan agar wakil khusus tidak menyelewengkannya (prinsip-prinsip penafsiran), karena tidak hanya berbicara tentang penjagaan otoritas, tapi juga menggagas bagaimana sebuah proses penafsiran menjadi “bertanggung jawab.”
Adapun lima (5) syarat kewenangan (baca: kompetensi penafsir) sebagai berikut; Pertama, kejujujuran (honesty), meiliki kejujuran, dapat dipercaya untuk menjadi wakil dalam memahami perintah Tuhan. Kedua, Kesungguhan (diligence), mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami Kehendak Tuhan. Ketiga kemenyeluruhan (comprehensiveness), melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk memahami Kehendak Tuhan. Keempat, rasionalitas (reasonableness) melakukan upaya penafsiran dan menganalisis perintah-perintah Tuhan secara rasional. Kelima pengendalian diri (self-restraint) memiliki kerendahan hati dan pengendalian diri dalam menjelaskan Kehendak Tuhan.[23] Seorang wakil harus memiliki kewaspadaan untuk menghindari penyimpangan atas peran Tuhan, berarti dia harus mengenal batasan peran yang menjadi haknya saja. Seorang wakil khusus jika tidak memiliki syarat di atas maka akan mudah melakukan pemahaman dan tindakan yang otoriter dengan mengatasi namakan Tuhan.

3. Jeda-Ketelitian (Teks dengan Asumsi Pembaca/Penafsir)
Khaled M. Abou El Fadl meyakini berbagai medium non-tekstual dan ultra tekstual dapat menjadi jembatan untuk mengetahui kehendak Tuhan, layaknya teks. Berbagai medium ini, nantinya juga akan mempengaruhi kepada pembaca dalam mengkaji teks. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pembaca/penafsir yang mendatangi teks tidak dengan kepala yang hampa, berbagai asumsi telah tertancap di otaknya yang dikonstruksi oleh tradisi Persoalannya sekarang adalah, ketika beberapa asumsi bawaan tersebut, kita misalkan asumsi berbasis iman atau asumsi berbasis nilai, yang telah dibawa oleh pembaca/penafsir bertentangan dengan teks. Menurut Khaled M. Abou El Fadl, dalam kondisi semacam ini pembaca/penafsir harus melakukan jeda-ketelitian (conscientious-pause) yang akan menghasilkan keberatan berbasis-iman (objection faith-based) terhadap teks.[24]
Setelah mengalami konflik yang sangat mendasar antara keyakinan yang berlandaskan ketelitian dan penetapan tekstual, seseorang yang bertanggung jawab dan merenung harus diam sejenak. Maksud dari jeda ini bukan sekedar untuk menampik teks atau menolak penetapan tersebut, tapi untuk merenungkan dan menyelidikinya secara lebih mendalam lagi. Ini serupa dengan menggarisbawahi sebuah persoalan untuk kemudian mengkajinya lebih lanjut, dan menangguhkan keputusan hingga kajian tersebut rampung.
Menurut Khaled M. Abou El Fadl, hal ini akan memunculkan dua kemungkinan yang saling bertolakbelakang. Pertama, persoalan tersebut akan terpecahkan, dan pertentangan tersebut bisa didamaikan. Contohnya, seorang pembaca/penafsir mungkin akan berkesimpulan bahwa konflik tersebut hanya terjadi di permukaan saja, bukan realitas sebenarnya, atau bahwa penetapan ini tidak bersikap adil pada teks. Atau mungkin menyimpulkan bahwa dalam kesadaran yang mantap seorang harus tunduk dan taat pada penetapan teks. Kedua, mungkin juga pemecahan masalah yang memadai tidak dapat ditemukan, dan bahwa kesadaran individu dan penetapan tekstual terus terkubur dalam konflik yang tidak terselesaikan. Jika kemungkinan yang kedua ini benar-benar muncul, maka seseorang harus mengikuti suara hatinya (istafti qalbak) –tapi dengan catatan jika seseorang tersebut telah sungguh-sungguh dalam mencari pemecahan terhadap konflik yang terjadi.

c.     Contoh-kasuistik (Membuat suami dan Tuhan Tetap Gembira dan membawa kita masuk Surga)
Salah satu persoalan yang ditetapkan oleh CRLO, yaitu penetapan istri tunduk pada suaminya. Menurut Khaled, CRLO dan ahli hukum lainnya seringkali mengutip hadis yang keluar dari konteks ketaatan dan ketundukan pada suami. Hadis-hadis semacam itu menyebutkan bahwa derajat kesalehan seorang istri bergantung pada keridlaan suaminya. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wu>d, al Tirmidzi>, Ibnu Ma>jah, Ibn Hibba>n, dan al Ha>kim mengklaim  bahwa Umm Salamah, istri Nabi meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “seorang istri yang meninggal dan suaminya ridla kepadanya, maka ia akan masuk surga”. Tingkat autentisitas hadis tersebut sejajar dengan hadis tentang bersujud kepada suami. Para komentator dalam sumber klasik yang terkenal, Riya>dh al S}a>lihi>n, mengatakan bahwa maksudnya adalah, “selama isteri tersebut saleh dan suaminya ridla kepadanya, maka ia akan masuk surga”. Hal ini kesimpulan dari implikasi bunyi teks (mafhu>m al nash, mitsa>q al-nash atau madlmum al nash).
Teks literalnya tidak menyebut perempuan saleh. Hal ini menimbulkan persoalan karena pemahaman itu menggantungkan keridlaan Tuhan pada keridlaan suami. Seorang istri mungkin saleh, tapi suaminya tidak, tapi tetap saja yang menjadi patokan ridlanya suami. Jadi kita dipaksa untuk mengikuti konsekuensinya lebih lanjut, hadis tersebut hanya berlaku jika suami dan istri adalah orang saleh. Pernyataan tersebut tetap problematis, karena bagaimana seandainya istri lebih saleh daripada suaminya? Bagaimana jika suami berwatak pelit, berperilaku buruk, atau pemarah, atau kasar, atau pengecut, atau bodoh, atau pemalas? Tanpa mempertimbangkan segala kemungkinan suami mempunyai sifat tersebut, keridlaan Tuhan bergantung keridlaan suami. Sebelum kita mengakui bahwa hadis tersebut meletakkan prinsip teologis yang mendassar, hadis tersebut harus memenuhi standar autentisitas tertinggi. Kenyataannya tidak demikian.
Versi lain hadis tersebut berasal dari Anas ibn Ma>lik yang meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “jika seorang perempuan salat lima kali sehari, berpuasa ramadlan, patuh pada suami, dan menjaga kehormatannya, maka ia masuk surga. Kita mungkin saja mengemukakan hadis ini menjelaskan atau menghususkan versi hadis sebelumnya. Namun logika seperti itu juga mengandung persoalan. Pertama, versi tersebut hanya diterima oleh sejumlah perawi yang lebih kecil jumlahnya dari pada perawi hadis yang pertama. Kedua, salah seorang perawi dalam hadis ini adalah Ibn Luhay’ah, yang diapndang tidak bisa dipercaya. Ketiga, versi hadis ini sama sekali tidak menghilangkan kekurangjelasan versi hadis yang pertama. Misalnya, bagaimana halnya dengan kewajiban lainnya, seperti membayar zakat, atau menunaikan Haji? Mungkin ibadah tersebut diserahkan kepada kemampuan keuangan suami. Tapi bagaimana jika istri kaya dan suaminya miskin? Tapi bagaimana jika seandainya istri telah menjalankan ibadah salat, puasa, dan menjaga kehormatannya, dan patuh pada suaminya, tapi ia melakukan perbuatan yang amat tercela? Bagaimana seandainya ia suka memfitnah, mencela orang, memukul anaknya, mencuri milik tetangga, dan menghina orang miskin? Apakah ia tetap masuk surga? Satu-satunya cara untuk menjawab “tidak” terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah dengan melekatkan makna yang berbeda dengan makna literal hadis tersebut.
Adapun lainnya seperti hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda, “salat dan perbuatan baik seorang istri tidak akan diterima Tuhan selama suaminya masih marah kepadanya.” Hadis lain berasal dari Abd Allah ibn Umar mengklaim bahwa Nabi pernah bersabda, “Tuhan tidak akan memedulikan seorang perempuan yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal kenyataannya ia bergantung pada suaminya.” Riwayat lain juga mengklaim bahwa Nabi pernah bersabda,”jika seorang istri membuat marah suaminya, istri-surgawi suaminya (hu>r al-‘ayn) akan berkata, semoga Tuhan melaknatmu! Jangan membatnya (suami) marah! Ia Cuma seorang tamu yang mengunjungimu dan sebentar lagi akan meninggalkanmu dan tinggal bersama kami.
Hadis-hadis tersebut memerlukan jeda-ketelitian, hadis-hadis tersebut mengusik kesadaran, bertentangan dengan gambaran sifat Nabi, dan berlawanan dengan semangat al-Qur’an. Dengan sejumlah gambaran minimal, kita dapat melihat adanya pertentangan antara prinsip-prinsip mendasar yang diletakkan al-Qur’an dan hadis tentang ketundukan dan ketaatan kepada suami. Al-Qur’an berbicara tentang cinta, kasih sayang, persahabatan, dan perempuan saleh yang taat kepada Tuhan, bukan kepada suami. Mungkin saja kita mengatakan bahwa memaksa istri unuk melayani suami di atas punggung binatang, menuntut kepatuhan total atau ketaatan membabi buta, tidak selaras dengan konsep cinta, kasih sayang, persahabatan, kesalehan dan ketaatan kepada Tuhan. Menurut Khaled, konsep al-Qur’an tentang pernikahan tidak didasarkan pada pengabdian membabi buta, tapi pada kasih sayang dan kemitraan. Kesalehan tidak disandarkan pada keridlaan kepada seorang manusia, tapi pada ketaqwaan dan ketaatan kepada Tuhan.
Persoalannya adalah, apakah benar hadis-hadis ahad yang memiliki berbagai versi, yang tidak mencapai derajat antentisitas tertinggi dan yang memiliki logika teologi dan dampak sosial yang mendalam, bertolak belakang dengan al-Qur’an? Apakah hadis di atas bisa sebagai sumber hukum? Menurut Khaled, proporsionalitas harus dikedepankan, yang tentunya hanya memerlukan hadis-hadis dengan derajat autentisistas tertinggi untuk dijadikan landasan dalam persoalan keagamaan yang penting atau yang memiliki dampak sosial yang penting. Yang penting dicatat adalah, jika pandangan tersebut dikemukakan oleh seorang wakil khusus yang telah menerapkan kelima prasyarat keberwenangan, termasuk mengemukakan keberatannya yang berbasis ketelitian, kita tidak dapat melukiskan pandangannya sebagai bentuk otoritarianisme. Bagaimanapun, seorang wakil khusus telah menunjukkan kerendahan hati, pengendalian diri, dan kesungguhan dalam menganalisis semua kemungkinan, dan setelah mengungkapkannya, para wakil umum bebas untuk meneruskan atau menarik kembali kepercayaan dan ketundukan mereka.
Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl menganut paham “relativitas”, sebaliknya pemikiran seperti ini inspirasinya justru –meminjam teorinya Amin Abdullah tentang perkembangan pemikiran Islam yang selalu mendasarkan pada– termuat dalam “normativitas dan historisitas,”[25] Secara seksama kita telah melihat bagaimana Khaled M. Abou El Fadl mengkonstruksi otoritarianisme dan tawarannya untuk mengembalikan jati diri otoritas. Hal ini terlihat bagaimana Khaled M. Abou El Fadl menolak ketika seseorang telah menemukan maksud pengarang, karena hal itu tidak mungkin, yang disebabkan oleh berbagai faktor yang melingkupinya, tradisi, karakteristik teks, pembaca dan situasi historis. Secara tidak langsung, dia telah menyatakan “niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks.” Yang terpenting adalah bahwa tawaran hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl, yang digagas dari paradigma hukum Islam dalam konstruksinya tentang hermeneutika tidak hanya aplikatif dalam penafsiran al-Qur’an, tapi juga pada teks-teks Islam yang lain. Dengan kata lain, Khaled M. Abou El Fadl telah mencoba melakukan rancang bangun hermeneutika yang dapat menjadi prinsip-prinsip umum dalam menafsirkan teks-teks Islam (baik yang sakral maupun yang profan).

C.    Penutup
1.      Khaled M. Abou El Fadl lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi. Saat ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.
Sebagai pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang produktif, antara lain: Islam and the Chelllengge of Democracy; The Place of Tolerance in Islam; Rebellion dan Violence in Islamic Law; Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman; Melawan Tentara Tuhan (terjemahan dari And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse; Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (terjemahan dari Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam; The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourse. Khaled juga memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung jumlahnya. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer yang sedang berkembang.
2.          Adapun beberapa pemikiran Khaled M. Abou El Fadl sebagai berikut:
Dalam konstruksinya konsep otoritas Islam sebagi wujud menjembatani kehendak Tuhan, Khaled M. Abou El Fadl memerhatikan tiga hal berikut: Pertama berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Ketiga berkaitan dengan “perwakilan”. Tiga pokok persoalan inilah menurut Khaled M. Abou El Fadl, memainkan peranan penting dalam membentuk “pemegang otoritas” dalam dikursus ke-Islam-an. Meinstrem otoritas sendiri bagi Khaled M. Abou El Fadl sangat penting, sebab tanpa otoritas yang terjadi adalah beragama secara subjektif, relatif dan individual. Akan tetapi menempatkan otoritas, yang dalam hal ini berkaitan dengan “kompetensi –autentisitas–”, “penetapan makna”, “perwakilan” tentu bukan tanpa persoalan, karena dengan sikap kesewenang-wenangan terhadap gagasan otoritas akan menggiring pada sikap otoritarianisme. Pada ranah otoritsrianisme akan terjadi tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan makna, dan menyajikannya sebagai sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan.
Adapun gerak heremenutika tersebut antara lain adalah membutuhkan “keseimbangan kekuatan” yang harus ada antara maksud teks, pengarang dan pembaca. Dengan kata lain, penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan pembaca). Sementara itu seorang pembaca/penafsir (dalam hal ini wakil khusus) dalam membaca teks agar tidak terjadi penyelewengan otoritas harus memenuhi “lima syarat keberwenangan (kompetensi)” sebagai prinsip-prinsip penafsiran yang “bertanggung jawab”. Antara lain, kejujujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri. Pada persoalan lain, kenyataan bahwa pembaca/penafsir tidak bebas asumsi, maka dalam menafsirkan terkadang bertentang dengan teks. Dalam kondisi semacam ini pembaca/penafsir harus melakukan jeda-ketelitian terhadap teks.




DAFTAR PUTAKA

Abu Zayd, Nashr Hamid. Naqd al-Khithab al-Dini, Cairo: Madbuli, 1995.

Abdullah, Amin. “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna, Pengarang dan Pembaca,” dalam Khaled M. Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Arkoun, Mohammed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat Jakarta: INIS, 1994.

Azra, Azyumardi. “Memahami Gejala Fundamentalisme,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. IV No. 3 1993.

Carter, April. Otoritas dan Demokrasi, terj. Sahat Simamora Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

El Fadl, Khaled M., Abou. Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003.

---------. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Esack, Farid. Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman Bandung: Mizan, 2000.

Nietzshe, Friedrich. The Joyful Wisdom, trans. Thomas Common London: NtN Voulis, tt.

http://www.serambi.co.id/ gagas/ 8/ khaled – abou - el- fadl- fikih- otoritatif- untuk- kemanusiaan#. VxA4o3rHzIU.


[1] Friedrich Nietzshe (1844-1900) dalam salah satu karyanya membuat ilustrasi orang gila yang mondar-mandir di pasar sambil berujar, Tidakkah kita mendengar kesibukan para penggali kubur yang sedang mengubur Tuhan? Apakah kita tidak mencium bau bangkai Tuhan? Bahkan Tuhan telah menjadi busuk. Tuhan mati. Tuhan akan tetap mati, dan kita telah membunuhnya.” Ilustrasi Nietzshe yang memaklumatkan kematian Tuhan ini tentu bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan symbol kegelisahan terhadap bentuk kepercayaan nilai-nilai universal-absolut agama yang telah menyetubuhi kreativitas individu sebagai objek yang tak berdaya.
[2] Menurut  Azyumardi Azra, bahwa fundamentalisme sering memiliki citra negatif. Sementara orang menolak penggunaan istilah “fundamentalisme” untuk menyebut gejala keagamaan di kalangan Muslim. Terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada “fundamentals” (dasar-dasar) agama secara “penuh” dan “literal,” bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpertasi. Lihat Azyumardi Azra, “Memahami Gejala Fundamentalisme,” Ulumul Qur’an, Vol. IV No. 3 (1993), 3.
[3] Khaled M. Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 38.
[4] Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 1.
[5] Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna, Pengarang dan Pembaca,” dalam Khaled M. Abou El Fadl, Atas, h. ix.
[6] El Fadl, Melawan Tentara, h. 19.
[7] Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), h. 14.
[9] El Fadl, Atas, 37.
[10] Ibid.
[11] Ibid., h. 42
[12] April Carter, Otoritas dan Demokrasi, terj. Sahat Simamora (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 31
[13] El Fadl, Atas, 40.
[14] Ibid., 50.
[15] Ibid., h. 206.
[16] Ibid., h. 205.
[17] Ibid., 212.
[18] El Fadl, Melawan, h. 54.
[19] Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 87
[20] Nashr Hamid Abu-Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî, (Cairo: Madbuli, 1995), h. 221
[21] El Fadl, Atas, h. 227.
[22] Ibid., 231.
[23] Ibid., h. 100-103.
[24] Ibid., h. 140.
[25] Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik, h. vii-xvii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar