KEBANGKITAN FALSAFAH
ISLAM
A.
Pendahuluan
Seperti
bangsa-bangsa kuno lainnya, bangsa Arab pra-Islam, merupakan bangsa yang amat
fatalistik. Sisa-sisa puisi mereka (satu-satunya rekaman pemikiran dan adapt
istiadat bangsa Arab) menunjukkan bahwa sebelum kedatangan Islam, penduduk
jazirah Arabia telah menyerahkan diri sepenuhnya pada fatalisme buta. Gagasan
ini mengakibatkan sikap melecehkan kematian dan mengabaikan kehidupan manusia
sama sekali. Ajaran Islam merevolusikan alam pikiran bangsa Arab. Dengan
pengakuan adanya Kecerdasan Yang Maha Tinggi sebagai pengatur alam semesta,
mereka menerima konsepsi tentang kemandirian dan pertanggungjawaban moral yang
didasarkan pada kebebasan kehendak manusia untuk melakukan sebuah perbuatan.[1]
Bangkitnya
filsafat Islam tidak dalam ruang kosong (baca: ahistoris), artinya
terdapat rentetan sejarah yang menimbulkannya. Selain kegiatan ilmiah, perjumpaan
kebudayaan juga menjadi salah satu faktornya. Akulturasi dan asimilasi budaya
merupakan suatu keniscayaan. Tak ada satu bangsa dan budaya manapun yang
terhindar dari proses tersebut. Kemajuan suatu bangsa bahkan tergantung sejauh
mana ia mampu meminjam, menyerap, dan mengambil alih berbagai unsur positif
budaya lain, untuk kemudian mengintegrasikannya secara kreatif ke dalam arus
dinamika budayanya sendiri.
Maka dari itu,
penulis di sini akan memfokuskan pembahasan tentang kebangkitan falsafah Islam
yang meliputi semangat yang memunculkannya serta uraian keadaan filsafat Islam
pada zaman khilafah Umayyah dan khilafah Abbasiyah sebagai puncak kegemilangan
kehidupan filsafat Islam.
B.
Kebangkitan
Falsafah Islam
1.
Sumber
Pemikiran Rasional Islam
Sebagaimana dinyatakan para
peneliti kritis, baik yang muslim maupun non muslim, pemikiran
rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar, melainkan dari kitab suci
mereka sendiri, yaitu al-Qur'ªn, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan
antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal
perkembangan Islam, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan
langsung kepada Nabi Muhammad ketika masih hidup. Akan tetapi, hal itu tidak
bisa lagi dilakukan setelah rasul wafat dan persoalan semakin banyak dan rumit
seirinng dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya
adalah kembali kepada ajaran teks suci al-Qur'ªn lewat berbagai
pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya
mempunyai relevansi filosofis, antara lain penggunaan ta'wÌl; pembedaan antara istilah-istilah atau
pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (mushtarak) dengan
istilah yang hanya mengandung satu arti; penggunaan qiyas (analogi) atas
persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks.
Bersamaan dengan itu, dalam
teologi, masyarakat muslim dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan
yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematikannya
dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Hal ini menggiring para intelektual
muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan
filosofis, dan tidak ada perbedaan dengan filsafat yunani dalam metode
pemecahannya. Perbedaannya terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan
pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yaitu, bahwa pemikiran
teologi Islam didasarkan teks suci, sedang filsafat Yunani didasarkan atas
premis-premis logis, pasti dan baku.
2.
Filsafat
Yunani dalam Falsafah Islam
a. Perjumpaan Filsafat Yunani dengan Islam
Tujuh abad
pra-Islam, dunia sudah diduduki oleh mekarnya kebudayaan Yunani dengan tradisi
pemikiran kefilsafatannya. Secara historis, Thales (624-546 SM) dipandang
sebagai orang Yunani pertama yang menggunakan akal secara serius-sehingga dia
dikenal sebagai bapak filsafat, yang memunculkan pertanyaan aneh; apakah
sebenarnya bahan alam semesta ini? yang kemudian secara generatif diteruskan
oleh Herecleitus (500 SM) dengan hakikat yang ada adalah gerak dan
perubahannya. Paramanides (540 SM) dengan hakikat yang ada adalah diam, Zeno (490
SM) dengan teori kebimbangannya dan Protagoras (411 SM) dengan relativismenya.
Sampai di sini, Athena menjadi ajang gymnastic
intellectual yang pada dataran lain sekaligus menggiringnya ke situasi
buruk yang tidak sistemik. Karena belantara pemikirannya tidak menjanjikan
dasar-dasar pengetahuan yang dapat dipegangi.[2]
Menghadapi keadaan ini, Socrates (399 SM) dengan kebenaran obyektif
dan relatifnya. Kerja akali yang harus ditebus dengan nyawanya sendiri ini,
diteruskan oleh Plato (347 SM) dengan teori idea. Sampai di sini, Athena
kembali tenang setelah sebelumnya digaduhkan oleh penggunaan akal yang
menghentak.
Kebudayaan Yunani yang dominan dengan olah rasionya (filsafat) sesungguhnya
merupakan respon atas tantangan zamannya yang sarat dengan tradisi mitos, majig
dan sihir.[3] Dalam
tahapan selanjutnya reasonansi kebudayaan Yunani ini mampu menembus
wilayah Timur Tengah (Persia), di bawah penaklukan Alexander Agung di tahun 331
SM. Alexander dalam ekspresinya bukanlah agresor
oriented, ia justru berupaya melakukan unifikasi budaya antara Yunani dan
Persia. Pusat-pusat budaya semisal Antioch, Seleucia, Jundishapur dan Bactra
merupakan master plan unifikasi
Alexander, yang belakangan menjadi pusat pengembangan ilmu dan filsafat Yunani.[4]
Pasca Alexander,
kebudayaan Yunani terus berkembang di Timur di bawah era hellenistik dan
Romawi, sementara di Athena sendiri aktifitas intelektual dihentikan oleh
Yustianus. Akan tetapi pada masa ini pemikiran Plato terus dihidupkembangkan,
sehingga populer dengan sebutan era neo-Platonisme.[5] Bukti
otentik maraknya perkembangan kebudayaan Yunani (filsafat) di Timur waktu itu
adalah terdapatnya perpustakaan terbesar di dunia tentang pemikiran Yunani
sekitar abad pertama dan kedua masehi, khususnya pemikiran Plotinus dan Stoisme
di Alexandria.[6]
Ada sedikit diferensiasi
antara kebudayaan Yunani yang berkembang di Alexandria dan yang berkembang di
Athena, di mana kebudayaan Yunani Alexandria lebih berbentuk kosmopolitan dan
bercorak ketimuran (hellenistic).[7] Menurut
De Lacy O'Leary, ahli pemikiran Islam klasik, seperti yang dikutip dalam
ensiklopedi temtis Islam menyatakan bahwa Iskandariyah dan Suriah adalah dua
wilayah penting dalam proses asimilasi budaya Yunani oleh bangsa Arab.
Peradaban Yunani yang dimaksud di sini bukanlah peradaban Yunani yang di
Athena, tetapi peradaban Yunani yang telah diserap, dikembangkan, dan tumbuh
subur di wilayah Iskandariyah, Mesir, yakni peradaban yang dikenal sebagai
Hellenisme. Peradaban baru ini mempunyai kecendrungan yang sangat kuat untuk
menerapkan prinsip pemikiran filosofis dan keilmuan Yunani dari Athena.[8]
Pada wilayah
Timur Tengah transmisi kebudayaan Yunani (filsafat hellenistik)
dijembatani oleh Univesitas Jundishapur, yang didirikan oleh kerajaan Sasanid,
berikut kota-kota “satelit”nya semacam Harran, Antiqe, Edessa dan Bactra.
Inilah kota-kota strategis yang menjadi sentral berkembangnya kebudayaan
Yunani, yang pada gilirannya dikuasai oleh Islam.[9] Di
sinilah bermula perjumpaan kebudayaan Yunani dengan Islam.
b. Filsafat Yunani dalam falsafah Islam
Kiranya menarik
untuk sedikit menyinggung respon negatif (apatis) Arab sebelum Islam
lahir ketika bersentuhan dengan kebudayaan Yunani. Walaupun Arab sudah
berhubungan dengan kota-kota pusat budaya Yunani di Syria, tetapi tetap saja
tidak ada pengaruh.[10] Hal ini
tidak terlalu rumit untuk dipahami, mengingat mentalitas bangsa Arab dan
alamnya yang tidak memberikan kesempatan untuk memeras pikiran secara mendalam
untuk melakukan perenungan. Bahkan ajaran keagamaannya pun tidak memiliki
pembahasan tentang kefilsafatan. Barulah setelah tercerahkan oleh kedatangan
Islam, Arab apresiatif terhadap kebudayaan Yunani, yang ditransfer dari Persia,
lewat Bagdad (Iraq) dengan wadah dªr al-hikmªh.[11]
Sementara Persia-dengan ajaran Zoroasternya-sudah memberikan
pembahasan-pembahasan tentang metafisik, sehingga ada semacam kesiapan
intelektual, dengan apresiatif mengakomodir filsafat Yunani. Hanya saja perlu
dimaklumi bahwa pembahasan mereka tidak seuniversal seperti pembahasan
pemikir-pemikir Yunani.[12] Filsafat Yunani dikembangkan ke Timur oleh kaum imigran Kristen
Barat akibat pertentangan sekte sejak abad ke-3 M. Di antara mereka ada yang
mendirikan tempat-tempat perguruan filsafat di Qannasrin (Syria), Harran
(daerah Irak) dan Jundishapur (Persia).
Di samping itu adanya penerjemahan kedalam bahasa Arab terhadap
buku-buku India, Iran dan buku Suryani–Ibrani, terutama sekali buku-buku
Yunani. Para penerjemah mendapat kedudukan yang tinggi di kalangan khalifah dan
para pembantunya. Golongan Masehi Nestorian dan Yakobites mempunyai bagian yang
cukup dalam membangun dunia pimikiran Islam, karena mereka merupakan pewaris
kebudayaan Yunani di dunia Timur dan menjadi penghubung antara kebudayaan Arab
Islam yang masih muda dengan kebudayaan Yunani Latin yang telah menghilang.
Dalam ensiklopedi tematis dunia Islam, dijelaskan bahwa penerjemahan karya
intelektual Yunani Kuno di negeri Arab sudah dimulai jauh sebelum lahirnya
agama Islam atau penaklukan Asia Barat Daya oleh bangsa Arab pada tahun 641 M.
Pekerjaan tersebut telah dirintis oleh para pengikut Kristen monofosit serta
Nestorian, dan kemudian dilanjutkan oleh kaum muslim.[13]
Setelah unsur-unsur kebangunan kaum Muslimin sudah lengkap, maka
muncullah mereka sebagai golongan yang mempunyai kepribadian sendiri dan
memperdalam apa yang telah dipelajari sebelumnya, kemudian mereka menambah
karya-karya baru yang disumbangkan kepada karya-karya kemanusiaan seluruhnya,
antara lain dalam masalah astronomi, ketabiban, kimia, tasawuf dan terutama
filsafat.
3.
Falsafah
Islam Masa Dinasti Umayyah
Satu hal yang penting untuk
dicatat adalah ketika bangsa Arab menaklukkan suatu wilayah, mereka tidak mencampuri
urusan bahasa dan kebudayaan bangsa tersebut. Itulah sebabnya pada awal sejarah
Islam, bahasa resmi Negara adalah Yunani atau Persia. Akan tetapi dalam
perjalanan waktu, dirasakan perlu untuk
beralih ke bahasa Arab, yang tidak hanya merupakan bahasa al-Qur'ªn, tetapi juga cukup kaya untuk dapat menyerap dan mengakomodasi
berbagai bahasa dunia. Oleh sebab itu, dalam masa pemerintahan Islam, adalah
arah penerjemahan diubah dari bahasa Suria ke bahasa Arab.
Pada masa dinasti Umayyah,
semua karya Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Suriah, kemudian
diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Seperti Khalifah Marwan pernah
memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dari
Iskandariyah, ke dalam bahasa Suriah dan diterjemahkan lagi ke dalam bahasa
Arab. Demikian juga karya aristoteles juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
sehingga tersebar luas dan menjadi perantara penyampaiannya ke dunia dan budaya
lain. Salah sebabnya yaitu ketika pada zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat
banyak bahasa yang digunakan di dalam administrasi, seperti bahasa Persia,
Yunani, dan Qibti (penduduk asli Mesir). Atas usaha Salih bin Abdur Rahman,
sekretaris al-Hajjªj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Administrasi.
Perhatian pada bahasa Arab mulai diberikan dan untuk menyempurnakan pengetahuan
mereka tentang bahasa Arab, maka hal ini mendorong lahirnya seorang ahli bahasa
seperti Sibawaih yang karya tulisnya, al-kitāb, menjadi pegangan dalam soal
tata bahasa Arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab Jahiliyyah
muncul kembali sehingga sastra Arab mengalami kemajuan.
Dalam dinasti Umayyah, dunia
intelektual Islam masih mengalami tahap perkembangan. Hal ini seperti yang
dikatakan Philip K. Hitti dalam bukunya Makers of Arab History, "The
Umayyad had rapport with Byzantine government and culture, but their
preoccupation was military, and their period remained one of intellectual
incubation. It was left to this seventh 'Abbasid Chaliph-in a city where
Syrian, Persian and Greek cultures meet and interplay-to write the uniqe
chapter he did in Islam the religion and Islam the culture".[14]
Dalam masa ini,
gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang, seperti dalam bidang keagamaan,
sejarah dan filsafat. Dalam bidang filsafat berjalan karena umat Islam pada
akhir masa bani Umayyah terpaksa menggunakannya di dalam perdebatan dengan kaum
Yahudi dan Nasrani serta di antara sesama penganut Islam.
4.
Falsafah
Islam Masa Dinasti Abasiyyah
Pada zaman pemerintahan
Dinasti Abbasiyah terjadi gerakan penerjemahan secara besar-besaran ke dalam
bahasa Arab. Gerakan ini terjadi dua fase, yaitu fase pertama, dimulai pada
awal berdirinya dinasti Abbasiyah hingga masa pemerintahan al-Ma'mun (132 H/750
M-198 H/814 M). Pada fase ini, karya besar Yunani klasik telah diterjemahkan.
Kebanyakan para penerjemahnya adalah orang Kristen, Yahudi, dan mereka baru
memeluk agama Islam. Fase kedua, adalah pada era pemerintahan al-Ma'mun dan
generasi sesudahnya. Pada fase ini, penerjemahan di pusatkan di akademi yang
baru didirikan di Baghdad, yakni Bait al-Hikmªh.
Khallifah al-Mansur yang
dikenal sangat menyukai filsafat, ilmu hukum, dan astronomi mendirikan kota
Baghdad pada tahun 148 H/765 M. Beliau juga dikabarkan pernah memerintahkan
penerjemahan banyak naskah filsafat dan sains Yunani, dan memberi upah yang
besar kepada para penerjemahnya.
Kemajuan yang sangat besar
juga dicapai pada masa pemerintahan Harun al-Rashid. Dalam bukunya a short
history of the arab peoples, Sir John Glubb menyatakan "Haroon had been
well educated ini religion, philosophy and literature, and his reign was marked
by a high standard of intellectual activity".[15]
Masa kegemilangan filsafat
nampak pada zaman pemerintahan al-Ma'mun. Khalifah al-Ma'mun menyediakan dana
dengan jumlah besar untuk penerjemahan karya filsafat. Sir John Glubb
menyatakan "Mamoon had always been devoted to books and learned pursuits.
His brilliant mind was interested in every form of intellectual activity. Not
only poetry, but also philosophy, theology, astronomy, medicine and law, all
occupied his time. His fourteen year reign in Baghdad saw one of the most
brilliant intellectual epochs in history"[16].
Dalam hal ini perlu disebut
secara khusus keluarga Barmaki, yang mempunyai minat luar biasa pada ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani. Dapat dikatakan bahwa Yahya al-Barmaki, salah seorang
menteri harun al-Raşid sangat antusias terhadap filsafat dan logika. Yahya
mendorong untuk menerjemahkan naskah filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.[17]
Penerjemah lainnya adalah Yuhanna (Yahya) bin Batriq. Ia menerjemahkan Timaeus
karya Plato, serta De Anima dan Analytica Priori karya
Aristoteles. Golongan yang menjalin hubungan baik dengan para ilmuan maupun
filsuf bukan hanya para khalifah dan wazir, tetapi juga para keluarga
terkemuka. Di antaranya dapat disebut
keluarga bani Musa yang sangat kaya dan terpandang. Bani Musa ikut menyumbang
untuk keperluan penerjemahan karya Yunani Kuno. Ia mengutus beberapa orang ke
Bizantium untuk membeli naskah Yunani dengan harga berapa saja, memberi imbalan
para sarjana dan penerjemah ahli untuk menerjemahkannya. Bani Musa juga
mengusahakan penerjemahan Risalah Mengenai Atom dan Risalah mengenai Kekekalan
Dunia, yaitu dua risalah yang mempunyai arti filosofis sangat tinggi.
Di atas telah disebutkan
bahwa masa keemasan filsafat pada zaman khalifah al-Ma'mun. Al-ma'mun adalah
penganut mu'tazilah. Dia adalah seorang rasionalis yang berusaha menanamkan
pandangan keagamaannya kepada rakyat melalui mekanisme otoritas negara.
Prestasi terbesar al-Ma'mun adalah pembangunan bait al-hikmah atau dar
al-hikmah yang terdiri perpustakaan, observatorium, dan departemen
penerjemahan. Bait al-hikmah yang dibangun seperti model sekolah
Jundishapur, dibawah pimpinan dan pengawasan Yuhanna (Yahya) bin Masawaih. Di
sini dilakukan penerjemahan karya filsuf Yunani secara besar-besaran.
Sir John Glubb menyatakan bahwa In Baghdad he opened an
institution which he called the House of wisdom, the principal object of which
was the translation of foreign works. A certain Hunain ibn Ishaq, a Christian,
was in charge of translations from the Greek. Aristotle and Plato among the
philosophers, Hippocrates and more especially Galen among the physicians, were
produced in Arabic.
Orang terpenting di bait
al-hikmah adalah Abu Zaid Hunain bin Ishaq al-Ibadi. Abu zaid merupakan
murid Yuhanna bin Masawaih yang berjasa dalam menerjemahkan buku Euclid, Galen,
Hippocrates, Apollonius, dan Archimedes, serta karya Plato seperti Republic,
Laws, dan Timaeus, karya Aristoteles seperti Categories, Physics,
dan Magna Moralia. Anaknya, Ishaq dan keponakannya, Hubais bin Hasan,
juga tergabung dalam tim penerjemah pada zaman pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil.
Cukup banyak di antara buku itu yang penting sekali artinya dari segi
pengembangan studi filsafat di lingkungan dunia pemikiran Arab-Islam. Selain
Hunain, terdapat seorang Kristen Suriah, Qusta bin Luqa. Dia tidak hanya
menerjemahkan karya filsafat, astronomi, dan geometri, tetapi juga memperbaiki
banyak terjemahan yang telah diterjemahkan pada masa sebelumnya.
Sementara Hunain bertindak
sebagai penasehat dan pemimpin tim penerjemah Nestorian, Sabit bin Qurra
menjadi penasehat dan pemimpin tim penerjemah Sabiah (Sabaean). Kaum Sabiah
berasal dari Harran, pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan tua yang sangat
termasyhur karena penelitiannya di bidang filsafat dan kedokteran. Sabit adalah
seorang sarjana dan ahli bahasa Yunani, Suriah, dan Arab. Dia menulis karyanya
di bidang matematika, logika, astrologi, kedokteran, dan juga menulis tentang
ritus kepercayaan orang pagan. Pekerjaan Sabit kemudian diteruskan oleh dua
anaknya (Abu Said dan Sinan), dua cucunya (Ibrahim dan Abu al-Hasan Sabit). Dan
dua cicitnya (Ishaq dan Abu al-Farj).[18]
Maka tampaklah bahwa abad
ke-4 H adalah abad yang paling subur dalam usaha penerjemahan karya intelektual
Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagian besar terjemahan tersebut dilakukan dari
bahasa Suriah, tetapi banyak juga yang diterjemahkan langsung dari bahasa
Yunani oleh orang yang telah mempelajari bahasa tersebut. Sering pula terjadi
seorang penerjemah yang sama membuat penerjemahan ke dalam bahasa Suriah dan
bahasa Arab sekaligus dari teks Yunani.
Dengan demikian, penerjemahan buku-buku terutama buku-buku filsafat,
menjadi batas pemisah yang jelas antara dua fase yang dialami oleh dunia
pimikiran Islam, yaitu fase sebelum penerjemahan atau masa pengasingan diri dan
fase sesudah penerjemahan. Pada fase pertama, segi pemikiran ketuhanan pada
kaum Muslimin masih bercorak Islam murni yang masih berada dalam lingkungan
kepercayaan Islam dan dasar-dasarnya. Seperti persoalan pengertian iman,
bertambah atau berkurangnya, hukum perbuatan dosa besar, qada’, ikhtiyar
dan sebagainya. Pada fase kedua, segi akidah ketuhanan kaum Muslimin telah
mengalami perkembangan, yaitu sejak mereka bergaul dengan golongan luar Muslim.
Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh umat Islam, dengan berdirinya Bait al-Hikmah, kemudian oleh al-Ma'mun
diharuskan untuk mengajarkan seluruh jenis ilmu naql dan `aql. Pada
perkembangan selanjutnya berdirilah semacam fakultas logika yang dipimpin oleh
Abu Bisyr Matta ibn Yunus, seorang ahli logika Syria yang terkenal. Para
penerusnya ialah al-Farabi dan Yahya ibn Adi serta para murid mereka.[19]
Mengenai penerjemahan logika Aristoteles, hingga abad ke-9 telah
paripurna keseluruhan buku Organon
yang berjumlah sembilan buah. Terjemahan ke dalam bahasa Suryani rampung
sebelum tahun 800 dan ke dalam bahasa Arab selesai sebelum tahun 850.[20]
Dalam hal ini peranan al-Farabi sangat besar, yang dengan kemahiran
berbahasanya, dia memperbaiki kekurangtelitian penerjemahan ke dalam bahasa
Arab.
Adapun para penerjemah dan nama-nama buku terjemahan Organon itu adalah sebagai berikut :
No |
Nama Yunani
|
Nama Arab
|
Penerjemah
|
01.
|
Isagoge
|
al-Isaghuji
|
Abu Bisyr Matta ibn Yunus
|
02.
|
Categories
|
al-Maqulat
|
Hunain ibn Ishaq
|
03.
|
Hermeneutics/
De Interpretatione
|
al-Ibarah
|
Ishaq ibn Hunain
|
04.
|
Prior Analytics
|
al-Tahlil al-Qiyas
|
Theodorus dan Hunain ibn
Ishaq
|
05.
|
Posterior Analytics
|
al-Burhan
|
Abu Bisyr Matta ibn Yunus
|
06.
|
Topics
|
al-Jadal
|
Yahya ibn Adi
|
07.
|
De Sophicticis Elenchis
|
al-Mughalitah/
al-Safsatah
|
Yahya ibn Adi
|
08.
|
Rhetoric
|
al-Khitabah
|
Ishaq
ibn Hunain dan Ibrahim ibn Abdullah
|
09.
|
Poetics
|
al-Syi’ir
|
Abu Bisyr Matta ibn Yunus[21]
|
Selain itu ada juga komentar-komentar terhadap
karya-karya Aristoteles sendiri maupun tambahan dari muridnya. Apabila
diringkaskan, prestasi karya fakultas logika Baghdad itu ada tiga macam, yaitu:
a. Menerjemahkan seluruh karya-karya logika
Yunani ke dalam bahasa Arab.
b. Menerbitkan karya-karya komentar al-Farabi
yang mengagumkan terhadap buku-buku logika Aristoteles.
c. Kritik yang cermat lagi tajam oleh al-Farabi
dan Abu Bisyr Matta ibn Yunus terhadap karya-karya tambahan para murid
Aristoteles yang dimasukkan ke dalam Organon. Misalnya tentang teori
kondisional atau sillogime hipotetik, disjunktif dan deduksi sillogistik
mengenai modus induktif argumen.[22]
Dari sini telah nampak
peranan dan sumbangan pemikiran al-Farabi dalam fakultas logika di Baghdad
terhadap karya-karya logika Aristoteles. Sebenarnya gerakan menggunakan
pemikiran filsafat itu, khususnya kebutuhan berlogika, mulai hidup di kalangan
kaum Muslimin semenjak munculnya golongan Mu’tazilah dalam rangka
mempertahankan keyakinan terhadap serangan rivalnya, terutama dari fihak
Kristen. Golongan Mu’tazilah itulah yang mula-mula mempraktikkan filsafat
Yunani, menggunakan logika Aristoteles dalam ber-Êujjah.[23]
Gerakan rasionalisme ini
kian berkembang setelah pada 827 H. al-Ma'mun menjadikan Mu`tazilah sebagai
mazhab resmi negara. Dari gerakan ini kemudian memunculkan tokoh-tokoh filosof
dan ahli logika Muslim. Di antaranya adalah al-Kindi, pelopor penerjemah logika
Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Tetapi terjemahan dan ulasan al-Kindi ini
belum sampai kepada buku Prior Analytics,
Posterior Analytics dan seterusnya.
Dengan kegiatan penerjemahan
ini, sebagian besar dari karangan-karangan Aristoteles, sebagian tertentu dari
karangan-karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neo-Plotonisme,
sebagian besar dari karangan-karangan Galen serta karangan-karangan dari dalam
ilmu kedokteran lainnya, juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan
Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh para ulama Islam. Karangan-karangan tentang
filsafat banyak menarik perhatian kaum Mu’tazilah, sehingga mereka banyak
dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. Abu
Huz|ail al-Allaf, Ibrahim al-Nazzam, Bisr ibn Mu’tamar dan sebagainya membaca
buku-buku filsafat. Dalam diskursus mereka mengenai teologi Islam, daya akal
atau logika yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani banyak mereka pakai. Tidak
mengherankan kalau teologi kaum Mu’tazilah mempunyai corak rasional dan
liberal.
Teori yang paling
mempengaruhi pemikiran Islam adalah teori emanasi (pancaran). Teori ini
dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana tercipanya alam semesta. Sebelum
Plotinus, orang percaya bahwa alam semesta ini diciptakan ex nihilo
(dari tiada). Dengan begitu, seolah-olah pencipta dan alam semesta merupakan
dua hal yang tercipta satu sama lain. Plotinus, menolak paham seperti itu dan
menurutnya apabila esensi ciptaan lain dari esensi penciptanya, maka masalah
penciptaan tidak mungkin dapat dipecahkan. Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa
keduanya adalah sama dalam esensi, tetapi berbeda dalam aktus. Plotinus
berpendapat bahwa yang memancar dari prinsip pertama adalah Nous, realitas
dibalik dunia fenomena. Yang memancar dari Nous adalah Jiwa, yakni prinsip
dalam kehidupan dan gerak. Motif di balik usaha itu adalah hasrat untuk
menjelaskan munculnya keanekaragaman dari keesaan dengan jalan menyisipkan
tahap perantara.
Perkembangan terpenting dari
ajaran Neoplatonisme di lingkungan Arab muslim adalah apa yang disebut sebagai
Teologi Aristoteles, yang muncul sekitar tahun 226 H/841 M. Teologi ini
merupakan terjemahan atau pembahasaan ulang bagian terakhir dari tiga buku
(buku IV, V, VI) Enneads karya Plotinus, yang disusun oleh Naymah dari
Emessa. Terjemahan ini beredar di lingkungan Arab dan kemudian dianggap sebagai
karya Aristoteles. Kesalahan ini dapat dimaklumi, karena terjemahan nama Plato
dan Plotinus ke dalam bahasa Arab menggunakan istilah yang sama, yaitu Aflatun.
Gabungan Neoplatonisme dan ajaran Alexander dari Aphrodisias di kemudian hari
berpengaruh sangat kuat dalam membentuk pola pemikiran filsafat Islam dalam
berbagai cabang dan arah perkembangannya. Di tangan para filsuf muslim,
pemikiran filosofis ini mencapai puncak pada masa Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Di samping Neoplatonisme,
pengaruh besar lainnya terhadap pemikiran Islam datang dari Stoikisme. Hal ini
sesuai pernyataan Osman Amin seperti yang dikutip dalam Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam bahwa suatu pengkajian dengan seksama atas teks dari al-Kindi,
al-Farabi, Ikhwa al-Safa, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Maskawaih, Ibnu Rushd, dan al-Razi
menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh kaum Stoa, terutama mengenai persoalan
etika dan teologi, lebih besar daripada pengaruh kaum Peripatetik atau platonik.[24]
Selama ini berkembang asumsi
ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian
ahli filsafat dan para
sejarawan, bahwa kajian filsafat
Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rushd. Menurut Mustamin
al-Mandary asumsi semacam ini berdasarkan, pertama lahir dari studi-studi
filsafat
Islam yang cenderung terlalu mengagungkan (atau menyimpulkan) bahwa puncak filsafat Islam terletak pada perdebatan filosofis-historis
(dialektis) antara al-Ghazali (1059-1111 M) yang menyerang Ibn Sina sebagai
pendiri mazhab Parepatetik dalam filsafat
Islam, dengan Ibn Rushd (1126-1198 M). Sehingga ketika keduanya wafat, maka
tradisi
filsafat
Islam diasumsikan mati.
Kedua, sebagian besar pengamat filsafat
menganggap bahwa “dialektika” filosofis
antar Ibn Sina-al-Ghazali-Ibn Rushd merupakan sebuah pertentangan. Padahal jika
kita cermati secara jeli, dialektika yang berlangsung antara mereka merupakan
sebuah upaya untuk mempertegas arah dan posisi filsafat
Islam, dan pada saat yang sama terdapat nilai-nilai yang mesti dipertegas
antara nilai-nilai keIslaman dan nilai-nilai filosofis.
Kritik al-Ghazali terhadap
Ibn Sina dan kaum Parepatetik mesti kita dudukkan sebagai usaha besar untuk
merubah kecenderungan filsafat
Islam, dari klaim-klaim menggelitik tentang filsafat
Islam (filsafat Islam hanyalah sebagai filsafat Yunani
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab) ke arah filsafat Islam yang khas. Sedangkan usaha kritik-balik yang dilancarkan
oleh Ibn Rushd adalah sebuah upaya bahwa kaum muslim harus benar-benar serius dalam mengedepankan nilai-nilai filosofis
dalam filsafat
Islam secara mandiri.
Ketiga, pada umumnya, para
pengamat sejarah filsafat
Islam cenderung melupakan adanya sinergitas dan kontinuitas tradisi filsafat
Islam di belahan dunia muslim lainnya. Yakni ketika mereka membatasi kajian
filsafat
Islam pada tokoh-tokoh dari al-Kindi sampai al-Ghazali dan Ibn Rushd.
Pandangan ahistoris
semacam ini mesti lekas kita tolak, karena pada kenyataannya filsafat
Islam terus berkembang terutama dikembangkan di sebagian
besar wilayah timur dan beberapa kecil di maghrib. Ada beberapa tokoh
yang terus melanjutkan tradisi filosofis
dalam Islam meski lahir dengan berbagai perbedaan coraknya, seperti
Syihªb al-DÌn Suhrawardi (w. 1191 M) yang mendirikan mazhab filsafat
Illuminasionisme, Muhy al-DÌn Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) yang memiliki corak teosofi/’irfani
(gnostisisme) di maghrib.
Ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi ini
ternyata lebih berkembang di daerah Persia dengan tokoh-tokohnya semacam Shadr
al-DÌn Qunawi (w. 1274 M), Quthb al-DÌn al-ShÌrªzÌ (w. 1311 M). Bahkan sampai ke Turki melalui Jalal al-DÌn Rumi (1273 M). Tradisi
Illuminasionisme berkembang melalui Shahrazuri (w. 1288 M), Ibn Kammunah (w.
1284 M), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385 M), dan Mir Damad (w. 1631 M). Mazhab filsafat peripatetik terus berlanjut melalui Nashir al-DÌn al-£ñsÌ (w. 1274 M).
Puncak dari semua aliran filsafat ini berada di tangan
Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1637 M) yang mencoba memadukan semua aliran filsafat
Islam yang ada
sebelumnya di bawah nama al-Hikmah al-Muta’ªliyah atau Teosofi Transenden. Setelahnya tradisi filsafat
Islam tidak pernah padam bahkan sampai abad modern
dewasa ini.
C.
Penutup
Tradisi filsafat mulai merambah kembali ke daerah Timur ketika
Iskandar Agung berkuasa sekitar 332 SM di Iskandariah, dan memuncak pada 529 M.
Iskandariah merupakan bagian dari Mesir saat ini. Lalu ketika Mesir takluk pada
bangsa Arab pada 641 M. Munasabah di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash, Iskandariah
tetap menjadi kota budaya yang mengembangkan tradisi filsafat, sains,
dan kedokteran.
Pengaruh filsafat
Yunani yang cukup signifikan terjadi pada corak pemikiran filosofis
Islam, berlangsung melalui proses penerjemahan, transferensi,
dan anotasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh filosof muslim. Banyak sekali
buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan cukup mempengaruhi corak pemikiran para filosof muslim, di antaranya Timaeus
karya Plato; Analytica Posteriora, Categories, Hermeneutica,
Generation and Corruption dan Nicomachean Ethics karya Aristoteles;
Isagoge karya Porphyry, dan Synopsis of the Ehtics karya Galen.
Semua itu dilakukan pada masa kekuasaan ‘Abbasiyah.
Tradisi penulisan filsafat secara sistematis baru dimulai
pada abad ke-9 di kawasan mashriq Islam, oleh Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (w. 866 M). Lalu
berlanjut pada beberapa tokoh yang semakin hari menampakkan kegemilangan filsafat Islam, seperti Abu Bakar al-Razi (w.
925/932/935 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Ibn Miskawaih (w.
1030 M), dan al-Ghazali (w. 1111 M).
Berlanjut setelahnya, filsafat
Islam pun berkembang di wilayah maghrib dengan beberapa tokohnya seperti
Ibn Masarrah (w. 931 M), Ibn Bajjah (w. 1139 M), Ibn Thufail (w. 1185), Ibn
Sab’in (w. 1270 M) dan berpuncak pada Ibn Rushd (w. 1198 M) serta Ibn Khaldun
(w. 1406 M). Selama ini berkembang asumsi ahistoris yang disuarakan
dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat
dan para sejarawan, bahwa kajian filsafat
Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rushd.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ali, Syed Ameer, The Spirit of Islam,
penerjemah: Margono & Kamilah. Yogyakarta: Navila, 2008.
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal. Bairut: Dªr al-Ma’rifah,
1975.
Al-Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Rofi’ Usman, Bandung:
Pustaka, 1986.
Amin, Ahmad, Fajr al-Islªm. Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965.
De Lacy O’Leary, How
Greek Science Passed to the Arab. London: Routledge, 1957.
Glubb, Sir John, A History of The Arab
Peoples. New York: Dorset Press, 1988.
Harun Hadiwiyono, Sari
Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Pres, 1986.
Hitti, Philip K., Makers of Arab
History. New York: Harper Torchbooks Harper & Row, 1968.
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,1979.
M. Amin Abdullah, "Penerjemahan Karya
Klasik" Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah
et.al., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Madjid Fakhry, Sejarah
filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Nicholas Rescher, "Arabic
Logic", dalam Paul Edwards (ed.), The
Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, New York: Macmilan Publishing
Co. Inc., and The Free Press, & London: Macmillan Publishers, 1972.
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in
Islam. New York, Toronto, and London : New American Library, 1970.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993.
Zaidan, Jirji, Tªrikh al-Tamaddñn al-Islamiyyah, vol. 3, Beirut:
Maktabah al-Hayªt, 1967.
PARA FILOSOF MUSLIM DI DUNIA TIMUR
A. Al-Kindi
..................................................
B.
Al-Farabi ....................
C. Ibn
Sina ...............................................................
D. Ibn
Miskawih ...............................................
E.
Al-Ghazali .................................................
F.
Suhrawardi al-Maqtul ............................................
G. Mullah Sadr
PARA FILOSOF MUSLIM
DI DUNIA BARAT (EROPA)
A. Kebudayaan dan Peradaban Islam
Eropa
B. Ibn Bajah
B. Ibn Tufail
...............................
C. Ibn Rushd
.....................................
D. Ibn Khaldun
[1] Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam penerjemah: Margono
& Kamilah (Yogyakarta: Navila, 2008), 453.
[2]Untuk melacak data sejarah secara lengkap, lihat Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UI Pres,
1986), 5-64. Ketujuh piawai akali di atas, oleh Syahrastani diintrodusir
sebagai “al-hukama’ al-sab’ah”. Lihat
al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal
(Bairut: Dªr al-Ma’rifah, 1975), 61.
[3]Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah
Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 15.
[4]Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 10.
[5]K. Bertens, Ringkasan Sejarah
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1979), 20.
[6]De Lacy O’Leary, How Greek
Science Passed to the Arab (London: Routledge, 1957), 20.
[7]Adanya interaksi antara kebudayaan Yunani dengan ajaran Kristen. Di
mana kebudayaan Yunani berkembang di bawah pengaruh doktrin Kristen dan doktrin
Kristen dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Hal ini bisa dimengerti mengingat
ajaran Kristen berkembang di kawasan itu.
[8]M. Amin Abdullah, "Penerjemahan Karya Klasik" Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah et.al., (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2002), 15.
[9]Effat al-Sharqawi, Filsafat
Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Rofi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1986), 76.
[10]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), 211.
[11]Madjid Fakhry, Sejarah
filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 30.
[13] Amin, "Penerjemahan Karya Klasik", 15.
[14] Philip K. Hitti, Makers of Arab History (New York: Harper
Torchbooks Harper & Row, 1968), 76.
[15] Sir John Glubb, A History of The Arab Peoples (New York:
Dorset Press, 1988), 109.
[16] Ibid.
[17] Amin, "Penerjemahan Karya", 18.
[18]Ibid., 19.
[19]Amin, Fajr al-Islam, 526.
[21]Ibid.,
Lihat juga Jirji Zaidan, Tªrikh al-Tamaddñn al-Islamiyyah, vol. 3, (Beirut:
Maktabah al-Hayªt, 1967), 168.
[22] Nicholas Rescher, "Arabic Logic", dalam Paul Edwards
(ed.), The Encyclopedia of Philosophy,
vol. 4, (New York: Macmilan Publishing Co. Inc., and The Free Press,
& London: Macmillan Publishers, 1972), 526.
[23]Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (New York, Toronto, and London : New American Library, 1970), 305.
[24]Amin, "Penerjemahan Karya", 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar