Minggu, 25 September 2016

KEBANGKITAN FALSAFAH ISLAM



KEBANGKITAN FALSAFAH ISLAM

A.    Pendahuluan
Seperti bangsa-bangsa kuno lainnya, bangsa Arab pra-Islam, merupakan bangsa yang amat fatalistik. Sisa-sisa puisi mereka (satu-satunya rekaman pemikiran dan adapt istiadat bangsa Arab) menunjukkan bahwa sebelum kedatangan Islam, penduduk jazirah Arabia telah menyerahkan diri sepenuhnya pada fatalisme buta. Gagasan ini mengakibatkan sikap melecehkan kematian dan mengabaikan kehidupan manusia sama sekali. Ajaran Islam merevolusikan alam pikiran bangsa Arab. Dengan pengakuan adanya Kecerdasan Yang Maha Tinggi sebagai pengatur alam semesta, mereka menerima konsepsi tentang kemandirian dan pertanggungjawaban moral yang didasarkan pada kebebasan kehendak manusia untuk melakukan sebuah perbuatan.[1]
Bangkitnya filsafat Islam tidak dalam ruang kosong (baca: ahistoris), artinya terdapat rentetan sejarah yang menimbulkannya. Selain kegiatan ilmiah, perjumpaan kebudayaan juga menjadi salah satu faktornya. Akulturasi dan asimilasi budaya merupakan suatu keniscayaan. Tak ada satu bangsa dan budaya manapun yang terhindar dari proses tersebut. Kemajuan suatu bangsa bahkan tergantung sejauh mana ia mampu meminjam, menyerap, dan mengambil alih berbagai unsur positif budaya lain, untuk kemudian mengintegrasikannya secara kreatif ke dalam arus dinamika budayanya sendiri.
Maka dari itu, penulis di sini akan memfokuskan pembahasan tentang kebangkitan falsafah Islam yang meliputi semangat yang memunculkannya serta uraian keadaan filsafat Islam pada zaman khilafah Umayyah dan khilafah Abbasiyah sebagai puncak kegemilangan kehidupan filsafat Islam.

B.     Kebangkitan Falsafah Islam
1.      Sumber Pemikiran Rasional Islam
Sebagaimana dinyatakan para peneliti kritis, baik yang muslim maupun non muslim, pemikiran rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar, melainkan dari kitab suci mereka sendiri, yaitu al-Qur'ªn, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada Nabi Muhammad ketika masih hidup. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah rasul wafat dan persoalan semakin banyak dan rumit seirinng dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci al-Qur'ªn lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis, antara lain penggunaan ta'wÌl; pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (mushtarak) dengan istilah yang hanya mengandung satu arti; penggunaan qiyas (analogi) atas persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks.
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat muslim dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Hal ini menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan tidak ada perbedaan dengan filsafat yunani dalam metode pemecahannya. Perbedaannya terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yaitu, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan teks suci, sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku.   

2.      Filsafat Yunani dalam Falsafah Islam
a.       Perjumpaan Filsafat Yunani dengan Islam
Tujuh abad pra-Islam, dunia sudah diduduki oleh mekarnya kebudayaan Yunani dengan tradisi pemikiran kefilsafatannya. Secara historis, Thales (624-546 SM) dipandang sebagai orang Yunani pertama yang menggunakan akal secara serius-sehingga dia dikenal sebagai bapak filsafat, yang memunculkan pertanyaan aneh; apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? yang kemudian secara generatif diteruskan oleh Herecleitus (500 SM) dengan hakikat yang ada adalah gerak dan perubahannya. Paramanides (540 SM) dengan hakikat yang ada adalah diam, Zeno (490 SM) dengan teori kebimbangannya dan Protagoras (411 SM) dengan relativismenya. Sampai di sini, Athena menjadi ajang gymnastic intellectual yang pada dataran lain sekaligus menggiringnya ke situasi buruk yang tidak sistemik. Karena belantara pemikirannya tidak menjanjikan dasar-dasar pengetahuan yang dapat dipegangi.[2]
Menghadapi keadaan ini, Socrates (399 SM) dengan kebenaran obyektif dan relatifnya. Kerja akali yang harus ditebus dengan nyawanya sendiri ini, diteruskan oleh Plato (347 SM) dengan teori idea. Sampai di sini, Athena kembali tenang setelah sebelumnya digaduhkan oleh penggunaan akal yang menghentak.
Kebudayaan Yunani yang dominan dengan olah rasionya (filsafat) sesungguhnya merupakan respon atas tantangan zamannya yang sarat dengan tradisi mitos, majig dan sihir.[3] Dalam tahapan selanjutnya reasonansi kebudayaan Yunani ini mampu menembus wilayah Timur Tengah (Persia), di bawah penaklukan Alexander Agung di tahun 331 SM. Alexander dalam ekspresinya bukanlah agresor oriented, ia justru berupaya melakukan unifikasi budaya antara Yunani dan Persia. Pusat-pusat budaya semisal Antioch, Seleucia, Jundishapur dan Bactra merupakan master plan unifikasi Alexander, yang belakangan menjadi pusat pengembangan ilmu dan filsafat Yunani.[4]
Pasca Alexander, kebudayaan Yunani terus berkembang di Timur di bawah era hellenistik dan Romawi, sementara di Athena sendiri aktifitas intelektual dihentikan oleh Yustianus. Akan tetapi pada masa ini pemikiran Plato terus dihidupkembangkan, sehingga populer dengan sebutan era neo-Platonisme.[5] Bukti otentik maraknya perkembangan kebudayaan Yunani (filsafat) di Timur waktu itu adalah terdapatnya perpustakaan terbesar di dunia tentang pemikiran Yunani sekitar abad pertama dan kedua masehi, khususnya pemikiran Plotinus dan Stoisme di Alexandria.[6]
Ada sedikit diferensiasi antara kebudayaan Yunani yang berkembang di Alexandria dan yang berkembang di Athena, di mana kebudayaan Yunani Alexandria lebih berbentuk kosmopolitan dan bercorak ketimuran (hellenistic).[7] Menurut De Lacy O'Leary, ahli pemikiran Islam klasik, seperti yang dikutip dalam ensiklopedi temtis Islam menyatakan bahwa Iskandariyah dan Suriah adalah dua wilayah penting dalam proses asimilasi budaya Yunani oleh bangsa Arab. Peradaban Yunani yang dimaksud di sini bukanlah peradaban Yunani yang di Athena, tetapi peradaban Yunani yang telah diserap, dikembangkan, dan tumbuh subur di wilayah Iskandariyah, Mesir, yakni peradaban yang dikenal sebagai Hellenisme. Peradaban baru ini mempunyai kecendrungan yang sangat kuat untuk menerapkan prinsip pemikiran filosofis dan keilmuan Yunani dari Athena.[8]
Pada wilayah Timur Tengah transmisi kebudayaan Yunani (filsafat hellenistik) dijembatani oleh Univesitas Jundishapur, yang didirikan oleh kerajaan Sasanid, berikut kota-kota “satelit”nya semacam Harran, Antiqe, Edessa dan Bactra. Inilah kota-kota strategis yang menjadi sentral berkembangnya kebudayaan Yunani, yang pada gilirannya dikuasai oleh Islam.[9] Di sinilah bermula perjumpaan kebudayaan Yunani dengan Islam.
b.      Filsafat Yunani dalam falsafah Islam
Kiranya menarik untuk sedikit menyinggung respon negatif (apatis) Arab sebelum Islam lahir ketika bersentuhan dengan kebudayaan Yunani. Walaupun Arab sudah berhubungan dengan kota-kota pusat budaya Yunani di Syria, tetapi tetap saja tidak ada pengaruh.[10] Hal ini tidak terlalu rumit untuk dipahami, mengingat mentalitas bangsa Arab dan alamnya yang tidak memberikan kesempatan untuk memeras pikiran secara mendalam untuk melakukan perenungan. Bahkan ajaran keagamaannya pun tidak memiliki pembahasan tentang kefilsafatan. Barulah setelah tercerahkan oleh kedatangan Islam, Arab apresiatif terhadap kebudayaan Yunani, yang ditransfer dari Persia, lewat Bagdad (Iraq) dengan wadah dªr al-hikmªh.[11]
Sementara Persia-dengan ajaran Zoroasternya-sudah memberikan pembahasan-pembahasan tentang metafisik, sehingga ada semacam kesiapan intelektual, dengan apresiatif mengakomodir filsafat Yunani. Hanya saja perlu dimaklumi bahwa pembahasan mereka tidak seuniversal seperti pembahasan pemikir-pemikir Yunani.[12] Filsafat Yunani dikembangkan ke Timur oleh kaum imigran Kristen Barat akibat pertentangan sekte sejak abad ke-3 M. Di antara mereka ada yang mendirikan tempat-tempat perguruan filsafat di Qannasrin (Syria), Harran (daerah Irak) dan Jundishapur (Persia).
Di samping itu adanya penerjemahan kedalam bahasa Arab terhadap buku-buku India, Iran dan buku Suryani–Ibrani, terutama sekali buku-buku Yunani. Para penerjemah mendapat kedudukan yang tinggi di kalangan khalifah dan para pembantunya. Golongan Masehi Nestorian dan Yakobites mempunyai bagian yang cukup dalam membangun dunia pimikiran Islam, karena mereka merupakan pewaris kebudayaan Yunani di dunia Timur dan menjadi penghubung antara kebudayaan Arab Islam yang masih muda dengan kebudayaan Yunani Latin yang telah menghilang. Dalam ensiklopedi tematis dunia Islam, dijelaskan bahwa penerjemahan karya intelektual Yunani Kuno di negeri Arab sudah dimulai jauh sebelum lahirnya agama Islam atau penaklukan Asia Barat Daya oleh bangsa Arab pada tahun 641 M. Pekerjaan tersebut telah dirintis oleh para pengikut Kristen monofosit serta Nestorian, dan kemudian dilanjutkan oleh kaum muslim.[13]
Setelah unsur-unsur kebangunan kaum Muslimin sudah lengkap, maka muncullah mereka sebagai golongan yang mempunyai kepribadian sendiri dan memperdalam apa yang telah dipelajari sebelumnya, kemudian mereka menambah karya-karya baru yang disumbangkan kepada karya-karya kemanusiaan seluruhnya, antara lain dalam masalah astronomi, ketabiban, kimia, tasawuf dan terutama filsafat.

3.      Falsafah Islam Masa Dinasti Umayyah
Satu hal yang penting untuk dicatat adalah ketika bangsa Arab menaklukkan suatu wilayah, mereka tidak mencampuri urusan bahasa dan kebudayaan bangsa tersebut. Itulah sebabnya pada awal sejarah Islam, bahasa resmi Negara adalah Yunani atau Persia. Akan tetapi dalam perjalanan waktu,  dirasakan perlu untuk beralih ke bahasa Arab, yang tidak hanya merupakan bahasa al-Qur'ªn, tetapi juga cukup kaya untuk dapat menyerap dan mengakomodasi berbagai bahasa dunia. Oleh sebab itu, dalam masa pemerintahan Islam, adalah arah penerjemahan diubah dari bahasa Suria ke bahasa Arab.
Pada masa dinasti Umayyah, semua karya Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Suriah, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Seperti Khalifah Marwan pernah memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dari Iskandariyah, ke dalam bahasa Suriah dan diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian juga karya aristoteles juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga tersebar luas dan menjadi perantara penyampaiannya ke dunia dan budaya lain. Salah sebabnya yaitu ketika pada zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan di dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani, dan Qibti (penduduk asli Mesir). Atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjªj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Administrasi. Perhatian pada bahasa Arab mulai diberikan dan untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, maka hal ini mendorong lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya, al-kitāb, menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab Jahiliyyah muncul kembali sehingga sastra Arab mengalami kemajuan.
Dalam dinasti Umayyah, dunia intelektual Islam masih mengalami tahap perkembangan. Hal ini seperti yang dikatakan Philip K. Hitti dalam bukunya Makers of Arab History, "The Umayyad had rapport with Byzantine government and culture, but their preoccupation was military, and their period remained one of intellectual incubation. It was left to this seventh 'Abbasid Chaliph-in a city where Syrian, Persian and Greek cultures meet and interplay-to write the uniqe chapter he did in Islam the religion and Islam the culture".[14]
Dalam masa ini, gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah dan filsafat. Dalam bidang filsafat berjalan karena umat Islam pada akhir masa bani Umayyah terpaksa menggunakannya di dalam perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani serta di antara sesama penganut Islam.
4.      Falsafah Islam Masa Dinasti Abasiyyah
Pada zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah terjadi gerakan penerjemahan secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab. Gerakan ini terjadi dua fase, yaitu fase pertama, dimulai pada awal berdirinya dinasti Abbasiyah hingga masa pemerintahan al-Ma'mun (132 H/750 M-198 H/814 M). Pada fase ini, karya besar Yunani klasik telah diterjemahkan. Kebanyakan para penerjemahnya adalah orang Kristen, Yahudi, dan mereka baru memeluk agama Islam. Fase kedua, adalah pada era pemerintahan al-Ma'mun dan generasi sesudahnya. Pada fase ini, penerjemahan di pusatkan di akademi yang baru didirikan di Baghdad, yakni Bait al-Hikmªh.
Khallifah al-Mansur yang dikenal sangat menyukai filsafat, ilmu hukum, dan astronomi mendirikan kota Baghdad pada tahun 148 H/765 M. Beliau juga dikabarkan pernah memerintahkan penerjemahan banyak naskah filsafat dan sains Yunani, dan memberi upah yang besar kepada para penerjemahnya.
Kemajuan yang sangat besar juga dicapai pada masa pemerintahan Harun al-Rashid. Dalam bukunya a short history of the arab peoples, Sir John Glubb menyatakan "Haroon had been well educated ini religion, philosophy and literature, and his reign was marked by a high standard of intellectual activity".[15]
Masa kegemilangan filsafat nampak pada zaman pemerintahan al-Ma'mun. Khalifah al-Ma'mun menyediakan dana dengan jumlah besar untuk penerjemahan karya filsafat. Sir John Glubb menyatakan "Mamoon had always been devoted to books and learned pursuits. His brilliant mind was interested in every form of intellectual activity. Not only poetry, but also philosophy, theology, astronomy, medicine and law, all occupied his time. His fourteen year reign in Baghdad saw one of the most brilliant intellectual epochs in history"[16].
Dalam hal ini perlu disebut secara khusus keluarga Barmaki, yang mempunyai minat luar biasa pada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Dapat dikatakan bahwa Yahya al-Barmaki, salah seorang menteri harun al-Raşid sangat antusias terhadap filsafat dan logika. Yahya mendorong untuk menerjemahkan naskah filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.[17] Penerjemah lainnya adalah Yuhanna (Yahya) bin Batriq. Ia menerjemahkan Timaeus karya Plato, serta De Anima dan Analytica Priori karya Aristoteles. Golongan yang menjalin hubungan baik dengan para ilmuan maupun filsuf bukan hanya para khalifah dan wazir, tetapi juga para keluarga terkemuka.  Di antaranya dapat disebut keluarga bani Musa yang sangat kaya dan terpandang. Bani Musa ikut menyumbang untuk keperluan penerjemahan karya Yunani Kuno. Ia mengutus beberapa orang ke Bizantium untuk membeli naskah Yunani dengan harga berapa saja, memberi imbalan para sarjana dan penerjemah ahli untuk menerjemahkannya. Bani Musa juga mengusahakan penerjemahan Risalah Mengenai Atom dan Risalah mengenai Kekekalan Dunia, yaitu dua risalah yang mempunyai arti filosofis sangat tinggi.
Di atas telah disebutkan bahwa masa keemasan filsafat pada zaman khalifah al-Ma'mun. Al-ma'mun adalah penganut mu'tazilah. Dia adalah seorang rasionalis yang berusaha menanamkan pandangan keagamaannya kepada rakyat melalui mekanisme otoritas negara. Prestasi terbesar al-Ma'mun adalah pembangunan bait al-hikmah atau dar al-hikmah yang terdiri perpustakaan, observatorium, dan departemen penerjemahan. Bait al-hikmah yang dibangun seperti model sekolah Jundishapur, dibawah pimpinan dan pengawasan Yuhanna (Yahya) bin Masawaih. Di sini dilakukan penerjemahan karya filsuf Yunani secara besar-besaran.
Sir John Glubb menyatakan bahwa In Baghdad he opened an institution which he called the House of wisdom, the principal object of which was the translation of foreign works. A certain Hunain ibn Ishaq, a Christian, was in charge of translations from the Greek. Aristotle and Plato among the philosophers, Hippocrates and more especially Galen among the physicians, were produced in Arabic.
Orang terpenting di bait al-hikmah adalah Abu Zaid Hunain bin Ishaq al-Ibadi. Abu zaid merupakan murid Yuhanna bin Masawaih yang berjasa dalam menerjemahkan buku Euclid, Galen, Hippocrates, Apollonius, dan Archimedes, serta karya Plato seperti Republic, Laws, dan Timaeus, karya Aristoteles seperti Categories, Physics, dan Magna Moralia. Anaknya, Ishaq dan keponakannya, Hubais bin Hasan, juga tergabung dalam tim penerjemah pada zaman pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil. Cukup banyak di antara buku itu yang penting sekali artinya dari segi pengembangan studi filsafat di lingkungan dunia pemikiran Arab-Islam. Selain Hunain, terdapat seorang Kristen Suriah, Qusta bin Luqa. Dia tidak hanya menerjemahkan karya filsafat, astronomi, dan geometri, tetapi juga memperbaiki banyak terjemahan yang telah diterjemahkan pada masa sebelumnya.
Sementara Hunain bertindak sebagai penasehat dan pemimpin tim penerjemah Nestorian, Sabit bin Qurra menjadi penasehat dan pemimpin tim penerjemah Sabiah (Sabaean). Kaum Sabiah berasal dari Harran, pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan tua yang sangat termasyhur karena penelitiannya di bidang filsafat dan kedokteran. Sabit adalah seorang sarjana dan ahli bahasa Yunani, Suriah, dan Arab. Dia menulis karyanya di bidang matematika, logika, astrologi, kedokteran, dan juga menulis tentang ritus kepercayaan orang pagan. Pekerjaan Sabit kemudian diteruskan oleh dua anaknya (Abu Said dan Sinan), dua cucunya (Ibrahim dan Abu al-Hasan Sabit). Dan dua cicitnya (Ishaq dan Abu al-Farj).[18]
Maka tampaklah bahwa abad ke-4 H adalah abad yang paling subur dalam usaha penerjemahan karya intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagian besar terjemahan tersebut dilakukan dari bahasa Suriah, tetapi banyak juga yang diterjemahkan langsung dari bahasa Yunani oleh orang yang telah mempelajari bahasa tersebut. Sering pula terjadi seorang penerjemah yang sama membuat penerjemahan ke dalam bahasa Suriah dan bahasa Arab sekaligus dari teks Yunani.
Dengan demikian, penerjemahan buku-buku terutama buku-buku filsafat, menjadi batas pemisah yang jelas antara dua fase yang dialami oleh dunia pimikiran Islam, yaitu fase sebelum penerjemahan atau masa pengasingan diri dan fase sesudah penerjemahan. Pada fase pertama, segi pemikiran ketuhanan pada kaum Muslimin masih bercorak Islam murni yang masih berada dalam lingkungan kepercayaan Islam dan dasar-dasarnya. Seperti persoalan pengertian iman, bertambah atau berkurangnya, hukum perbuatan dosa besar, qada’, ikhtiyar dan sebagainya. Pada fase kedua, segi akidah ketuhanan kaum Muslimin telah mengalami perkembangan, yaitu sejak mereka bergaul dengan golongan luar Muslim. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh umat Islam, dengan berdirinya Bait al-Hikmah, kemudian oleh al-Ma'mun diharuskan untuk mengajarkan seluruh jenis ilmu naql dan `aql. Pada perkembangan selanjutnya berdirilah semacam fakultas logika yang dipimpin oleh Abu Bisyr Matta ibn Yunus, seorang ahli logika Syria yang terkenal. Para penerusnya ialah al-Farabi dan Yahya ibn Adi serta para murid mereka.[19]
Mengenai penerjemahan logika Aristoteles, hingga abad ke-9 telah paripurna keseluruhan buku Organon yang berjumlah sembilan buah. Terjemahan ke dalam bahasa Suryani rampung sebelum tahun 800 dan ke dalam bahasa Arab selesai sebelum tahun 850.[20] Dalam hal ini peranan al-Farabi sangat besar, yang dengan kemahiran berbahasanya, dia memperbaiki kekurangtelitian penerjemahan ke dalam bahasa Arab.
Adapun para penerjemah dan nama-nama buku terjemahan Organon itu adalah sebagai berikut :

No
Nama Yunani
Nama Arab
Penerjemah
01.
Isagoge
al-Isaghuji
Abu Bisyr Matta ibn Yunus
02.
Categories
al-Maqulat
Hunain ibn Ishaq
03.
Hermeneutics/
De Interpretatione
al-Ibarah
Ishaq ibn Hunain
04.
Prior Analytics
al-Tahlil al-Qiyas
Theodorus dan Hunain ibn Ishaq
05.
Posterior Analytics
al-Burhan
Abu Bisyr Matta ibn Yunus
06.
Topics
al-Jadal
Yahya ibn Adi
07.
De Sophicticis Elenchis
al-Mughalitah/
al-Safsatah
Yahya ibn Adi
08.
Rhetoric
al-Khitabah
Ishaq ibn Hunain dan Ibrahim ibn Abdullah
09.
Poetics
al-Syi’ir
Abu Bisyr Matta ibn Yunus[21]
                         
Selain itu ada juga komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles sendiri maupun tambahan dari muridnya. Apabila diringkaskan, prestasi karya fakultas logika Baghdad itu ada tiga macam, yaitu:
a.   Menerjemahkan seluruh karya-karya logika Yunani ke dalam bahasa Arab.
b.   Menerbitkan karya-karya komentar al-Farabi yang mengagumkan terhadap buku-buku logika Aristoteles.
c.   Kritik yang cermat lagi tajam oleh al-Farabi dan Abu Bisyr Matta ibn Yunus terhadap karya-karya tambahan para murid Aristoteles yang dimasukkan ke dalam Organon. Misalnya tentang teori kondisional atau sillogime hipotetik, disjunktif dan deduksi sillogistik mengenai modus induktif argumen.[22]
Dari sini telah nampak peranan dan sumbangan pemikiran al-Farabi dalam fakultas logika di Baghdad terhadap karya-karya logika Aristoteles. Sebenarnya gerakan menggunakan pemikiran filsafat itu, khususnya kebutuhan berlogika, mulai hidup di kalangan kaum Muslimin semenjak munculnya golongan Mu’tazilah dalam rangka mempertahankan keyakinan terhadap serangan rivalnya, terutama dari fihak Kristen. Golongan Mu’tazilah itulah yang mula-mula mempraktikkan filsafat Yunani, menggunakan logika Aristoteles dalam ber-Êujjah.[23]
Gerakan rasionalisme ini kian berkembang setelah pada 827 H. al-Ma'mun menjadikan Mu`tazilah sebagai mazhab resmi negara. Dari gerakan ini kemudian memunculkan tokoh-tokoh filosof dan ahli logika Muslim. Di antaranya adalah al-Kindi, pelopor penerjemah logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Tetapi terjemahan dan ulasan al-Kindi ini belum sampai kepada buku Prior Analytics, Posterior Analytics dan seterusnya.
Dengan kegiatan penerjemahan ini, sebagian besar dari karangan-karangan Aristoteles, sebagian tertentu dari karangan-karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neo-Plotonisme, sebagian besar dari karangan-karangan Galen serta karangan-karangan dari dalam ilmu kedokteran lainnya, juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh para ulama Islam. Karangan-karangan tentang filsafat banyak menarik perhatian kaum Mu’tazilah, sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. Abu Huz|ail al-Allaf, Ibrahim al-Nazzam, Bisr ibn Mu’tamar dan sebagainya membaca buku-buku filsafat. Dalam diskursus mereka mengenai teologi Islam, daya akal atau logika yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani banyak mereka pakai. Tidak mengherankan kalau teologi kaum Mu’tazilah mempunyai corak rasional dan liberal.
Teori yang paling mempengaruhi pemikiran Islam adalah teori emanasi (pancaran). Teori ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana tercipanya alam semesta. Sebelum Plotinus, orang percaya bahwa alam semesta ini diciptakan ex nihilo (dari tiada). Dengan begitu, seolah-olah pencipta dan alam semesta merupakan dua hal yang tercipta satu sama lain. Plotinus, menolak paham seperti itu dan menurutnya apabila esensi ciptaan lain dari esensi penciptanya, maka masalah penciptaan tidak mungkin dapat dipecahkan. Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa keduanya adalah sama dalam esensi, tetapi berbeda dalam aktus. Plotinus berpendapat bahwa yang memancar dari prinsip pertama adalah Nous, realitas dibalik dunia fenomena. Yang memancar dari Nous adalah Jiwa, yakni prinsip dalam kehidupan dan gerak. Motif di balik usaha itu adalah hasrat untuk menjelaskan munculnya keanekaragaman dari keesaan dengan jalan menyisipkan tahap perantara.
Perkembangan terpenting dari ajaran Neoplatonisme di lingkungan Arab muslim adalah apa yang disebut sebagai Teologi Aristoteles, yang muncul sekitar tahun 226 H/841 M. Teologi ini merupakan terjemahan atau pembahasaan ulang bagian terakhir dari tiga buku (buku IV, V, VI) Enneads karya Plotinus, yang disusun oleh Naymah dari Emessa. Terjemahan ini beredar di lingkungan Arab dan kemudian dianggap sebagai karya Aristoteles. Kesalahan ini dapat dimaklumi, karena terjemahan nama Plato dan Plotinus ke dalam bahasa Arab menggunakan istilah yang sama, yaitu Aflatun. Gabungan Neoplatonisme dan ajaran Alexander dari Aphrodisias di kemudian hari berpengaruh sangat kuat dalam membentuk pola pemikiran filsafat Islam dalam berbagai cabang dan arah perkembangannya. Di tangan para filsuf muslim, pemikiran filosofis ini mencapai puncak pada masa Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Di samping Neoplatonisme, pengaruh besar lainnya terhadap pemikiran Islam datang dari Stoikisme. Hal ini sesuai pernyataan Osman Amin seperti yang dikutip dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam bahwa suatu pengkajian dengan seksama atas teks dari al-Kindi, al-Farabi, Ikhwa al-Safa, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Maskawaih, Ibnu Rushd, dan al-Razi menunjukkan dengan jelas bahwa pengaruh kaum Stoa, terutama mengenai persoalan etika dan teologi, lebih besar daripada pengaruh kaum Peripatetik atau platonik.[24]
Selama ini berkembang asumsi ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat dan para sejarawan, bahwa kajian filsafat Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rushd. Menurut Mustamin al-Mandary asumsi semacam ini berdasarkan, pertama lahir dari studi-studi filsafat Islam yang cenderung terlalu mengagungkan (atau menyimpulkan) bahwa puncak filsafat Islam terletak pada perdebatan filosofis-historis (dialektis) antara al-Ghazali (1059-1111 M) yang menyerang Ibn Sina sebagai pendiri mazhab Parepatetik dalam filsafat Islam, dengan Ibn Rushd (1126-1198 M). Sehingga ketika keduanya wafat, maka tradisi filsafat Islam diasumsikan mati.
Kedua, sebagian besar pengamat filsafat menganggap bahwa “dialektika” filosofis antar Ibn Sina-al-Ghazali-Ibn Rushd merupakan sebuah pertentangan. Padahal jika kita cermati secara jeli, dialektika yang berlangsung antara mereka merupakan sebuah upaya untuk mempertegas arah dan posisi filsafat Islam, dan pada saat yang sama terdapat nilai-nilai yang mesti dipertegas antara nilai-nilai keIslaman dan nilai-nilai filosofis.
Kritik al-Ghazali terhadap Ibn Sina dan kaum Parepatetik mesti kita dudukkan sebagai usaha besar untuk merubah kecenderungan filsafat Islam, dari klaim-klaim menggelitik tentang filsafat Islam (filsafat Islam hanyalah sebagai filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab) ke arah filsafat Islam yang khas. Sedangkan usaha kritik-balik yang dilancarkan oleh Ibn Rushd adalah sebuah upaya bahwa kaum muslim harus benar-benar serius dalam mengedepankan nilai-nilai filosofis dalam filsafat Islam secara mandiri.
Ketiga, pada umumnya, para pengamat sejarah filsafat Islam cenderung melupakan adanya sinergitas dan kontinuitas tradisi filsafat Islam di belahan dunia muslim lainnya. Yakni ketika mereka membatasi kajian filsafat Islam pada tokoh-tokoh dari al-Kindi sampai al-Ghazali dan Ibn Rushd.
Pandangan ahistoris semacam ini mesti lekas kita tolak, karena pada kenyataannya filsafat Islam terus berkembang terutama dikembangkan di sebagian besar wilayah timur dan beberapa kecil di maghrib. Ada beberapa tokoh yang terus melanjutkan tradisi filosofis dalam Islam meski lahir dengan berbagai perbedaan coraknya, seperti Syihªb al-DÌn Suhrawardi (w. 1191 M) yang mendirikan mazhab filsafat Illuminasionisme, Muhy al-DÌn Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) yang memiliki corak teosofi/’irfani (gnostisisme) di maghrib.
Ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi ini ternyata lebih berkembang di daerah Persia dengan tokoh-tokohnya semacam Shadr al-DÌn Qunawi (w. 1274 M), Quthb al-DÌn al-ShÌrªzÌ (w. 1311 M). Bahkan sampai ke Turki melalui Jalal al-DÌn Rumi (1273 M). Tradisi Illuminasionisme berkembang melalui Shahrazuri (w. 1288 M), Ibn Kammunah (w. 1284 M), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385 M), dan Mir Damad (w. 1631 M). Mazhab filsafat peripatetik terus berlanjut melalui Nashir al-DÌn al-£ñsÌ (w. 1274 M).
Puncak dari semua aliran filsafat ini berada di tangan Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1637 M) yang mencoba memadukan semua aliran filsafat Islam yang ada sebelumnya di bawah nama al-Hikmah al-Muta’ªliyah atau Teosofi Transenden. Setelahnya tradisi filsafat Islam tidak pernah padam bahkan sampai abad modern dewasa ini.

C.    Penutup
Tradisi filsafat mulai merambah kembali ke daerah Timur ketika Iskandar Agung berkuasa sekitar 332 SM di Iskandariah, dan memuncak pada 529 M. Iskandariah merupakan bagian dari Mesir saat ini. Lalu ketika Mesir takluk pada bangsa Arab pada 641 M. Munasabah di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash, Iskandariah tetap menjadi kota budaya yang mengembangkan tradisi filsafat, sains, dan kedokteran.
Pengaruh filsafat Yunani yang cukup signifikan terjadi pada corak pemikiran filosofis Islam, berlangsung melalui proses penerjemahan, transferensi, dan anotasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh filosof muslim. Banyak sekali buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan cukup mempengaruhi corak pemikiran para filosof muslim, di antaranya Timaeus karya Plato; Analytica Posteriora, Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption dan Nicomachean Ethics karya Aristoteles; Isagoge karya Porphyry, dan Synopsis of the Ehtics karya Galen. Semua itu dilakukan pada masa kekuasaan ‘Abbasiyah.
Tradisi penulisan filsafat secara sistematis baru dimulai pada abad ke-9 di kawasan mashriq Islam, oleh Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (w. 866 M). Lalu berlanjut pada beberapa tokoh yang semakin hari menampakkan kegemilangan filsafat Islam, seperti Abu Bakar al-Razi (w. 925/932/935 M), al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Ibn Miskawaih (w. 1030 M), dan al-Ghazali (w. 1111 M).
Berlanjut setelahnya, filsafat Islam pun berkembang di wilayah maghrib dengan beberapa tokohnya seperti Ibn Masarrah (w. 931 M), Ibn Bajjah (w. 1139 M), Ibn Thufail (w. 1185), Ibn Sab’in (w. 1270 M) dan berpuncak pada Ibn Rushd (w. 1198 M) serta Ibn Khaldun (w. 1406 M). Selama ini berkembang asumsi ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat dan para sejarawan, bahwa kajian filsafat Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rushd.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, Syed Ameer, The Spirit of Islam, penerjemah: Margono & Kamilah. Yogyakarta: Navila, 2008.
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal. Bairut: Dªr al-Ma’rifah, 1975.
Al-Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Rofi’ Usman, Bandung: Pustaka, 1986.
Amin, Ahmad, Fajr al-Islªm. Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965.
De Lacy O’Leary, How Greek Science Passed to the Arab. London: Routledge, 1957.
Glubb, Sir John, A History of The Arab Peoples. New York: Dorset Press, 1988.
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Pres, 1986.
Hitti, Philip K., Makers of Arab History. New York: Harper Torchbooks Harper & Row, 1968.
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,1979.
M. Amin Abdullah, "Penerjemahan Karya Klasik" Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah et.al., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. 
Madjid Fakhry, Sejarah filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Nicholas Rescher, "Arabic Logic", dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philos­ophy,  vol. 4, New York: Macmilan Publishing Co. Inc., and The Free Press, & London: Macmillan Publishers, 1972.
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam. New York, Toronto, and London : New American Library, 1970.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993.
Zaidan, Jirji, Tªrikh al-Tamaddñn al-Islamiyyah, vol. 3, Beirut: Maktabah al-Hayªt, 1967.



PARA FILOSOF MUSLIM DI DUNIA TIMUR
A. Al-Kindi ..................................................
B. Al-Farabi ....................
C. Ibn Sina ...............................................................
D. Ibn Miskawih ...............................................
E. Al-Ghazali .................................................
F. Suhrawardi al-Maqtul ............................................
G. Mullah Sadr
PARA FILOSOF MUSLIM DI DUNIA BARAT (EROPA)
A. Kebudayaan dan Peradaban Islam Eropa
B. Ibn Bajah
B. Ibn Tufail ...............................
C. Ibn Rushd .....................................
D. Ibn Khaldun



[1] Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam penerjemah: Margono & Kamilah (Yogyakarta: Navila, 2008), 453.
[2]Untuk melacak data sejarah secara lengkap, lihat Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: UI Pres, 1986), 5-64. Ketujuh piawai akali di atas, oleh Syahrastani diintrodusir sebagai “al-hukama’ al-sab’ah”. Lihat al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Bairut: Dªr al-Ma’rifah, 1975), 61.
[3]Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 15.
[4]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 10.
[5]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1979), 20.
[6]De Lacy O’Leary, How Greek Science Passed to the Arab (London: Routledge, 1957), 20.
[7]Adanya interaksi antara kebudayaan Yunani dengan ajaran Kristen. Di mana kebudayaan Yunani berkembang di bawah pengaruh doktrin Kristen dan doktrin Kristen dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Hal ini bisa dimengerti mengingat ajaran Kristen berkembang di kawasan itu.
[8]M. Amin Abdullah, "Penerjemahan Karya Klasik" Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah et.al., (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 15. 
[9]Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Rofi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1986), 76.
[10]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), 211.
[11]Madjid Fakhry, Sejarah filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 30.
[12]Ahmad Amin, Fajr al-Islªm, (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965), 138.
[13] Amin, "Penerjemahan Karya Klasik", 15.
[14] Philip K. Hitti, Makers of Arab History (New York: Harper Torchbooks Harper & Row, 1968), 76.
[15] Sir John Glubb, A History of The Arab Peoples (New York: Dorset Press, 1988), 109.
[16] Ibid.
[17] Amin, "Penerjemahan Karya", 18.
[18]Ibid., 19.
[19]Amin, Fajr al-Islam, 526.
[20]Ibid., 525.
[21]Ibid., Lihat juga Jirji Zaidan, Tªrikh al-Tamaddñn al-Islamiyyah, vol. 3, (Beirut: Maktabah al-Hayªt, 1967), 168.
[22] Nicholas Rescher, "Arabic Logic", dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philos­ophy,  vol. 4, (New York: Macmilan Publishing Co. Inc., and The Free Press, & London: Macmillan Publishers, 1972), 526.
[23]Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, Toronto, and London : New American Library, 1970), 305.
[24]Amin, "Penerjemahan Karya", 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar