ISRO'ILIYYAT DALAM PENAFSIRAN AL-QUR'AN
A.
Pendahulua
Al-Qur'an merupakan satu mukjizat yang
sesuai untuk semua zaman, keadaan, dan juga tempat. Oleh itu, ia memerlukan
satu penafsiran yang kukuh untuk memudahkan orang awam memahami kandungan al-Qur'an
dan seterusnya dapat menghayati segala isi kandungannya. Penafsiran yang
dilakukan tidak berhati-hati akan memudahkan unsur-unsur Isrª'iliyyªt dan khurafat memasuki ke dalam kitab-kitab tafsir. Unsur-unsur Isrª'iliyyªt ini menyerap masuk ke dalam kitab tafsir kerana sikap ambil mudah
penafsir. Mereka terus menukilkan tafsir tanpa mengira kesahihan cerita
tersebut.
Islam adalah agama yang shumul. Segala
pengajaran, arahan dan larangannya adalah merangkumi seluruh aspek kehidupan
manusia. Sejajar dengan itu, al-Qur'an diturunkan sebagai kitªbullªh yang mempunyai panduan dan hidayah kepada
seluruh umat manusia, lengkap dengan segala isi kandungannya sama ada dari segi
aqidah, ibadah, perundangan, akhlak, sejarah dan sebagainya. Al-Qur'an
dinukilkan secara mutawatÌr dan merupakan kitab yang sentiasa dipelihara isi kandungannya oleh
Allah daripada diselewengkan oleh musuh-musuh-Nya. Namun begitu, terdapat setengah
para penafsir dahulu atau masa kini yang memasukkan unsur-unsur Isrª'iliyyªt dalam penafsiran mereka.
Maka dari itu, kami akan membahas tentang
Isrª'iliyyªt dalam penafsiran al-Qur'an untuk mengetahui defenisi, pengaruhnya
terhadap tafsir, tokoh periwayatnya serta beberapa pendapat tentang Isrª'iliyyªt.
B.
Pengertian
Isrª'iliyyªt
Kata Israil merupakan bahasa
Ibrani yang berasal dari kata Ibra yang mempunyai arti hamba atau
pilihan, sedangkan il mempunyai arti Allah. Secara terminologi,
Israiliyat adalah riwayat kaum Yahudi dan
Nasrani pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat. Istilah Isrª'iliyyªt banyak ditemukan dalam pembahasan tafsir dan hadis. Kata Israil
identik dengan bangsa Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an tentang
bani Israil;
ÆÏèä9 tûïÏ%©!$# (#rãxÿ2 .`ÏB û_Í_t/ @ÏäÂuó Î) 4n?tã Èb$|¡Ï9 y¼ãr#y Ó|¤Ïãur Ç`ö/$# zOtötB 4 y7Ï9ºs $yJÎ/ (#q|Átã (#qçR%2¨r crßtF÷èt ÇÐÑÈ
Terjemahnya: "Telah dilaknati
orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam.
yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (QS.
Al-Mªidah: 78)[1]
Sabir Tu'aimah (pakar tafsir
Mesir) mendefinisikan Isrª'iliyyªt sebagai seluruh manuskrip
berbentuk yang ditinggalkan oleh Bani Israil (yang dikenal dengan Yahudi), yang
berasal dari tradisi satu generasi ke generasi berikutnya, dan diramu dari
berbagai sumber, termasuk dari Kitab perjanjian lama; sampai munculnya Nabi Isa
dan kemudian Islam. Defenisi tersebut menggambarkan bahwa Isrª'iliyyªt hanya terbatas pada peninggalan Yahudi.[2]
Perkataan Isrª'iliyyªt adalah diambil daripada kata jamak. Mufradnya adalah
diambil daripada kata Isrª'iliyyªh, yang dinisbahkan kepada Bani Israil (keturunan Israil).
Manakala Israil pada asalnya adalah nama Nabi Allah Ya'qub (a.s.) yang membawa
maksud Abdullah atau hamba Allah. Bani Israil atau keturunan Israil ialah
keturunan Nabi Ya'qub (a.s.) yang berkembang hingga kepada Nabi Musa (a.s.) dan
seterusnya nabi-nabi yang datang silih berganti, sehinggalah keturunannya yang
terakhir yaitu Nabi Isa (a.s.).
Keturunan
Nabi Ya'qub (a.s.) atau Bani Israil sejak beberapa zaman yang lalu dikenali
dengan panggilan Yahudi. Keturunan yang beriman kepada Nabi Isa (a.s.) pula
dikenali dengan nama Nasara atau Nasrany. Manakala yang beriman dengan
Nabi Muhammad (s.a.w.) pula telah menjadi sebahagian daripada umat Islam dan
dikenali dengan Muslim ahl al-Kitªb. Isrª'iliyyªt menurut istilah ahli tafsir ialah kisah-kisah Yahudi yang menyerap
masuk ke dalam shari'at Islam melalui tafsir al-Qur'an yang banyak berlaku di zaman
tabi’in. Namun ulama tafsir dan hadith menggunakan istilah Isrª'iliyyªt terhadap perkara-perkara yang lebih luas, yaitu setiap kisah
termasuk cerita lama yang diadakan, dimasukkan ke dalam tafsir. Bahkan setengah
ulama tafsir dan hadith menganggap Isrª'iliyyªt adalah setiap kisah yang dicipta dan disampai oleh musuh-musuh
Islam ke dalam tafsir dengan tujuan untuk merusak kesucian Islam.[3]
Sedangkan
Muhammad Husain al-Dhahabi, seorang ahli tafsir Universitas al-Azhar, Kairo,
mendefenisikan bahwa Isrª'iliyyªt merupakan kebudayaan Yahudi dan Nasrani yang dipelihara secara
berkisenambungan dan berpengaruh dalam penafsiran al-Qur'an dan sunah. Gambaran
mengenai kebudayaan Yahudi dan Nasrani ini meliputi etika, kisah, sejarah,
hukum, dan hikayat yang ada dalam mashara'at serta penjelasan dari
Injil. Di samping itu, termasuk juga dalam Isrª'iliyyªt adalah berbagai tradisi, nasihat, dan penjelasan yang diriwayatkan
dari Nabi Musa secara tidak tertulis yang diterima Yahudi secara turun-temurun.[4]
C.
Timbulnya
Isrª'iliyyªt dalam Penafsiran Al Qur'an
Isrª'iliyyªt mempengaruhi penafsiran al-Qur'an dan sunah Rasulullah sejak zaman
sahabat. Ketika Rasulullah masih hidup, para sahabat berpegang sepenuhnnya
kepada penjelasan Rasulullah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Setelah
Rasulullah wafat, jika para sahabat memerlukan penafsiran ayat yang berkaitan
dengan kisah umat masa lalu, sedangkan
penjelasan tidak ada dalam masalah itu, mereka menanyakan kepada sahabat yang
dahulunya beragama Yahudi dan Nasrani. Namun para sahabat dalam memberikan
penjelasan tidak terlepas dari pengaruh agama dan kebudayaan mereka dahulu.
Menurut Ibnu Khaldun, sebab
masuknya Isrª'iliyyªt ke dalam tafsir al-Qur'an dan hadis karena diawali keadaan orang
Arab yang pada masa pra-Islam mempunyai pola budaya badªwah (nomad) dan 'ummiyyah (buta
huruf).orang Arab tidak tahu banyak tentang penciptaan alam; kapan dan apa
rahasia-rahasia penciptaan alam. Setelah kedatanngan Islam, kaum Arab muslim
mencari tahu tentang hal-hal di atas kepada para sahabat mereka yang dahulunya
beragama Yahudi dan Nasrani. Penjelasan yang mereka berikan tidak bisa terlepas
dari kebudayaan mereka sebelum masuk Islam, kecuali dalam hal yang berhubungan
dengan hukum dan akidah. Sebab itu, menurut Ibnu Khaldun, banyak unsur Isrª'iliyyªt yang masuk ke dalam tafsir al-Qur'an.[5]
D.
Pengaruh
Isrª'iliyyªt dalam Kitab Tafsir
Kemasukan Isrª'iliyyªt ke dalam tafsir bermula dengan kemasukan thaqafah (peradaban)
Bani Israil (yang berhijrah ke Semenanjung Arab) ke dalam thaqafah 'Arabiyyah
di zaman Jahiliyyah. Bangsa Yahudi ini membawa bersama-sama mereka
ilmu-ilmu dan pengetahuan yang diambil daripada kitab-kitab agama mereka, dan
segala perkara yang berkaitan dengannya daripada nasehat-nasehat, dan juga yang
mereka warisi daripada satu generasi ke satu generasi daripada nabi-nabi mereka
dan pendeta-pendeta mereka. Mereka mempunyai tempat yang dinamakan al-midras
yaitu sekolah-sekolah tempat mereka mempelajari setiap perkara yang
diwarisi. Mereka juga mempunyai tempat-tempat ibadah dan shi'ar agama
mereka.
Kemudian, datang ajaran Islam dan kitab
Allah (s.w.t.) yang terkandung di dalamnya ilmu dan agama. Seruan Islam lahir
dan tersebar di kalangan penduduk Semenanjung Arab. Pada zaman Rasulullah
(s.a.w.) pusat negara Islam adalah Madinah al-Munawwarah. Untuk mendidik
para sahabat, majlis-majlis ilmu pada zaman Rasulullah (s.a.w.) ini dilakukan
di Masjid Madinah. Di kota Madinah dan di sekitarnya tinggal bermukim beberapa
golongan Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Quraizah, Bani al-Nadir, Yahudi
Khaibar, Taima’ dan Fadak.
Terdapat di kalangan ulama Yahudi atau
ahli Kitab di Madinah yang memeluk Islam seperti Abdullah bin Salam. Beliau dan
orang sepertinya menjadi tempat rujukan kepada sahabat untuk bertanya secara
terperinci tentang kisah-kisah yang sama yang juga disebut di dalam kitab-kitab
al-Qur'an dan Taurat. Namun para sahabat tidak menerima bulat-bulat apa yang
diceritakan kepada mereka. Malah mereka menapisnya dengan akal dan juga shara'.
Mereka hanya menerima apa yang diterima oleh akal dan shara' dan menolak
sekiranya berdasarkan dengan keduanya. Seterusnya mereka berdiam diri terhadap
perkara-perkara yang tidak jelas tentang benar dan salahnya.
Ibn Khaldun menyatakan apabila timbul
keinginan di kalangan orang-orang Arab untuk mengetahui tentang permulaan
kejadian makhluk dan rahasia kejadian, mereka cenderung bertanya ahli kitab
dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Mayoritas mereka adalah dari suku bangsa
Humair. Apabila mereka memeluk Islam, pengaruh daripada ajaran agama mereka
yang berkaitan dengan asal kejadian makhluk, cerita-cerita tentang peperangan
dan sebagainya masih kuat dalam diri mereka. Antara golongan mereka ialah Ka’ab
bin al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, dan Abdullah bin Salam.[6]
Sebagai contoh seperti dalam penafsiran
al-Qurðñbi tentang penciptaan manusia pertama yang termaktub dalam surat al-Baqarah
ayat 30, yaitu:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( ......
Beliau mengatakan: "Bahwa Allah
menciptakan Adam dengan tangan-Nya sendiri langsung dari tanah selama 40 tahun.
Setelah kerangka itu siap lewatlah para malaikat di depannya. Mereka
terperanjat karena amat kagum melihat indahnya ciptaan Allah itu dan yang paling
kagum adalah iblis, lalu dipukul-pukulnya kerangka Adam tersebut, lantas
terdengar bunyi seperti periuk belanga dipukul; seraya ia berucap: "Untuk
apa kau diciptakan".[7] Apabila
dicermati penafsiran yang dikemukakan, maka ada benarnya penilaian yang
dikemukakan oleh al-KhaðÌb bahwa penafsiran tersebut masuk kelompok Isrª'iliyyªt.
E.
Tokoh-Tokoh
Periwayat Isrª'iliyyªt
Sahabat yang sebelumnya
beragama Yahudi dan Nasrani antara lain: Wahab bin Munabbih (34-110 H),
Abdullah bin Salam (w. 43 H), Ka'b al-Ahbar (w. 32 H), dan Abdul Malik bin
Absul Aziz bin Juraij (80-159 H). Mereka ini sering dirujuk dalam penafsiran
ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah-kisah masa lalu.
Tokoh-tokoh tafsir yang banyak merujuk riwayat Isrª'iliyyªt dalam tafsir mereka antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Abdullah
bin Amr bin As, Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, dan Tamim al-Dari dari
kalangan sahabat; dan Ka'b al-Ahbar serta Wahab bin Munabbih dari kalangan
tabi'in. Dari kalangan tabi' tabi'in tercatat seperti Muhammad bin Sa'ib
al-Kalbi (semula beragama Yahudi), Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij
(semula beragama Nasrani), Muqatil bin Sulaiman, dan Muhammad bin Marwan
al-Suddi (murid Muhammad bin Sa'ib al-Kalbi)
F.
Pembagian
Isrª'iliyyªt Ditinjau dari Berbagai Aspek
Secara umum, riwayat Isrª'iliyyªt dibagi menjadi tiga bagian;
1.
Isrª'iliyyªt yang sahih dan bertepatan dengan nas-nas al-Qur'an dan al-Sunnah.
2.
Isrª'iliyyªt yang berdasarkan dengan naî yang Qath'i
daripada al-Qur'an dan juga al-Sunnah, serta menyalahi logika akal. Isrª'iliyyªt ini tidak harus diriwayatkan.
3.
Isrª'iliyyªt yang ‘Maskut 'Anhu’ yaitu yang tidak disokong oleh naî al-Qur'an dan juga al-Sunnah yaitu ia bukan dari bahagian pertama
dan juga bahagian kedua. Bahagian ini tidak perlu kita membenarkannya dan tidak
juga mendustakannya. Tetapi harus diriwayatkannya.[8]
Isrª'iliyyªt adalah berita-berita yang diambil dari Bani Israil, Yahudi
(kebanyakannya) atau dari kalangan orang-orang Nashrani. Berita-berita ini
terbagi menjadi 3 kategori:[9]
Pertama, Berita Yang Diakui Islam Dan Dibenarkannya. Contohnya, seperti
yang diriwayatkan al-Bukhari dan periwayat selainnya, dari Ibn Mas’ud RA, ia
berkata, “Seorang rabi Yahudi datang menemui Nabi SAW seraya berkata, ‘Wahai
Muhammad, sesungguhnya kami menemukan bahwa Allah SWT menjadikan seluruh langit
di atas satu jari, seluruh bumi di atas satu jari, pepohonan di atas satu jari,
air dan tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, lalu Dia
berfirman, ‘Akulah al-Malik (Raja Diraja).’ Rasulullah SAW tertawa mendengar
hal itu hingga tampak gigi taringnya membenarkan ucapan sang rabi tersebut,
kemudian beliau membaca ayat, “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada
hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha
Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.az-Zumar:67)
Kedua, Berita Yang Diingkari Islam dan Didustakannya. Contohnya, seperti
yang diriwayatkan al-Bukhari, dari Jabir RA, ia berkata, “Orang-orang Yahudi
mengatakan, ‘bila suami menyetubuhi isterinya dari arah belakang, maka anaknya
akan lahir bermata juling.’ Lalu turunlah firman Allah SWT, “Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS.al-Baqarah:223)
Ketiga, Berita Yang Tidak Diakui Islam dan Tidak Pula Diingkarinya Contohnya: Dari Abu Hurairah RA, ia berkata,
“Ahli Kitab biasanya membaca taurat dengan bahasa Ibrani lalu menafsirkannya
dengan bahasa Arab kepada umat Islam. Maka Rasulullah SAW berkata, ‘Janganlah
kalian benarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya tapi katakanlah
(firman Allah SWT), ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.’” (QS.al-‘Ankabut:46). Tetapi
berbicara mengenai jenis ini dibolehkan bila tidak khawatir membuahkan
larangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku, sekali
pun satu ayat, dan berbicaralah mengenai Bani Israil sesukamu. Barangsiapa yang
mendustakanku secara sengaja, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di
api neraka.” (HR.al-Bukhari)
Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari mereka tersebut tidak
banyak manfa’atnya bagi kepentingan agama seperti penentuan apa warna anjing Aîhªbul Kahfi dan sebagainya.
Ada pun bertanya kepada ahli kitab mengenai sesuatu dari ajaran
agama kita, maka hal itu haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah RA, ia berkata, “Rasulullah
SAW bersabda, ‘Janganlah kalian tanyakan kepada ahli kitab mengenai sesuatu pun
sebab mereka tidak bisa memberi hidayah kepada kalian sementara mereka sendiri
telah sesat. Jika kalian lakukan itu, berarti (antara dua kemungkinan-red.,)
kalian telah membenarkan kebatilan atau mendustakan kebenaran. Sesungguhnya,
andaikata Musa masih hidup di tengah kalian, pastilah ia akan
mengikutiku."
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA,
bahwasanya ia berkata, “Wahai kaum muslimin, bagaimana mungkin kalian bertanya
kepada ahli kitab padahal kitab yang Allah turunkan kepada nabi kalian itu
adalah semata-mata informasi paling baru mengenai Allah yang tidak pernah
lekang. Allah telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab telah mengganti
kitabullah dan merubahnya lalu menulisnya dengan tangan mereka sendiri. Lalu
mereka mengatakan, ‘Ia berasal dari Allah agar mereka membeli dengannya harga
yang sedikit. Tidakkah melalui ilmu yang dibawa-Nya, Dia melarang kalian untuk
bertanya kepada mereka (ahli kitab)? Demi Allah, kami sama sekali tidak pernah
melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian mengenai apa yang telah
diturunkan kepada kalian”.[10]
G.
Berbagai
Pandangan terhadap Isrª'iliyyªt
Menurut para mufasir, unsur
Isrª'iliyyªt pada zaman sahabat masih relatif sedikit karena tidakmenyentuh
persoalan hukum dan akidah. Para sahabat dalam menerima unsur Isrª'iliyyªt cukup selektif, mereka membandingkannya dengan keterangan yang ada
di dalam al-Qur'an dan sunah. Jika ternyata bertentangan, maka penafsiran
melalui riwayat Isrª'iliyyªt mereka tolak. Namun tingkat kehati-hatian para sahabat dalam
menerima riwayat Isrª'iliyyªt mulai mengendur ketika zaman tabi'in (generasi sesudah sahabat).
Hal ini berlanjut kepada zaman sesudahnya sehingga sebagian kitab tafsir yang
disusun mengandung banyak unsur Isrª'iliyyªt. keadaan ini menjadi lebih sulit ketika para mufasir mengutip
suatu riwayat untuk menafsirkan tidak lagi mencantumkan sanad riwayat itu
sendiri. Akibatnya, sulit membedakan antara riwayat yang benar-benar dari
Rasulullah dan dari Isrª'iliyyªt. faktor inilah, yang menurut al-Dhahabi yang membuat semakin
berkembangnya penafsiran Isrª'iliyyªt dalam kitab-kitab tafsir. Bahkan menurutnya, tidak ada satu kitab
tafsir yang terlepas dari riwayat Isrª'iliyyªt.
Dalam menerima riwayat Isrª'iliyyªt untuk menfasirkan al-Qur'an atau hadis, terdapat perbedaan pendapat
di antara para ulama. Perbedaan ini muncul karena ada dalil yang memperbolehkan
menerima riwayat itu dan ada yang melaranngnya.
- Adanya firman Allah dalam surat al-Mª'idah ayat 13;
$yJÎ6sù NÍkÅÕø)tR öNßgs)»sVÏiB öNßg»¨Zyès9 $oYù=yèy_ur öNßgt/qè=è% ZpuÅ¡»s% ( cqèùÌhptä zOÎ=x6ø9$# `tã ¾ÏmÏèÅÊ#uq¨B (#qÝ¡nSur $yàym $£JÏiB (#rãÏj.è ¾ÏmÎ/ 4 wur ãA#ts? ßìÎ=©Üs? 4n?tã 7poYͬ!%s{ öNåk÷]ÏiB wÎ) WxÎ=s% öNåk÷]ÏiB ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã ôxxÿô¹$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä úüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÈ
Terjemahnya: "(tetapi) karena mereka
melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya[12], dan
mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan
dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka
kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka
dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik". (QS. al-Mª'idah:13 )[13]
- Hadis Rasulullah yang menyatakan:
لا
تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا أمنا بالله وما انزلنا إلينا.....(أخرجه
البخارى)
Artinya:
"janganlah kamu membenarkan (riwayat) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan
jangan pula kamu mendustakannya, tetapi katakanlah kami beriman kepada Allah
dan terhadap apa yang Ia turunkan kepada kami" (HR. Bukhari)
Adapun
alasan para ulama yang membolehkan unsur Isrª'iliyyªt antara lain sebagai berikut:
- Adanya firman Allah dalam surat Yunus ayat 94;
bÎ*sù |MZä. Îû 7e7x© !$£JÏiB !$uZø9tRr& øs9Î) È@t«ó¡sù úïÏ%©!$# tbrâätø)t |=»tFÅ6ø9$# `ÏB y7Î=ö6s% 4 ôs)s9 uä!%y` ,ysø9$# `ÏB Îi/¢ xsù £`tRqä3s? z`ÏB tûïÎtIôJßJø9$# ÇÒÍÈ
Terjemahnya:
"Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang
Kami turunkan kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab
sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab
itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu". (QS. Yunus: 94.)[14]
- Hadis Rasulullah dari Abdullah bin Amar yang menyatakan:
بلغوا
عنى ولو اية وحدثوا عنى بنى إسرائيل ولا حرج....(اخرجه البخارى)
Artinya:"Sampaikanlah
yang datang dariku sekalipun satu ayat, serta ceritakanlah tentang (keadaan)
Bani Israil tanpa kesulitan… (HR. Bukhari)
- Sikap sebagian Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas), Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Amar, dan Abu Hurairah yang sering bertanya kepada sahabat yang dulunya beragama Yahudi dan Nasrani dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah-kisah masa silam.
Al-Dhahabi melihat bahwa kedua kelompok ulama yang
bertentangan tersebut sama-sama memiliki dalil yang kuat. Oleh karena itu, maka
harus dicari jalan keluar atau solusi sehingga keberadaan Isrª'iliyyªt dalam tafsir semakin jelas.
Ibnu Taimiyah membagi Isrª'iliyyªt menjadi 3 kategori, yaitu:
1.
Isrª'iliyyªt yang didukung dalil shara' (al-Qur'an dan hadis);
2.
Isrª'iliyyªt yang jelas bertentangan dan ditolak shara';
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam kategori pertama, Isrª'iliyyªt dapat dijadikan bahan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan
sunah. Pada kategori kedua, Isrª'iliyyªt tidak boleh dijadikan bahan penafsiran ayat maupun sunah. Untuk
kategori ketiga, umat Islam tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh pula
mendustakannya, tetapi umat Islam boleh meriwayatkannya hanya untuk dalil
pendukung dalam menafsirkan al-Qur'an atau sunah.
Menurut al-Dhahabi, Kitab tafsir yang banyak merujuk
riwayat Isrª'iliyyªt antara lain: Jªmi' al-Bayªn fi Tafsir al-Qur'ªn (penjelasan yang memadai dalam menafsirkan al-Qur'an) atau
disingkat tafsir al-£abari oleh Abu Ja'far Muhammad bin Jarir
al-Tabari; Tafsir al- Qur'ªn al-Adhim atau dikenal sebagai tafsir Ibnu Kathir oleh Ibnu Kathir; al-Kashf
wa al-Bayan 'an Tafsir al-Qur'ªn (ungkapan dan penjelasan dari tafsir al-Qur'an) oleh Muhammad bin
Ibrahim al-Sa'labi, Tafsir al-Khªzin oleh Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar
bin Khalil al-Shaihi, dan Tafsir al-Alusi oleh Shihabuddin Mahmud
al-Alusi.
Shekh Rashid Rida, yang menyusun tafsir al-Manar,
dikenal sebagai yang menentang riwayat Isrª'iliyyªt, namun menurut al-Zahabi, ternyata dalam tafsirnya terdapat banyak
riwayat yang bersumber dari Isrª'iliyyªt.[16]
Tentang Isrª'iliyyªt, Imam Ibnu Kathir membolehkan mencantumkannya dalam tafsir dengan
syarat: Isrª'iliyyªt yang digunakan memiliki sanad yang îahih, tidak
bertentangan dengan shari’at dan ini digunakan hanya untuk istidlal atau
bukti penafsiran yang ada, bukan sandaran prinsipil dalam tafsir.
Kemudian Imam Ibnu Katsir membagi Isrª'iliyyªt menjadi tiga bagian:
1. Isrª'iliyyªt yang diketahui keotentikannya, Isrª'iliyyªt semacam ini boleh dijadikan bukti atau penguat dalam tafsir
seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Kathir.
2. Isrª'iliyyªt yang diketahui ketidakabsahannya (palsu), biasanya Isrª'iliyyªt semacam ini bertentangan denga syari’at dan ini wajib di
tinggalkan.
3. Isrª'iliyyªt yang tidak di berikan komentar oleh para ulama, namun hal ini
tidak bertentangan dengan shari’at.[17]
Para ulama, khususnya ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sikap
terhadap Isrª'iliyyªt ini:
1. Di antara mereka ada yang memperbanyak
berbicara tentangnya dengan dirangkai dengan sanad-sanadnya. Pendapat ini
berpandangan bahwa dengan menyebut sanadnya, berarti ia telah berlepas diri
dari tanggung jawab atasnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir al-£abari.
2. Di
antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dan biasanya
menanggalkan sama sekali sanad-sanadnya. Ini seperti pencari kayu bakar di
malam hari. Cara seperti ini dilakukan al-Baghawi di dalam tafsirnya yang
dinilai oleh Shaikhul Islam Ibn Taimiyah sebagai ringkasan dari tafsir
al-Tha’alabi. Hanya saja, al-Bagawi memproteksinya dari dimuatnya hadits-hadits
palsu dan pendapat-pendapat yang dibuat-buat. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah
menyebut ats-Tha’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari di mana
ia menukil apa saja yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir baik yang shahih,
dha’if maupun yang mawdhu’ (palsu).
3. Di antaranya mereka ada yang banyak sekali
menyinggungnya dan mengomentari sebagiannya dengan menyebut kelemahannya atau
mengingkarinya seperti yang dilakukan Ibn Kathir.
4. Di antara mereka ada yang
berlebih-lebihan di dalam menolaknya dan tidak menyebut sesuatu pun darinya
sebagai tafsir al-Qur’an seperti yang dilakukan Muhammad Rashid Rida.[18]
H.
Penutup
Isrª'iliyyªt menurut istilah ahli tafsir ialah kisah-kisah Yahudi yang menyerap
masuk ke dalam shari'at Islam melalui tafsir al-Qur'an yang banyak berlaku di zaman
tabi’in. Namun ulama tafsir dan hadith menggunakan istilah Isrª'iliyyªt terhadap perkara-perkara yang lebih luas, yaitu setiap kisah
termasuk cerita lama yang diadakan, dimasukkan ke dalam tafsir. Setelah
Rasulullah wafat, jika para sahabat memerlukan penafsiran ayat yang berkaitan
dengan kisah umat masa lalu, sedangkan
penjelasan tidak ada dalam masalah itu, mereka menanyakan kepada sahabat yang
dahulunya beragama Yahudi dan Nasrani. Namun para sahabat dalam memberikan
penjelasan tidak terlepas dari pengaruh agama dan kebudayaan mereka dahulu.
Secara umum, Isrª'iliyyªt menjadi 3 kategori, yaitu: pertama, Isrª'iliyyªt yang didukung dalil shara' (al-Qur'an dan hadis); kedua,
Isrª'iliyyªt yang jelas bertentangan dan ditolak shara'; dan ketiga, Isrª'iliyyªt yang tidak didukung shari'ªt dan tidak juga
bertentangan dengan shariªt. Artinya, dalam kategori pertama, Isrª'iliyyªt dapat dijadikan bahan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan
sunah. Pada kategori kedua, Isrª'iliyyªt tidak boleh dijadikan bahan penafsiran ayat maupun sunah. Untuk
kategori ketiga, umat Islam tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh
pula mendustakannya, tetapi umat Islam boleh meriwayatkannya hanya untuk dalil
pendukung dalam menafsirkan al-Qur'an atau sunah. Wallªhu A'lam bi al-Sawªb…
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Taufik,
" Isrª'iliyyªt " Suplemen Ensiklopedi Islam,
ed. Taufik Abdullah et.al., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999.
Al-Dhahabi,
Muhammad Husain, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadith. Kairo:
Maktabah Wahbah, 1990.
, al-TafsÌr wa al-Mufassirñn. Kairo: Maktabah Wahbah, tt.
Ali, Idrus, "Apa itu
Israiliyat", dalam http://idrusali85.wordpress.com/2007/11/26/ apa-itu-israiliyat/.
Baidan,
Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
El-Khayat
"Sikap Imam Ibnu Kathir terhadap Iisroiliyat" dalam http://el-khayat.
blogspot.com/ 2008/09/imam-ibnu-kastir.html?zx=7b852932425cd5e6.
Mazlan Ibrahim,
"Israiliyyat dalam Kitab Tafsir Anwar Baidhawi" dalam http:// pkukmweb.ukm.my/-penerbit/jurnal_pdf/jis26-02.pdf.
[2] Taufik Abdullah, " Isrª'iliyyªt " Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Taufik Abdullah
et.al., (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 251.
[3]
Mazlan Ibrahim, "Israiliyyat
dalam Kitab Tafsir Anwar Baidawi" dalam
http://
pkukmweb.ukm.my/-penerbit/jurnal_pdf/jis26-02.pdf (10 Oktober
2009)
[6]Ibrahim, "Israiliyyat dalam Kitab Tafsir Anwar Baidawi"
dalam http:// pkukmweb.ukm.my/-penerbit/jurnal_pdf/jis26-02.pdf
[8]Ibrahim, "Israiliyyat dalam Kitab Tafsir Anwar Baidhawi"
dalam http:// pkukmweb.ukm.my/-penerbit/jurnal_pdf/jis26-02.pdf
[9]Idrus Ali, Apa itu Israiliyat", dalam http://idrusali85.wordpress.com/2007/11/26/apa-itu-israiliyat/ (20 Oktober 2009.
[10]Ibid.
[16] Muhammad Hussin al-Zahabi, al-Israiliyyat
fi al-Tafsir wa al-Hadith (Kairo: Maktabah Wahbah, 1990).
[17] El-Khayat "Sikap Imam Ibnu Kathir terhadap Iisrailiyat dalam http://el-khayat.
blogspot.com/ 2008/09/imam-ibnu-kastir.html?zx=7b852932425cd5e6 (15 Oktober
2009)
[18]Idrus, Apa itu Israiliyat", dalam http://idrusali85.wordpress.com/2007/11/26/apa-itu-israiliyat/ .